Di dalam perspektif subconscious communications, emotion campaign adalah komunikasi yang sangat efektif menggerakkan audiens. Bukan hal kebetulan jika e-motion kepanjangannya adalah energy of motion.
Tak banyak orang yang memahami premis ini. Para praktisi dan konsultan komunikasi product branding (commercial campaign) sekalipun, bahkan kerap masih terjebak pada pendekatan-pendekatan rational benefit. Mereka masih terjebak pada keinginan untuk cerewet mengedukasi dan mengangkat fitur-fitur produk mereka. Mereka lupa, bahwa emotional benefit—yaitu mengedukasi relevansi produk dengan insight emosi audiensnya—jauh lebih kuat dan berjangka panjang.
Komunikasi Politik
Di dunia politik, komunikasi yang dibangun dengan kesadaran untuk menyentuh emosi publik, malah sudah demikian kuat, dan sudah dilakukan sejak masa orde baru. Mereka mengemas emosi dalam bentuk propaganda. Jargon-jargon seperti “Ka’bah Kiblatku”, “Golkar Menang Rakyat Senang”, “Partainya Wong Cilik”, dan sejenisnya, berhasil menggerakkan emosi audiens, bahkan menjadi identitas kuat dan berujung aksi militansi mereka.
Metode dan teknik kampanye komunikasi untuk produk ataupun partai politik (termasuk personal branding), sesungguhnya sama saja. Yaitu, bagaimana menginstal pesan di ruang hardware otak manusia, dan mengkonversinya menjadi sebuah tindakan.
Komunikasi tanpa Akar Strategi
Pesan adalah kuncinya. Dan pesan yang benar tidak datang dengan sendirinya, tapi dirumuskan melalui tahapan strategik, dengan memetakan terlebih dahulu fakta-fakta brand kita. Ciri komunikasi tanpa melakukan perancangan strategik bisa dilihat dari bentuknya:
1. Sporadis, seperti perang dengan memberondongkan peluru ke segala arah. Bisa kena, tapi lebih banyak melesetnya
2. Bombastis dan tak mengakar. Promis yang disampaikan tidak relevan dengan fakta yang ada
3. Dangkal. Tidak berangkat dari value creation yang mendalam, sehingga output komunikasinya pun tidak didasari ruh/ide yang inspirasional
4. Ini yang kental dengan komunikasi politik: melakukan negative campaign, bahkan black campaign. Hal ini dilakukan karena yang bersangkutan tidak memiliki cukup data dan pengetahuan tentang partai atau dirinya, sehingga mereka tidak bisa fokus pada brandnya. Satu-satunya cara adalah mengalihkan perhatian pada kompetitornya. Dan ini sebetulnya memiliki efek fatal bukan saja untuk sekelilingnya, tapi justru untuk brandnya sendiri.
Baca juga: Aroma Mewah Kopi Indonesia di Dunia
Empat identitas komunikasi tanpa akar strategi ini, bisa saja, secara awareness tertancap masif, bahkan masuk ke dalam top trending percakapan di media sosial. Caranya, boosting dengan budget yang kuat, atau memobilisasi buzzer (baik kader maupun simpatisan) sampai tingkat ranting.
Tidak sulit bagi infrastruktur partai yang rata-rata sudah menjalar sampai tingkat ranting. Pertanyaannya adalah, awareness dengan value semacam apa yang tertancap di otak audiens kita? Awareness tanpa value? Awarness dengan value keliru? Atau malah awareness dengan negative value? Ini harus diperhitungkan matang, karena value semacam itu kemudian menjadi persepsi. Dan persepsi itulah yang akan menggerakkan tubuh fisik audiens kita di hari pencoblosan.
Yang Penting Viral
Bicara soal value, ada semacam mazhab di era komunikasi digital saat ini, yang keliru berpikir bahwa tidak penting komunikasi kita memiliki muatan negatif ataupun positif. Yang penting trending saja dulu. Kalau perlu viral! Soal value, itu masalah belakangan.
Efek dari cara pemikiran seperti ini, hadirlah pola-pola kampanye dalam bentuk negative campaign (mengangkat fakta negatif lawan); black campaign (menyebar fitnah terhadap lawan), hoax (menebarkan kebohongan tentang kebaikan diri atau kebusukan lawan); logical fallacy (menebar kesesatan berpikir, lewat ilusi-ilusi yang seakan logis); disinformasi/ distorsi informasi (menciptakan pemelencengan fakta dengan tujuan menguntungkan diri dan memojokkan lawan), false flag (membuat materi campaign yang “jahat” dengan menggunakan bendera lawan yang tujuannya untuk menjatuhkan pihak lawan), fire hose of falsehood (menyemburkan kebohongan secara massal dengan tujuan membingungkan dan menciptakan kebenaran semu); dan cara-cara “busuk” lainnya.
Mereka tidak sadar, bahwa esensi komunikasi branding, baik product branding maupun politic branding, adalah menciptakan koneksi emosi antara audiens (pemilih) dengan brandnya (kontestan). Setiap manusia memiliki fitrah baik. Bahkan seorang penjahat sekalipun, memiliki idealisasi kehidupan yang baik. Maka koneksi emosi antara brand dengan audiens akan terjalin kuat seandainya dibangun oleh koneksi dengan nilai fitrah yang bersifat universal tersebut, yaitu koneksi emosi yang baik (positif).
Hanya brand yang berhasil menciptakan persepsi baiklah, yang akan maujud menjadi bagian dari tindakan audiensnya. Dan mesti kita ingat, bahwa persepsi ini terbentuk bukan karena isi pesan semata (alias apa yang diucapkan tentang brand), tapi yang terpenting adalah kesan (yaitu impresi akibat cara brand mengatakan pesan).
Viral tapi Fatal
Bila kesan yang muncul tentang brand (baik produk, partai atau diri) adalah tukang hoax, fitnah, agent of disinformation, provokator, kasar, temperamental, nyinyir, dan hal-hal jahat lainnya, maka jangan harap koneksi emosi yang kuat akan terjalin dengan audiens. Trending bahkan viral (popularitas), tidak berbanding lurus dengan elektabilitas. Di tengahnya ada akseptabilitas, bagaimana brand kita diterima atau ditolak oleh audiens. Akseptabilitas ini sangat terkait erat dengan value yang dimunculkan tadi. Walaupun cara menarik perhatian brand kita keren dan popular, bila nilainya tidak sesuai dengan kode budaya, kode agama, kode etika, behavior dan insight audiens kita, maka jangankan dipilih, diterima pun jauh panggang dari api.
Tentu dengan membaca uraian di atas, Anda pasti bingung, motivasi semacam apa yang dilakukan oleh kreator-kreator yang mengusung value “jahat” dalam kampanyenya? Apakah mereka punya motivasi jahat juga? Saya yakin, tidak (belum tentu). Apakah mereka ingin menghancurkan brand yang di-handle-nya sendiri? Masak iya sih. Apakah mereka tidak tahu apa yang mesti mereka lakukan untuk memenangkan brandnya? Nah, positive thinking-nya, ini mungkin asumsi yang paling mendekati.
Baca Juga: Inilah Sekolah Iklan yang Bisa Dijangkau dari Mana Saja
Value Creation
Sebelum mereka menciptakan output komunikasi baik untuk product branding maupun political branding (partai atau perorangan), mereka harus menciptakan apa value dari brandnya (value creation). Value brand ini didapat dari hasil memetakan kelebihan alias manfaat alias kompetensi unik yang dimilikinya, dikoneksikan dengan insight audiensnya (konsumen ataupun pemilih).
Cara memetakannya adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa brandnya? Bergerak di bidang apa brand tersebut (peran dan fungsinya)? Siapa target audience/pemilih yang ingin disasarnya (tinggal di wilayah mana, usia berapa, psikologisnya seperti apa dll.)? Siapa pesaingnya dan apa yang mereka telah lakukan? Apa problem dan kelemahan brandnya, juga apa problem audiensnya? Apa kelebihan atau kompetensi brand yang tidak dimiliki oleh pesaingnya (unique selling proposition)? Dari sini, kita bisa merumuskan: Apa positioning-nya (kita ingin dilihat sebagai siapa seandainya dideskripsikan dalam satu kalimat}? Apa value-nya, dengan mencari relevansi kelebihan kita dengan fakta emosi audiens kita (brand value)? Bagaimana kita menggambarkan personalitas brand kita, yang merepresentasikan personalitas audiens kita? Seperti apa style komunikasi kita, baik tone voice-nya, tone color-nya, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan aspek eksekusional komunikasi kita?
Bila hal di atas, jangankan berhasil dipetakan, tapi poin-poin apa yang harus dilakukan pun tidak dimengerti, ya kita bisa memprediksikan, apa yang akan terjadi berikutnya.
Saran saya untuk pemilik brand, pimpinan partai atau para kontestan di panggung politik saat ini, berkonsentrasilah di value baik brand Anda. Gunakan pendekatan kampanye yang menarik empati audiens. Bikin blue print komunikasi, yang bisa diimplementasikan dari pusat hingga akar (relawan). Sehingga, komunikasi brand Anda memiliki cara dan gaya yang sama. Cari juga tim yang mumpuni, untuk mengimplementasikan blue print ini. Bekali mereka dengan pengetahuan apa yang seharusnya dilakukan, baik dari sisi strategi maupun eksekusi.
Bila sudah demikian, petiklah hasil baiknya. Begitu juga bila yang Anda lakukan sebaliknya.
(Asep Herna, Konsultan Brand & Subconscious Communicator)