Angka itu melorot dari jumlah penduduk tertinggi di sana, yakni sebanyak 128.105.431 jiwa pada 2010, dan terus menyusut dengan penurunan yang semakin cepat dalam beberapa tahun terakhir. Negara ini kehilangan populasi sebanyak 644 ribu jiwa pada 2020-2021. Jumlahnya diproyeksikan terus menyusut hingga pertengahan abad ini, turun menjadi sekitar 88 juta jiwa pada 2025 yang merupakan penurunan sebanyak 30 persen dalam waktu 45 tahun.
Banyak faktor yang menyebabkan hal itu. Di antaranya, tren jumlah wanita di Jepang yang enggan menikah dan mempunyai anak. Mereka lebih senang bekerja daripada menjadi ibu rumah tangga. Menurut laporan pemerintah Jepang, pada 2022, sekitar 25,4 persen wanita berusia 30-an dan 26,5 persen pria dalam kelompok usia yang sama mengatakan tidak ingin menikah. Di kelompok usia 20-an, sebanyak 19 persen pria dan 14 persen perempuan juga berucap tidak ada niat menikah. Para analis menyebutkan hal itu, antara lain, disebabkan oleh tekanan finansial yang makin kuat dan keinginan hidup tanpa banyak kewajiban sosial. Pada 2021, di Jepang terdaftar sekitar 514 ribu pernikahan. Statistik tersebut merupakan angka tahunan terendah sejak akhir Perang Dunia II. Pada 1970, angka pernikahan di Jepang masih tercatat 1,029 juta.
Berbagai upaya pun dilakukan pemerintah setempat. Salah satunya, pada Januari lalu, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menganggarkan dana sekitar US$ 140 miliar untuk mengatasi krisis demografi dengan mendorong generasi muda beranak pinak.
Para Warga Lansia Senang Dipenjara
Jepang saat ini menjadi salah satu negara dengan angka harapan hidup tertinggi, di bawah Monako, Hong Kong, dan Makau. Walhasil, bisa dibilang Jepang saat ini dipenuhi para kakek-nenek. Berdasarkan data Statistics Bureau of Japan atau semacam Badan Pusat Statistik setempat, pada 2021, jumlah warga di atas usia 65 tahun mendekati angka 36 persen! Dari angka tersebut, diperkirakan ada 90 ribu centenarian—manusia yang diyakini berumur 100-an tahun—di Jepang, dan itu merupakan rekor tertinggi di dunia.
Belakangan ini, sebuah fenomena unik terjadi di Jepang, berkaitan dengan banyaknya warga lansia di negara ini. Mahalnya ongkos tinggal, tingginya biaya layanan kesehatan, serta rasa kesepian akibat ditinggal keluarganya membuat banyak warga lansia yang stres dan, salah satunya, memilih sengaja bertindak kriminal agar masuk penjara. Pemerintah Jepang melaporkan, pada 2021, jumlah pelaku kriminal di atas usia 65 tahun meningkat lebih dari dua kali lipat selama 20 tahun terakhir. Hal itu membuat penjara mulai dipenuhi para orang tua, baik laki-laki maupun perempuan. Menurut mereka, tinggal dipenjara memang “jauh lebih baik” daripada “telantar” di luar penjara. Para warga lansia itu yakin negara akan mengurusi mereka.
Tindakan Senisida
Dari fenomena tersebut, ada anggapan bahwa menjadi orang lansia di Jepang seakan-akan menjadi beban. Mereka pun lebih suka menjadikan penjara bak panti jompo.
Merunut cerita ratusan tahun lalu, konon, ada tradisi kuno yang bernama ubasute. Menurut The Ancient Origine, ubasute merupakan praktik kuno dari cerita rakyat Jepang ketika kerabat yang sakit atau lanjut usia dibuang di tempat terpencil agar mati karena selama ini dianggap menjadi beban. Ubasute atau obasute secara harfiah berarti “meninggalkan seorang wanita tua”. Ada juga yang menyebut tradisi kuno ini sebagai oyasute, yang berarti “meninggalkan orang tua”, ketika kondisi saat itu kekurangan pangan dan gagal panen. Menurut sejumlah literatur, ubasute terinspirasi oleh cerita asal India yang datang melalui Cina pada abad ke-6. Dalam cerita rakyat India itu dikisahkan tentang seorang raja yang begitu membenci orang tuanya. Sang Raja membuat peraturan agar rakyatnya mengasingkan orang tua mereka. Barang siapa tidak mengindahkan peraturan tersebut, hukuman berat menanti.
Ubasute diyakini sebagai salah satu bentuk senisida. Senisida (senicide ataugeronticide) merupakan praktik pembunuhan terhadap orang tua dengan metode aktif dan pasif. Metode-metode ini berakar pada tradisi dan kebiasaan masyarakat tertentu. Cara aktif, misalnya, orang tua melakukan bunuh diri (eutanasia) secara altruistis atau sadar diri karena mendahulukan kepentingan orang lain. Tujuannya untuk membebaskan klan, keluarga, atau masyarakat dari beban “sebagai orang yang tidak berguna”. Dalam kasus pengorbanan diri altruistik, tujuannya adalah untuk memenuhi tradisi lama atau berhenti menjadi beban bagi klan. Mereka memilih jalan itu sebagai bentuk dari pengorbanan. Senisida ditemukan di berbagai budaya di seluruh dunia dan telah dipraktikkan selama periode waktu yang berbeda.
Di beberapa bagian distrik selatan Negara Bagian Tamil Nadu di India, konon ada tradisi thalaikoothal, yakni praktik menyingkirkan orang tua dengan cara memberikan sejenis minyak mandi pada pagi hari. Lalu mereka diberi minum air kelapa. Akibatnya, terjadi perubahan suhu tubuh, gagal ginjal, demam tinggi, dan akhirnya orang tua tersebut meninggal dalam waktu satu-dua hari. Metode aktif lain pembunuhan terhadap orang tua biasanya dilakukan dengan cara paksa, seperti dicekik, direndam dalam cairan minyak, ditenggelamkan, dan tindakan kejam lainnya.
Sementara itu, cara-cara pasif ditengarai sudah terjadi sejak zaman dulu. Pada zaman Romawi, misalnya, orang tua yang sudah tidak ingin hidup melakukan “demo” dengan menolak semua asupan makanan dan minuman yang diberikan keluarganya.
Baca Juga: Surga Bola Liga Eropa
Hutan Keramat Aokigahara
Nah, tradisi ubasute dipercaya pernah dipraktikkan oleh orang Jepang pada zaman dulu dengan membuang atau mengasingkan orang tua ke hutan lebat di kaki barat laut Gunung Fuji. Tempat itu hingga sekarang menjadi legenda dan dikenal sebagai Aokigahara—disebut juga Jukai, yang berarti “lautan pohon”.
Meskipun kisah-kisah ubasute ini sepertinya tentang penelantaran orang tua, sebenarnya hal itu dimaksudkan untuk menginspirasi rasa bakti anak kepada orang tua dan mencegah orang meninggalkan orang tua mereka yang lanjut usia. Salah satu kisah ubasute yang paling terkenal adalah Ubasuteyama, artinya Gunung Ubasute. Dalam cerita rakyat ini, seorang ibu yang sudah renta dibawa putranya ke atas gunung. Sang anak bermaksud meninggalkannya. Meskipun sang ibu menyadari apa yang dilakukan putranya terhadapnya, dia tetap sayang kepada putranya itu. Sang ibu pun menyebarkan ranting-ranting yang patah di tanah agar anaknya bisa menemukan jalan menuruni gunung. Cerita Ubasuteyama menyoroti soal rasa cinta yang dimiliki seorang ibu untuk anak-anaknya, yang dengan sendirinya merupakan perenungan untuk melawan tradisi kejam ubasute.
Kini, ubasute hanya menjadi semacam mitos atau cerita legenda di masyarakat Jepang. Cerita legenda ubasute ini telah dijadikan film berjudul The Ballad of Narayama pada 1958, disutradarai Keisuke Kinoshita. Sedangkan versi kedua dibuat pada 1983, dengan judul yang sama, disutradarai Shôhei Imamura. Film yang diadaptasi dari novel Narayama bushikō karya Shichiro Fukazawa ini berlatar belakang sebuah desa kecil di Jepang pada abad ke-19 dan cerita tradisi setempat, yakni seseorang yang sudah mencapai usia 70 tahun mesti menempuh perjalanan ke gunung terpencil untuk menyiapkan kematian atau melakukan ubasute. The Ballad of Narayama karya Shôhei Imamura mendapat penghargaan bergengsi Palme d’Or pada 1983 di Festival Film Cannes.
Tak Hanya Terjadi di Jepang
Persoalan populasi memang menjadi masalah yang kompleks di Jepang. Tak hanya di Jepang, negara-negara Eropa dan Amerika juga mengalami kecenderungan yang sama, yang mereka sebut aging workforce—Sering disebut “Silver Tsunami”, sepuluh ribu generasi baby boom berusia 65 tahun setiap hari, sebuah tren yang dimulai pada 2011 dan akan berlanjut hingga 2030.
Di Jepang, banyak orang tua yang merasa dicampakkan, stres, depresi, hidup terisolasi, dan mati secara perlahan. Panti jompo, misalnya, diyakini sebagai salah satu bentuk ubasute modern. Sejumlah kisah penelantaran orang-orang yang sudah dianggap tak berguna di Jepang juga memberi gambaran bahwa ubasute modern masih terjadi. Salah satu kasus yang paling terkenal terjadi pada 2015, ketika seorang pria bernama Katsuo Kurokawa dituduh dan mengaku telah menelantarkan adik perempuannya yang cacat di hutan pada 2011. Kasus lain adalah seorang wanita bernama Ritsuko Tanaka yang meninggalkan ayahnya, 79 tahun, yang menderita Alzheimer, di sebuah halte di Chugoku Expressway di dekat Kita, pinggiran Kobe.
Lantas, bagaimana dengan para warga lansia di Indonesia? Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, persentase penduduk lanjut usia di Indonesia sebesar 10,48 persen pada 2022. Angka tersebut turun 0,34 persen dibanding data pada tahun sebelumnya, yang mencapai 10,82 persen. Artinya, jumlah warga lansia di Tanah Air tidak sebanyak di Jepang.
Praktik “ubasute modern” di Indonesia sejauh ini juga tidak terlalu menonjol. Atau, kalaupun terjadi, mungkin banyak yang tidak mengeksposenya, seperti peristiwa penelantaran orang tua hingga menemui ajal sendirian. Banyak pula sejumlah kasus yang menjadi pro-kontra ketika terjadi peristiwa orang tua yang dititipkan “paksa” anak-anak mereka di panti jompo.
Kultur di Indonesia, lazimnya, anaklah yang berkewajiban merawat orang tua. Mengirim orang tua lansia ke panti jompo atau ke penitipan lainnya dianggap perbuatan tabu bagi sebagian besar masyarakat dan merupakan perbuatan dosa. Tapi, dengan peningkatan fasilitas dan prasarana yang semakin baik, sejumlah kalangan berpendapat menitipkan para kakek-nenek di panti-panti wreda merupakan tindakan yang tepat. Sejauh ini belum ada data yang pasti berapa jumlah orang tua yang dititipkan anak-anaknya di panti jompo.
(S. Maduprojo, diolah dari berbagai sumber)