Meski masih pagi, sejumlah peziarah sudah berdatangan ke masjid. Di pelataran depan masjid, tampak beberapa orang yang sepertinya menginap atau melakukan iktikaf. Seusai melakukan salat sunah, kami mulai berkeliling di sekitar masjid, dan ingin menyaksikan langsung saka tatal yang terkenal di bagian utama masjid. Namun, kata seorang petugas, bangunan utama baru dibuka sekitar pukul 09.00 atau 09.30. Setelah kami memohon izin untuk melihat bagian utama masjid, petugas mengarahkan kami lewat pintu samping karena belum dibuka untuk umum.
Tempat Berkumpulnya Para Wali
Masjid Agung Demak dibangun oleh Raden Patah, dibantu para Wali Songo, pada sekitar abad ke-15. Masjid ini masuk dalam salah satu jajaran masjid tertua di Indonesia. Masjid Agung Demak dulunya diyakini sebagai tempat berkumpulnya para Wali Songo. Berdasarkan catatan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Demak, pembangunan masjid ini digambarkan serupa bulus (kura-kura) yang merupakan candra sengkala memet, yang bermakna sirno ilang kerthaning bumi. Secara filosofis, bulus atau sirno ilang kerthaning bumi mengacu pada tahun pembangunan Masjid Agung Demak, yaitu 1400 saka atau 1478 Masehi. Kepala bulus memiliki makna 1, empat kaki bulus bermakna 4, badan bulus yang bulat bermakna 0, dan ekor bulus bermakna 1. Hewan bulus memang menjadi simbol Masjid Agung Demak. Hal itu dibuktikan dengan adanya berbagai ornamen bergambar bulus di sejumlah dinding masjid.
Atap Masjid Agung Demak berbentuk limas, yang bersusun tiga. Kami melihat empat saka kokoh menopang rangka atap masjid di bangunan utama. Empat tiang utama yang disebut saka tatal/saka guru ini dibuat langsung oleh para Wali Songo. Di sebelah barat laut oleh Sunan Bonang, sebelah barat daya oleh Sunan Gunung Jati, sebelah tenggara oleh Sunan Ampel, dan sebelah timur laut oleh Sunan Kalijaga. Adapun pintu utama masjid, yang dikenal dengan Pintu Bledheg, dianggap mampu menahan petir. Pintu yang dibuat oleh Ki Ageng Selo—disebut juga Kiai Ngabdurahman, tokoh spiritual dari Sela yang hidup di masa Kerajaan Demak, dikenal dengan kesaktiannya menaklukkan petir—ini juga merupakan prasasti Candra Sengkala yang berbunyi nogo mulat sarira wani, maknanya tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi. Sementara itu, di bagian teras masjid ditopang oleh delapan buah tiang yang disebut Saka Majapahit.
Merasa cukup memandangi keasrian Masjid Agung Demak, sekitar pukul 08.00 kami melaju ke kota berikutnya, Kudus, yang berjarak sekitar 25 kilometer.
Toleransi Sunan Kudus
(KUDUS, SABTU, 8 JULI) Sekitar pukul 09.00, kami menginjakkan kaki di Kota Kretek, Kudus. Selain kota rokok, Kudus dikenal sebagai salah satu kota religius karena terdapat jejak peninggalan Sunan Kudus, salah satu anggota Wali Songo, dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Pada 1530, Sunan Kudus mendirikan masjid di Desa Kerjasan, yang kini dikenal dengan Masjid Agung Kudus. Selain itu, pada 1549 M, Sunan mendirikan masjid di Desa Kauman, yang kini dikenal sebagai MASJID MENARA KUDUS. Peninggalan lain Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dan menggantinya dengan menyembelih kurban kerbau. Karena itu, tak mengherankan bila di Kudus hingga kini lebih dikenal kuliner sate/soto kerbau alih-alih soto daging sapi.
Kami memutuskan menyambangi Masjid Menara Kudus. Arsitektur masjid ini unik karena memiliki menara menyerupai bangunan candi. Pola arsitektur bangunan masjid juga memadukan konsep budaya Islam dan Hindu-Buddha yang membuktikan adanya akulturasi budaya saat pertama kali Islam diperkenalkan di pesisir Jawa. Masjid ini memiliki lima pintu di sebelah kanan dan lima pintu di sebelah kiri. Saat kami datang, pintu-pintu itu terkunci. Pintu besarnya terdiri dari lima buah. Ada tiang besar di dalam masjid yang berasal dari kayu jati yang berjumlah delapan buah. Uniknya, di dalam ruangan masjid terdapat kolam masjid, peninggalan kuno yang menjadi tempat wudu. Di serambi depan masjid terdapat gapura paduraksa, yang biasa disebut oleh penduduk sebagai “Lawang Kembar”. Bukti lain adanya akulturasi budaya adalah adanya delapan arca di atas pancuran untuk berwudu di luar masjid. Jumlah delapan pancuran itu konon mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni asta sanghika marga alias delapan jalan kebenaran.
Saat kami datang, banyak sekali peziarah atau anggota jemaah yang mendatangi masjid ini. Bisa jadi juga karena di sisi barat kompleks masjid terdapat makam Sunan Kudus dan para kerabat atau pengawalnya. Masjid Menara Kudus juga semakin dikenal karena setiap tahun menjadi pusat keramaian Festival Dhandhangan yang diadakan warga Kudus untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan.
Masjid Baitunnur di Pati
Sekitar pukul 09.45, kami beranjak dari Kudus untuk melanjutkan perjalanan ke Kota Pati. Kota Pati menjadi transit berikutnya sebelum kami menyusuri wilayah Jawa Timur, seperti Tuban, Gresik, dan Surabaya. Perkiraan kami, butuh waktu sekitar 1 jam untuk sampai ke Pati. Di tengah jalan raya Kudus-Pati, tepatnya di lereng Gunung Muria, sebenarnya ada petilasan Sunan Muria. Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga yang juga menjadi salah satu anggota Wali Songo termuda. Sunan Muria aktif berdakwah di Gunung Muria, yang berjarak sekitar 18 kilometer dari Kota Kudus. Saat ini, lokasi tempat berdakwah sekaligus menjadi makam beliau dan para pengikutnya berada di lereng Gunung Muria, masuk dalam wilayah Desa Colo, Kecamatan Gawe, Kudus. Sayang, kami hanya melewatinya.
(PATI, SABTU, 8 JULI). Benar saja, setelah lebih-kurang satu jam menyusuri jalan raya Kudus-Pati, sekitar pukul 11.00, sampailah kami ke Pati. Awalnya tidak ada agenda berkunjung ke masjid-masjid di Pati karena rata-rata masjid di daerah ini sudah memasuki tahun 1840-an. Juga tidak ada jejak peninggalan sunan di kota ini. Namun sebenarnya ada situs bersejarah yang berkaitan dengan Wali Songo di Pati, yakni makam Syeh Jangkung di Desa Landoh, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati. Syeh Jangkung alias Sayyid Raden Syarifuddin alias Raden Saridin lahir sekitar 1540 Masehi di Demak. Ia merupakan putra Sunan Muria dan dikenal sebagai ulama karismatik, ahli tasawuf, dan punya kesaktian (karomah) di atas rata-rata. Selama belajar agama Islam, ia berguru kepada Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga.
Di kota ini, kami akhirnya menyambangi Masjid Agung Baitunnur yang terletak di samping Alun-alun Kota Pati. Masjid ini mulai dibangun pada 1845 Masehi. Tahun pembangunan itu ditunjukkan oleh prasasti berbentuk kaligrafi milik Masjid Agung Baitunnur yang sekarang berada di Masjid Gambiran. Menurut Dinas Kearsipan Kabupaten Pati, dulu atap Masjid Baitunnur berundak seperti Masjid Agung Demak dan masjid-masjid kuno di Jawa Tengah yang dibangun para wali. Masjid ini tidak memiliki kubah, melainkan bercungkup-berundak, khas rumah-rumah pada masa Jawa kuno—pada 2022, Masjid Baitunnur akhirnya ditambahi kubah setelah lama tidak memiliki kubah. Salah satu peninggalan yang tersisa adalah mimbar unik dan kuno yang berumur sekitar 160 tahun. Mimbar ini merupakan hadiah Raden Adipati Aryo Condro Adinegoro, sembilan tahun setelah pembangunan masjid. Di dalam mimbar tersebut terdapat prasasti bertuliskan huruf Arab Pegon yang berbunyi “yasa dalem kanjeng raden hadipati harya tjandra adhinegara ing mimbar masjid negari pati punika (wulan) jumadal awwal (tahun) dal (tahun) alfun wa mi´ataini wa sab’una (1270 H) utawi (wulan) januari tahun 1854 M”.
Masjid Jami Lasem
Setelah lebih-kurang satu jam mengunjungi Masjid Baitunnur dan berkeliling kota, kami melanjutkan perjalanan ke Juwana, Rembang, Lasem, sebelum beristirahat di Kota Tuban.
(REMBANG, SABTU, 8 JULI) Membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam—tiba di Rembang sekitar pukul 14.30—untuk beristirahat di Rembang, Jawa Tengah. Karena di sepanjang jalur ini dekat sekali dengan pantai, kami rehat sejenak di Pantai Rembang. Maklum, jalur Pati-Rembang lumayan padat akan kendaraan besar semacam truk ataupun kontainer.
Kabupaten Rembang terkenal dengan julukan “The Cola of Java”, “Little Tiongkok”, dan Kota Garam. Rumah-rumah tempat penyimpanan garam berjajar di sepanjang bibir pantai kota ini. Kabupaten ini juga menjadi tempat peristirahatan terakhir Raden Ajeng Kartini. Tidak ada agenda kami untuk mampir di masjid tertua di kota ini, yakni Masjid Agung Rembang dan Masjid Baiturrahman, yang diperkirakan keduanya didirikan pada 1814.
Setelah menikmati secangkir kopi dan sejumlah camilan di bibir pantai, kami meneruskan perjalanan ke Lasem, Kabupaten Rembang.
(LASEM, SABTU, 8 JULI). Perlu waktu sekitar setengah jam untuk sampai ke Lasem. Sekitar pukul 15.00, kami tiba di Lasem. Destinasi kami adalah MASJID JAMI LASEM. Ini merupakan salah satu cagar budaya dan saksi sejarah masuknya agama Islam di Lasem. Masjid yang terletak di Desa Kauman ini menjadi salah satu tujuan wisata religi dan ziarah kubur untuk para ulama di Lasem.
Menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Rembang, di masjid ini terdapat lima prasasti berhuruf dan berbahasa Arab serta satu prasasti berhuruf Jawa. Empat di antara prasasti tersebut memuat angka tahun 1829 M, 1318 H, 1281 H, dan 1286 H. Artinya, Masjid Lasem diperkirakan sudah berdiri sejak abad ke-12. Masjid Jami Lasem didirikan pada masa pemerintahan Adipati Tejakusuma I dan seorang ulama, yaitu Sayyid Abdurahman. Adipati Tejakusuma I merupakan keponakan Sunan Kalijaga dan menantu Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir).
Tombo Ati Sunan Bonang
Di bagian luar masjid, kami melihat wujud renovasi arsitektur masjid yang dibuat dengan konsep ala “Demak-an”. Warnanya didominasi cokelat, seperti batu bata. Kemudian ada warna putih yang membentuk lekukan-lekukan seperti kaligrafi. Demak-an artinya masjid ini akan dikonsep dengan unsur klasik seperti masjid ala Demak-an. Yang semula bentuknya ada kubah, misalnya, dibentuk joglo. Di puncak joglonya terdapat replika pucuk atap masjid atau makutapraba—makutapraba yang asli disimpan.
Di bagian utama masjid, seperti ciri khas masjid di pesisir pantura, terdapat saka-saka kokoh yang menyangga pilar-pilar atap masjid. Jumlahnya lebih dari empat.
Adapun di halaman depan masjid, terdapat batu prasasti berisikan lirik lagu yang ditulis dalam huruf Latin. Lagu ini terasa familiar di telinga ketika dibawakan penyanyi Opick, yakni Tombo Ati. Banyak orang tidak tahu bahwa lagu dan lirik ini diciptakan oleh Sunan Bonang. Kami bertiga pun membaca lirik demi lirik Tombo Ati ini, meski di beberapa kata berbeda dengan yang ada di lagu Tombo Ati versi sekarang.
Selepas dari Masjid Jami Lasem, kami menyusuri bibir pantai menuju Tuban, kota tujuan berikutnya. Sepanjang perjalanan, mata kami disuguhi pemandangan kilau air laut yang tersentuh sinar matahari. Indah sekali, di sisi kiri bibir pantai, di sisi kanan bukit-bukit menghijau. Nah, di sisi kanan kami, di antara perbukitan menghadap ke laut, tepatnya di Desa Bonang, terdapat petilasan Sunan Bonang, salah satu anggota Wali Songo. Sunan Bonang alias Raden Maulana Makdum Ibrahim adalah putra Sunan Ampel. Petilasan tersebut berupa empat bongkahan batu beragam ukuran. Batu-batu tersebut dipercaya sebagai bekas tempat Sunan Bonang bertapa dan bersujud karena ada cetakan bekas dahi dan telapak kaki. Petilasan ini satu area dengan makam putri Campa, murid Sunan Bonang yang datang dari Negeri Campa. Nah, makam Sunan Bonang sendiri masih menjadi perdebatan karena ada yang mengatakan beliau dimakamkan di Pulau Bawean dan Tuban. Sekali lagi, sayang, kami tak sempat mengunjungi situs bersejarah tersebut.
Bila kalian menyusuri pantura menuju Surabaya lewat jalur ini, hati-hati karena di sepanjang perjalanan jalannya kurang mulus dan sempit. Maklum, kendaraan-kendaraan besar hilir-mudik melewati jalur ini.
BACA JUGA: BAGIAN KETIGA: “TUBAN-GRESIK-SURABAYA”