27 July 2024

Searah jarum jam: Masjid Jami' Lasem, Masjid Syekh Maulana Ibrahim, Makam Fatimah Maimun, Masjid Sunan Ampel/Foto: Y. Martinus

4 Hari Persamuhan ke Petilasan Waliyullah
(TUBAN, SABTU, 8 JULI) Akhirnya kami tiba di Tuban menjelang magrib setelah perjalanan hampir 2 jam dari Lasem. Kami parkir di depan Alun-alun Tuban untuk salat magrib sekaligus mengunjungi Masjid Agung Tuban yang berlokasi tidak jauh dari Alun-alun.

Masjid Agung Tuban didirikan pada abad ke-15 oleh Bupati Tuban pertama yang memeluk agama Islam, yakni Adipati Raden Ario Tedjo. Lokasi masjid sangat strategis karena berada di sekitar alun-alun kota dan tidak jauh dari kompleks makam Sunan Bonang—ini seperti disebut di atas, bahwa ada yang menyebut Sunan Bonang dimakamkan di Tuban.

Megahnya Masjid Agung Tuban

Masjid ini sudah beberapa kali dipugar. Pertama kali memasuki masjid ini, kami membayangkan seperti bangunan di Taj Mahal atau masjid-masjid di Iran. Bagian atas masjid terlihat megah dengan sekitar enam menara yang menjulang. Di pelataran masjid yang berbentuk ”U” digunakan peziarah untuk duduk-duduk santai sembari memandangi kemegahan masjid dan digunakan untuk shalat. Terdapat tiang-tiang tenda ala masjid di Madinah seperti di Masjid Agung Semarang. Tapi di sini lebih kecil dan jumlahnya tidak banyak. Saat kami datang, masjid ini ramai oleh para peziarah. Sedangkan di bagian dalam banyak menggunakan pola lengkungan untuk menghubungkan tiang penyangga sehingga menghasilkan pola ruang dengan kolom-kolom. Gaya arsitektur khas Nusantara dapat ditemui pada pintu dan mimbar yang terbuat dari kayu dengan ornamen ukiran khas Jawa. Di sayap mihrab terdapat tangga dari bahan kuningan mencirikan gaya khas ornamen Jawa klasik.

Selepas magrib, kami menuju kota berikutnya, yakni Gresik. Perjalanan ke Gresik kami perkirakan memakan waktu 2,5 jam. Sepanjang perjalanan, kami tak banyak menghadapi hambatan meski penerangan lampu jalan sepanjang jalur Tuban-Gresik kurang terang. Kami melewati Lamongan, yang terkenal dengan soto Lamongan-nya. Di Lamongan juga terdapat situs peninggalan Wali Songo, yakni Sunan Drajat. Kami tidak mampir ke situs tersebut karena keterbatasan waktu. Memasuki Kota Gresik, terlihat derap dan geliat Gresik sebagai daerah industri. Banyak pusat belanja besar di kawasan industri Gresik. Maklum, di sini terdapat perusahaan BUMN besar semacam Petrokimia Gresik dan Semen Gresik. Kami pun memutuskan untuk menginap di kota ini, untuk melanjutkan penelusuran masjid-masjid di Gresik esok harinya.

Masjidnya Nyai Ageng Pinatih

(GRESIK, MINGGU, 9 JULI) Tempat kami menginap tak jauh dari Alun-alun Gresik. Alun-alun ini unik dibanding dengan bentuk alun-alun di sejumlah daerah. Konsepnya adalah suasana religi yang ditandai dengan keberadaan sejumlah menara di antara bangunan alun-alun. Lalu, di kawasan ini juga ditanam banyak pohon kurma. Selain itu, sejumlah fasilitas didirikan, seperti tempat olahraga atau jogging track, baik di bawah maupun di atas, tempat bersantai atau nongkrong, ruangan untuk berlatih tari-tarian dan semacamnya, serta pusat kuliner.

Di sebelah alun-alun terdapat MASJID JAMI’ GRESIK atau Masjid Alun-Alun Gresik, berdiri di wilayah Kelurahan Pekauman, Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik. Masjid ini pertama kali didirikan oleh Nyai Ageng Pinatih, yang merupakan ibu asuh Sunan Giri. Nyai Ageng Pinatih adalah saudagar muslim perempuan yang sangat berkuasa. Ia dipercaya oleh Raja Brawijaya untuk membangun Syahbandar di Gresik.

Masjid Jami’ Gresik sudah berdiri sejak 1400-an Masehi atau pada masa Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik. Masjid yang kini terlihat mempunyai dua menara itu merupakan salah satu masjid tertua baik di Gresik maupun di Pulau Jawa.

Saat kami datang, sekitar pukul 09.00, masjid ini ramai didatangi peziarah. Masjid ini menjadi destinasi wajib bagi peziarah Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri, dua ulama besar yang dimakamkan di Gresik. Berdasarkan data Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Gresik, awalnya konstruksi masjid ini berbahan kayu. Ketika masa pemerintahan Tumenggung Pusponegoro, masjid ini terbakar. Pada 1712 masjid ini dibangun ulang menggunakan teknik konstruksi kolonial, tapi tidak menghilangkan unsur bangunan Nusantara. Hal ini dapat terlihat pada penggunaan saka guru, saka rowo, dan bentuk atap. Bentuknya masih sederhana karena ukurannya masih kecil dan beratap atau berpayon kayu. Masjid ini beberapa kali direnovasi hingga bentuknya seperti sekarang. Masjid Jami’ hingga kini memiliki satu ruangan utama untuk salat. Ruang salat tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu bagian lama dan bagian baru. Bagian lama bentuknya persegi, sedangkan bagian baru bentuknya seperti huruf “U”. Berbeda dengan karakter kubah masjid-masjid di pesisir pantura, kubah Masjid Jami’ yang sebelumnya berbentuk limasan kini berbentuk menyerupai “bawang”.

Gurunya Para Wali Songo

Selanjutnya kami mengunjungi MAKAM SYEKH MAULANA MALIK IBRAHIM, yang berada sekitar 200 meter dari Alun-alun Gresik, tepatnya di Jalan Malik Ibrahim, Desa Gapuro Sukolilo. Kompleks makam Maulana Malik Ibrahim dikelilingi permakaman keluarga dan umum. Di sebelah barat kompleks makam terdapat makam Bupati Gresik yang pertama, yaitu Raden Pusponegoro beserta keluarga.

Bangunan makam Syekh Maulana Malik Ibrahim memiliki ciri khas batu nisan bergaya Gujarat yang terbuat dari batu marmer berbentuk lunas kapal khas Gujarat. Sewaktu kami datang, banyak rombongan peziarah yang mengunjungi makam Syekh Maulana Malik Ibrahim.

Selepas dari makam Syekh Maulana Malik Ibrahim, kami kembali ke hotel dan bersiap check-out untuk mengunjungi persinggahan selanjutnya, yakni situs bersejarah MASJID MAULANA MALIK IBRAHIM ATAU MASJID PESUCINAN di Desa Leran, Kecamatan Manyar. Masjid ini kurang lebih sekitar setengah jam perjalanan dari tempat kami menginap.

Melalui Google Maps, kami diarahkan ke jalan menuju rawa-rawa yang kanan-kirinya ditumbuhi mangrove. Akses jalan menuju Masjid Syekh Maulana Malik Ibrahim kurang mulus dan cenderung menyempit, meski mobil bisa masuk. Tapi untuk kendaraan seperti bus sepertinya cukup sulit. Karena jalur langsung menuju masjid ditutup lantaran ada kegiatan, kami mencari jalan alternatif yang melewati kompleks pemakaman Fatimah binti Maimun, kubur Islam tertua yang ditemukan di Nusantara. Cerita sekilas Fatimah binti Maimun akan kami singgung setelah kunjungan ke Masjid Syekh Maulana Malik Ibrahim.

Kami akhirnya menemukan situs bersejarah Masjid Syekh Maulana Malik Ibrahim. Kami sampai di sana sekitar pukul 12.30, selepas zuhur. Kami bertemu dengan takmir Masjid Pesucinan ini, Muhamad Musholin. Kami pun bercengkerama sembari beristirahat di teras masjid. “Dulu ada dermaga kecil di belakang masjid, tempat bersandar perahu milik Syekh Maulana Malik Ibrahim. Karena tidak dilihat tempat ibadah untuk umat muslim, ia lantas mendirikan masjid di Pesucinan ini,” tutur Musholin membuka perbincangan.  

Menurut Musholin, Syeh Maulana Ibrahim boleh dibilang sebagai gurunya para Wali Songo. “Beliau diyakini yang pertama kali membawa syiar Islam di tanah Jawa.” Jadi, Maulana Malik Ibrahim adalah wali di antara sembilan wali yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri keponakan Maulana Malik Ibrahim, yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sedangkan Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah anak Sunan Ampel.

Musholin menuturkan terdapat beberapa peninggalan selain kolam wudu, yang berada di dalam masjid, seperti kubah masjid, batu tempat bersandar kapal, mimbar, dan sejumlah barang peninggalan yang kini diamankan di Museum Gresik.

Mengenal Maulana Malik Ibrahim

Musholin menambahkan, pada sekitar abad ke-14, Syekh Maulana hijrah ke Jawa dan berlabuh di Gerwarasi atau Gresik. Sunan Gresik menginjakkan kaki pertama kali di Desa Sembalo, di daerah Leran, Kecamatan Manyar, lebih-kurang 9 km ke arah utara Kota Gresik. Pada saat itu, Gresik dikenal sebagai bandar niaga yang maju dan terkenal di wilayah Asia Tenggara. Bersama rombongannya, Syekh Maulana berlayar ke Jawa sekitar 1371 M dan menghadap Raja Majapahit Brawijaya untuk mendakwahkan Islam. Oleh Brawijaya, Sunan Gresik diangkat menjadi syahbandar dan diperbolehkan menyebarkan Islam kepada warga setempat. Melalui restu itu, Sunan Gresik lalu mendirikan masjid pertama di Desa Pesucinan ini.

Ketika kami bertanya tentang akses situs Syekh Maulana ini, Musholin mengatakan hal itu memang menjadi salah satu kendala. “Dibutuhkan dukungan pemerintah daerah atau pusat ya untuk memelihara dan mengembangkan situs ini agar lebih dikenal. Padahal ini peninggalan yang sangat berharga berkaitan dengan penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Ya, untuk beberapa hal kami bergotong royong memelihara masjid ini,” ujar dia.

Setelah mendengarkan penjelasan Musholin, kami menjalankan salat zuhur dan berwudu di kolam peninggalan Syekh Maulana Malik Ibrahim yang berada di dalam masjid. Air yang segar begitu terasa ketika kami membasuh muka, tangan, dan kaki kami.

Penyebar Islam Perempuan Pertama Bernama Fatimah Binti Maimun

Sesaat kemudian, kami pun meninggalkan Masjid Pesucinan ini, melewati jalan perkampungan yang sederhana. Kami pun memutuskan berziarah ke MAKAM FATIMAH BINTI MAIMUN yang kami lewati tadi. Agama Islam diyakini pertama kali menjejak di wilayah Jawa Timur berawal dari Kota Gresik pada awal abad ke-11. Bukti awal masuknya Islam ke Jawa Timur ya adanya makam Islam atas nama Fatimah binti Maimun di Gresik yang bertahun 1082 (?) ini. Kompleks makam ini juga terdapat di Desa Leran, Manyar, tak jauh dari Masjid Syekh Maulana Malik Ibrahim. Berdasarkan sejumlah literatur, makam Fatimah binti Maimun ditemukan pada 1911 dalam kondisi rusak parah. Pada 1920, penulis Belanda yang juga pegawai pabrik gula Krembung, Sidoarjo, Jean Pierre Moquette, serta peneliti Prancis, Paul Ravaisse, merenovasi makam ini hingga bentuknya seperti sekarang. Makam Siti Fatimah terletak di dalam sebuah cungkup persegi dengan luas sekitar 4 x 6 meter dan tinggi 16 meter. Cungkup tersebut berbahan batu kapur yang diambil dari Gunung Suci, Manyar. Berbeda dengan bangunan makam wali pada umumnya, cungkup makam Fatimah menyerupai sebuah candi pada masa Hindu-Buddha.

Di makam ini kami menemui penjaga makam (kuncen) yang bernama hajah Nuriyah. Kami pun dipersilakan memasuki makam. Di dalam makam yang terasa sakral, kami mendoakan Fatimah dan mengucap syukur karena berkat perjuangan beliau, salah satunya, agama Islam bisa tersebar di tanah Jawa seperti sekarang. Makam Fatimah terbalut kain warna hijau, sedangkan di sampingnya terdapat makam-makam dayang-dayangnya—begitu kuncen menjelaskan—seperti Putri Seruni, Putri Keling, Putri Kucing, dan Putri Kamboja (Campa). Di luar cungkup, terdapat beberapa makam kerabat atau pengawal Fatimah yang konon turut mengantarnya menyebarkan Islam di tanah Jawa. Misalnya makam panjang berukuran 9 meter dan dua makam panjang berukuran 6 meter. Menurut Nuriyah, pemilik makam panjang tersebut adalah Sayid Jafar, Sayid Harim, Sayid Syarif (ketiganya paman Siti Fatimah), Sayid Jalal, Sayid Jamal, Sayid Jamaluddin, Raden Ahmad, dan Raden Said. 

Fatimah juga dikenal dengan sebutan Putri Retno Suwari, diperkirakan lahir di Malaka pada 1064 Masehi. Ayahnya bernama Maimun (bergelar Sultan Mahmud Syah Alam) berasal dari Iran. Sedangkan ibunya bernama Siti Aminah berasal dari Aceh. Maimun sendiri merupakan sepupu dari Syekh Maulana Malik Ibrahim sehingga Fatimah diyakini sebagai keponakan Syekh Maulana. Tapi, melihat penanggalan penemuan makam pada 1082 dan jejak Syekh Maulana Malik Ibrahim di Gresik sekitar tahun 1371 M, hal ini memang bisa diperdebatkan.

Akhirnya, dari makam Fatimah Maimun, kami menuju destinasi terakhir telusur masjid-masjid tertua di pantura, yakni Masjid Sunan Ampel di Surabaya. Perjalanan dari Gresik ke Surabaya menempuh waktu sekitar 40 menit.

Keunikan Masjid Sunan Ampel

(SURABAYA, MINGGU, 9 JULI) Sekitar pukul 14.30, menjelang salat asar, kami sampai di area MASJID SUNAN AMPEL yang berlokasi di Jalan Ampel Nomor 53, Kelurahan Ampel, Kecamatan Semampir, Kota Surabaya. Area religi ini ditandai dengan pintu gerbang bertulisan “Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel”.

Dari kejauhan, terlihat atap masjid berbentuk tajuk, piramida bersusun tiga. Sepertinya bentuk atap masjid ini mengadopsi arsitektur Majapahit. Memasuki bagian utama masjid, susunan tiga atap ini ditopang oleh empat pilar utama yang terbuat dari kayu jati, tanpa sambungan. Secara keseluruhan, tiang di dalam Masjid Sunan Ampel berjumlah 16 dengan ketinggian yang sama, sekitar 17 meter. Hingga sekarang, tiang-tiang itu masih berdiri kokoh meskipun telah berumur kurang-lebih 600 tahun.

Bagian lain yang masih dipertahankan keasliannya adalah 48 pintu berbentuk melengkung di sekeliling tembok masjid. Antara pintu dan pola-pola lengkung di atasnya dihiasi ukir-ukiran tembus yang mirip dengan kipas.

Masjid Sunan Ampel sudah beberapa kali direnovasi. Perluasan masjid pertama kali dilakukan oleh Adipati Aryo Cokronegoro dengan menambahkan bangunan di bagian utara masjid. Bagian utama masjid tidak digunakan untuk salat berjemaah. Ketika kami datang, sedang ada kegiatan kajian Al-Quran setelah salat asar. Sedangkan ruang salat berjemaah berada di sebelah kanan ruangan utama. Saat ini, luas area Masjid Sunan Ampel diperkirakan 4.000 meter persegi.

Yang unik, seperti kami amati ketika berada di ruang utama masjid, dasar menara Masjid Sunan Ampel terdapat di dalam masjid, lalu menembus atap. Hal ini tentu berbeda dibanding menara-menara masjid pada umumnya.


BACA JUGA: BAGIAN PERTAMA: “CIREBON-PEKALONGAN-DEMAK”

Di sebelah barat masjid, terdapat makam Sunan Ampel yang diperkirakan wafat pada 1481 di Demak, Jawa Tengah. Makam Sunan Ampel bersebelahan dengan makam Dewi Condrowati (Nyai Ageng Manila), istri pertamanya yang merupakan putri Adipati Tuban, Arya Teja. Seperti diketahui, nama asli Sunan Ampel adalah Raden Mohammad Ali Rahmatullah alias Raden Rahmat. Sunan Ampel lahir di Campa, Kamboja, sekitar 1401 M dari keluarga bangsawan. Ayah Sunan Ampel adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim. Sunan Ampel memiliki dua istri, yakni Dewi Condrowati dan Dewi Karimah. Dari pernikahannya dengan Dewi Condrowati, beliau memiliki anak bernama Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin atau Raden Qasim (Sunan Drajat), Siti Syari’ah, Siti Muthmainnah, dan Siti Hafsah. Makam Sunan Ampel selalu ramai didatangi para peziarah. Seperti saat itu kami lihat, peziarah datang dari berbagai kota.

Tak terasa, akhirnya kami sampai di titik terakhir kunjungan kami ke masjid-masjid bersejarah di pesisir utara Jawa. Meski tak semua petilasan waliullah kami kunjungi, perjalanan selama 4 hari 3 malam ini begitu istemewa bagi kami. Ini semacam healing, pelarian, dari rutinitas sehari-hari. Kami berasa menjejak dimensi ruang dan waktu saat para Wali Songo itu memulai dakwah menyebarkan agama Islan di wilayah pesisir utara Pulau Jawa. Keberadaan jejak-jejak peninggalan bersejarah yang tak ternilai harganya ini semestinya terus dipelihara atau dirawat dengan baik. Menurut catatan kami, masih banyak yang perlu dibenahi agar tempat-tempat wisata religi ini nyaman dan aman untuk dikunjungi. Ruang-ruang edukasi juga mesti ditambah. Banyak generasi sekarang yang tidak mengenal lagi peninggalan-peninggalan keramat ini. Sudah banyak tersedia berbagai informasi tentang tempat-tempat bersejarah ini. Tapi, mendatanginya langsung memang beda rasanya. Mudah-mudahan, kisah perjalanan kami ini melengkapi khazanah catatan tempat-tempat religi di Nusantara. Menjelang magrib, kami pun kembali ke arah Jakarta…meninggalkan salah satu keajaiban peradaban di masa lampau…ruang senyap yang terasa menyejukkan…untuk kembali ke ruang yang hiruk…  

Dewan Redaksi Catatankaki

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *