Di Indonesia, menurut data Globocan, kasus baru kanker mencapai 396.314. Angka kematiannya 234.511. Sangat besar.
Penyebabnya tentu kompleks. Tapi hampir semua sumber menyebutkan, salah satunya adalah gaya hidup manusianya sendiri. Konsumsi makanan instan termasuk bagian dari perilaku yang menyebabkan kian menjamurnya kanker ini.
Lalu lihat juga data UNICEF pada 2019. Filipina, Indonesia, dan Malaysia adalah 3 negara di Asia Tenggara yang 40% anak-anaknya mengalami kekurangan gizi. Setelah ditelisik, biang keroknya kembali tertuju pada gaya hidup masa kini. Para orang tua terlalu sibuk bekerja sehingga tradisi masak di rumah diabaikan. Jadilah makanan dan minuman instan dipilih sebagai solusi. Cepat, praktis, dan murah. Tak mengherankan bila angka konsumsi makanan instan anak-anak, khususnya anak balita di Filipina, Indonesia, dan Malaysia, juga terbesar di dunia. Ini seturut dengan besarnya angka kekuarangan gizi yang sangat memprihatinkan kita dan menjadi perhatian khusus UNICEF.
Gaya Hidup Sibuk
Sekarang, mari kita lihat jumlah anak stunting alias kurang gizi dan pertumbuhannya terhambat di Indonesia. Walaupun persentasenya sudah turun, dari 24% pada 2021 menjadi 21% pada 2022, tetap saja ini angka yang besar. Kalau jumlah anak balita di Indonesia diperkirakan 30 juta anak, maka yang menderita stunting sebanyak 6,3 juta. Bayangkan, 1 dari 4 anak di Indonesia mengalami stunting? Ini angka yang sangat besar!
Penyebab umum dari stunting adalah asupan gizi dan kebersihan. Anak dan ibu saat mengandung tidak mendapatkan asupan gizi yang layak, seperti makanan dengan protein tinggi, vitamin, dan mineral yang cukup. Maka, terjadilah malnutrisi.
Apakah kemiskinan yang menjadi alasan mereka tidak memiliki akses pada makanan bergizi? Ternyata bukan itu saja, tapi ada hal yang lebih ironis, yaitu gaya hidup sibuk yang membuat segala sesuatu harus dilakukan serba cepat dan instan.
Orang tua kekinian adalah orang tua yang sibuk bekerja sehingga tradisi masak masakan rumahan menjadi terkikis. Walaupun harus masak, cukup masak yang hanya bisa dilakukan dalam hitungan menit. Mi instan, bubur instan, nasi goreng instan, bumbu instan, sambal instan, dan semua hal yang memiliki label serba instan menjadi stok wajib yang ada di rumah.
Hal tersebut bukan tidak disadari oleh negara. Melihat angka stunting di Indonesia yang masih tinggi, Presiden Jokowi bahkan berulang kali mengimbau masyarakat untuk menghindari memberi anak balitanya makanan instan. “Saya ingatkan, pada saat intervensi masa kritis, anak jangan diberi makanan ultraprocess, seperti biskuit dan bubur instan. Ini harus hati-hati. Ini keliru,” katanya dalam Rapat Koordinasi Nasional Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah se-Indonesia, Januari lalu.
Ada Uang di Balik Batu
Namun, melihat fakta yang ada, imbauan pemerintah ini menjadi hanya seruan moral bila tanpa diikuti regulasi yang membatasinya. Konsumsi makanan instan tetap akan semakin menggila. Derasnya pertumbuhan industri makanan instan malah makin sulit dibendung. Lihat saja di kasus mi instan. Setiap tahun, pertumbuhannya meroket. Menurut angka yang disodorkan Katadata, tahun 2022, konsumsi masyarakat Indonesia terhadap mi instan naik 4,98%, menjadi 13,27 miliar bungkus. Ini fantastis!
Angka-angka ini tentu bukan angka mentah, ketika kita konversikan ke nilai uang. Artinya, ada nilai bisnis triliunan rupiah mengalir setiap tahun di industri makanan instan ini.
Baca Juga: Runtuhnya Tradisi Luhur
Kita lihat ilustrasi nilai bisnisnya. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021, industri pengolahan makanan dan minuman Indonesia mencatat omzet Rp 700 triliun. Persentase terbesarnya tentu olahan dengan metode ultaprocessed, yaitu pengolahan makanan/minuman yang biasanya melewati proses pengeringan, pemanggangan, ekstraksi, dan pasteurisasi tertentu. Bahasa lainnya makanan atau minuman instan. Dengan melihat nilai bisnisnya yang besar ini, jelas, upaya-upaya idealis mengembalikan tradisi makan makanan rumahan, tradisi masak seperti yang dilakukan turun-temurun oleh keluarga kita, kian terimpit.
Dari angka Rp 700 triliun ini, tentu ada alokasi bujet untuk semakin membumikan konsumsi makanan dan minuman instan lewat strategi pemasaran. Memproduksi iklan, membayar media, membayar influencer (baik selebritas, ahli gizi, ataupun para praktisi medis yang setuju dengan keberadaan makanan instan ini), serta biaya-biaya bernilai raksasa lainnya.
Jadilah, makanan dan minuman instan bagian dari gaya hidup abadi, walaupun risiko yang mesti dituai adalah risiko mematikan.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Prancis, dengan responden 45.000 orang, menyebutkan, ada hubungan kuat antara ultraprocessed food (makanan instan) dan kematian. Hasilnya, setiap peningkatan 10% konsumsi makanan dan minuman instan mengingkatkan risiko kematian hingga 14%.
Ironis, memang. Gaya hidup adalah aspek emosi yang bisa mengalahkan rasionalitas. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ultrapocessed food alias makanan instan ini merupakan golongan makanan berkualitas rendah dan berisiko tinggi. Selain miskin nutrisi, makanan ini mengandung kadar gula, garam, dan lemak tinggi yang mampu meningkatkan kolesterol jahat serta berpotensi memicu hipertensi. Ujungnya jadi masalah bagi jantung.
Jenis makanan ini juga mengandung zat aditif, yang bisa meningkatkan permeabilitas usus dan menyebabkan penyakit autoimun. Zat aditif ini juga merupakan karsinogenik yang mampu membangkitkan sel kanker.
Masih banyak hal buruk dari makanan instan yang siap meneror. Tapi rekayasa industri yang berhasil membangun fatamorgana gaya hidup instan “membungkus” risiko-risiko maut itu dengan sesuatu yang menyenangkan sekaligus menjerumuskan.
Kita seperti berjalan sambil mata terlelap menikmati gaya hidup instan. Sementara di depan, banyak batu sandungan yang siap bikin negeri kita hancur masuk kubangan.
Bila mimpi di depan, pada 2045 Indonesia menuai untung imbas ledakan generasi produktif, maka jangan biarkan saat ini makanan instan justru menjerumuskan generasi kita rapuh dan sakit.
TIM INVESTIGASI: Asep Herna, S. Maduprojo, Yulius Martinus, Ahmad Subagio, Ardian Permana