Pikir kami, ini ide nekat, mengingat sudah hampir seminggu terakhir wilayah Jabodetabek diguyur hujan deras. Tentu saja wilayah puncak sangat mungkin bakal turun hujan.
Saya memilih pagi-pagi, sekitar pukul 07.00, untuk melaju ke arah kawasan Puncak. Kebetulan pagi itu tidak turun hujan meski langit terlihat gelap imbas hujan semalaman. Selama ini, dikenal banyak jalur alternatif menuju Puncak, yang ujungnya tembus ke Simpang Gadog. Tapi jalur favorit kami kalau menggunakan sepeda motor adalah Jalan Raya Bogor-Pasar Cibinong/Stadion Pakansari-Sentul-Babakan Madang-Bukit Pelangi-Gadog. Pada akhir pekan, ruas jalan ini merupakan jalur alternatif untuk menghindari kemacetan. Jalur yang biasa dilalui pada saat menelusuri Jakarta-Puncak, yakni ke arah jalan Tajur ataupun Ciawi, sering kali macet. Tapi, bagi yang membawa mobil, jalur ini tanpa masuk jalan tol Jagorawi.
Jalur ini bukannya tidak bisa dilewati mobil, tapi saya rekomendasikan menggunakan sepeda motor bila memilihnya. Kontur jalannya naik-turun, banyak lubang ataupun aspal/coran yang mengelupas di beberapa titik, serta jalurnya cenderung menyempit dan berkelok-kelok, terutama memasuki Babakan Madang. Tapi, dibanding jalur yang biasanya tadi, “perjuangan” di sepanjang jalur ini akan tertebus oleh pemandangan asri di sekitar perbukitan Sentul dan Bukit Pelangi, yang bisa lebih intens disaksikan via sepeda motor dibanding lewat mobil.
Dari arah Jakarta atau Depok, saya melewati Jalan Raya Bogor hingga melintasi Pasar Cibinong dan sekitar Stadion Pakansari. Setelah itu, saya melanjutkan perjalanan hingga bertemu dengan perempatan ke arah Jalan Alternatif Sentul atau menuju Kota Bogor. Sampai di sini, saya belok ke kiri hingga bertemu dengan pintu masuk jalan tol. Saya teruskan perjalanan sampai melewati kolong jalan tol, putaran Tugu Pancakarsa, pintu masuk Sirkuit Sentul, lalu lurus saja menemui Jalan Babakan Madang.
Di sini, di sejumlah titik, kondisi jalannya kurang begitu bagus, seperti adanya kubangan, aspal terkelupas, dan berbatu. Apalagi setelah hujan berhari-hari kemarin, hati-hati dengan kotoran pasir atau kerikil yang membahayakan pengendara.
Namun kondisi ini hanya terjadi pada awal perjalanan menuju Babakan Madang. Setelah itu umumnya kondisi jalan relatif aman. Setelah sampai pertigaan di ujung jalan, saya mengambil jalur alternatif di samping Sentul International Convention Centre. Sampai putaran di depan, setelah bertemu dengan tugu, saya mengambil arah kiri menuju kawasan Sentul City. Selanjutnya, saya terus mengambil jalur kiri—bukan ke jalur kanan—dan mengambil ke arah kanan, menuju Jalan Cijayanti, ke arah kawasan Gunung Pancar/Bukit Pelangi. Nah, di sepanjang jalan Cijayanti ini ada sejumlah lokasi kuliner. Anda bisa mampir sembari beristirahat. Hingga ujung pertigaan Jalan Cijayanti, saya mengambil arah ke kiri untuk selanjutnya menuju jalur alternatif ke Rainbow Hills.
Setelah memasuki kompleks Rainbow Hills/Bukit Pelangi, sebelah kanan sebelum ke arah Gunung Pancar, pilih jalur yang mengarah ke Gadog/Cisarua, melalui akses jalan yang dibuka untuk umum. Di depan, jalan di antara hole-hole padang golf ini dijaga petugas keamanan. Nah, di sinilah spot-spot pemandangan hijau perbukitan di sepanjang jalan alternatif di dalam lapangan golf ini. Jalan berkelok, dengan turunan dan tanjakan, menjadi suguhan bagi pengendara. Perjalanan jauh pun tidak jadi membosankan karena terhampar pemandangan yang menakjubkan dari atas perbukitan. Tapi kini di jalanan sekitar padang golf Rainbow Hills/Bukit Pelangi ada larangan berhenti dan mengambil foto—ada 1-2 petugas keamanan yang ditempatkan di titik tertentu. Pernah suatu kali kami mengambil foto di antara jajaran pepohonan di sekitar jalanan ini. Tapi, tak lama, seorang petugas menghampiri untuk melarang kami mengambil gambar. Selain itu, di beberapa titik, kondisi jalannya berlubang dan rusak.
Di sepanjang jalur alternatif Bukit Pelangi biasanya kita akan berpapasan dengan pesepeda motor yang banyak melalui kawasan ini. Banyak anak muda yang berlalu lalang menikmati pemandangan sekaligus makan/ngopi di warung penjaja makanan yang ada di situ. Banyak warung kopi yang berjajar di sepanjang lereng bukit ini, tepatnya di sepanjang Jalan Gunung Geulis. Tapi, hati-hati, ada sejumlah titik tebing yang kerap terjadi tanah longsor dan kondisi jalannya rusak/berlubang. Seperti saat saya temui siang itu, ada tebing yang mungkin baru semalam terjadi tanah longsor. Beberapa warga setempat atau pedagang yang ada di sekitarnya beramai-ramai menyisir tanah-tanah yang berjatuhan. Selanjutnya adalah jalur menembus pertigaan Jalan Pasir Angin Gadog, yaitu titik temu ke Jalan Raya Puncak. Anda tinggal belok kiri ke arah Puncak, atau ke kanan ke arah Ciawi.
Halimun di Kejauhan
Sampailah kami di jalan raya menuju Puncak. Mendekati Puncak, tak seperti biasanya, kali ini hawa dingin lebih terasa dingin. Kami juga sempat melihat wilayah Puncak terselimuti kabut tebal hingga bukit-bukit hijau yang biasanya menghampar indah nyaris tak terlihat. Sampai di sini tidak turun hujan. Melewati kebun teh Gunung Mas, kami mulai disambut kabut-kabut tipis, dan lama-kelamaan menebal. Melewati Masjid Atta’ Awun menuju Puncak Pas, kabut semakin menggila, diiringi angin yang bertiup kencang. Mobil-mobil pun menyalakan lampu dim dan sepeda motor mengedipkan lampu-lampu sein. Kami sempat ragu untuk melanjutkan perjalanan. Niat awal, kami ingin sekadar makan di Warpat—salah satu lokasi kuliner populer sebelum Puncak Pas. Tapi, akhirnya kami sepakat untuk lanjut ke Warpat. “Tanggung, ah,” pikir kami.
Baca Juga: Tersesat dalam Lirik dan Kisah Kelam “Gloomy Sunday”
Tapi, ya, itulah. Hari itu kami melakukan perjalanan yang “menantang” dan tentu saja berbahaya mengingat jarak pandang nyaris hanya beberapa meter di depan. Laju-laju truk besar dan sejumlah kendaraan nyaris tidak terlihat. Belum lagi kabut mulai bercampur uap air dan embusan angin yang bertiup sangat kencang. Sejumlah petugas dilengkapi dengan lampu ditempatkan di beberapa tikungan jalan untuk membantu dan memantau kendaraan yang melintas. Tapi, saya tidak tahu, kenapa saat itu jalur menuju Puncak Pas ini tidak ditutup, mengingat jarak pandang yang membahayakan.
Akhirnya, sampailah kami di Warpat. Kabut yang semakin tebal, angin kencang, dan uap air menyambut kami di sebuah warung “Indomie” di sini. Ada beberapa orang yang singgah di warung ini. Mereka tengah asyik menyeruput kopi atau teh di antara meja-kursi yang terlihat basah. Kami memilih tempat lesehan yang karpetnya juga basah akibat kencangnya angin dan uap air yang dibawa kabut. Kami tidak tahu berapa suhu cuaca saat itu. Yang jelas, kami menggigil kedinginan dan keluar asap dari mulut kami saat kami saling berbicara—seperti di Eropa saja, ya… “Baru beberapa hari ini seperti ini. Dan kabutnya juga dahsyat,” ujar seorang pelayan di warung ini.
Dua mangkok mi instan pun kami pesan. Juga segelas bandrek dan teh manis panas. Tapi, agak aneh, hidangan yang tadinya hangat/panas itu dengan cepat menjadi dingin ketika kami santap. Waduh, mungkin karena suhu yang sangat dingin hari itu.
Setelah menunggu beberapa saat menunggu halimun mereda, kami pun “turun”. Kunjungan kali ini ke Puncak memang lain dari biasanya. Kali ini kami membawa satu momen ketika bisa memeluk dan menyapa halimun, kabut tipis yang kali ini begitu tebal, yang biasanya hanya kami pandangi dari kejauhan. Pengin tahu rasanya?
Sejumlah Tip di Sekitar Puncak Pas
– Jangan kaget, makan semangkok mi instan di Warpat, misalnya, terkena banderol “cukup mahal”, sekitar Rp 18 ribu. Teh, kopi, dan bandrek berkisar Rp 7.000-9.000. Tapi, mahal-tidak mahal ya relatif, emang segitu kalau di sini. Namanya juga Puncak…..
– Kalau hari normal, tidak berkabut, jangan kaget kalau banyak monyet berkeliaran di sekitar kawasan ini. Hati-hati dengan tas plastik atau tentengan yang Anda bawa. Bisa-bisa si monyet menyambarnya lantas ngacir pergi…
– Di Puncak Pas, ada jasa fotografer yang akan menawari Anda berfoto. Anda bisa memilih hasil jepretan, yang dihargai sekitar Rp 7.500 untuk satu gambar. Tapi bisa dinegosiasi, sih… Untuk parkir sepeda motor, di kawasan Puncak Pas ini Anda langsung dikenai Rp 5.000 bayar di muka.
– Selain di Warpat, ada sejumlah spot serupa di sekitar sini.
– Bila merasa pegal-pegal atau capek, mampir di Masjid Atta’ Awun untuk menunaikan solat sekaligus menjajal kursi pijat listrik dengan harga Rp 10 ribu untuk lebih-kurang setengah jam.
– Pintar-pintarlah memilih tempat makan ataupun pusat oleh-oleh karena ada penjual yang jujur dan “nakal”. Jangan segan-segan untuk menanyakan berapa harganya lalu menawarnya.
(S. Maduprojo)