25 November 2024
<strong>‘Politik Praktis’, Propaganda, dan Sepak Bola<br><br></strong>

Ilustrasi: Freepik.com

Hingga tulisan ini saya buat, Argentina dan Prancis akan saling menyingkirkan untuk menjadi juara dalam pesta sepak bola dunia World Cup 2022 di Qatar.

Siapa pun pemenangnya, dan apa pun yang terjadi di lapangan sepanjang laga penyisihan dimulai hingga babak final, World Cup tahun ini menyisakan sejumlah momen yang patut dikenang, di antaranya isu soal alkohol; pelanggaran HAM pekerja migran; serta kampanye lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

Intinya, soal alkohol, terjadi perubahan alias revisi kebijakan setelah terjadi diskusi antara FIFA, pemerintah Qatar, serta Budweiser selaku salah satu sponsor utama World Cup 2022. Semula, Budweiser mempunyai hak eksklusif menjual produknya di sekitar stadion. Kesepakatan itu berubah dengan hanya Budweiser diperbolehkan menjual produknya di spot-spot tertentu.

Soal pelanggaran HAM pekerja migran, hal ini bahkan sudah meruyak sejak Qatar ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 pada 2010. The Guardian melaporkan, sejak pembangunan infrastruktur untuk persiapan World Cup 2022, sekitar 6.000 pekerja migran meninggal akibat pekerjaan yang berisiko, antara lain cuaca yang sangat panas, dengan penanganan yang buruk. Belum lagi pemenjaraan para pekerja karena masalah visa kerja dll.

Soal isu LGBT, ini yang menarik. Sebagai negara Islam, Qatar melarang kegiatan LGBT dan seks di luar pernikahan dengan ancaman hukuman pidana. Sementara itu, sejumlah negara Eropa—yang sebagian menjadi peserta World Cup—begitu lantang menyuarakan hak-hak LGBT. Digagas Belanda pada 2020, tim-tim di Liga Eropa serta timnas ramai-ramai mengkampanyekan armband atau lengan ban kapten pelangi dengan sebutan “1 Love”, meski hal ini menjadi pro-kontra. Tidak hanya di lengan ban kapten, dalam sejumlah pertandingan di Liga Inggris, misalnya, warna pelangi itu juga menghiasi tiang bendera tendangan pojok/sudut. Bila Anda penonton setia Liga Inggris, aksi pemain bintang Leicester City, Jamie Vardy, dalam pertandingan melawan Sheffield United pada 6 Desember lalu, menjadi pusat perhatian. Setelah mencetak gol untuk kemenangan timnya, Vardy melakukan selebrasi dengan menendang tiang bendera tendangan sudut yang berhiaskan bendera pelangi hingga rusak. Entah Vardy tidak mendukung gerakan LGBT atau tidak sengaja melakukannya, akhirnya ia pun meminta maaf.

Di Qatar, FIFA menghargai permintaan tuan rumah untuk tidak mengkampanyekan hak-hak LGBT, baik melalui armband maupun perantara lainnya. FIFA akan memberikan kartu kuning langsung buat pemain yang melanggar kesepakatan itu. Tim yang semula ingin mengenakan ban kapten pelangi pun urung melaksanakan niat itu. Hanya, tim Jerman melakukan aksi tutup mulut sebagai bentuk protes atas larangan tersebut menjelang kick-off dalam laga perdana di Grup E melawan Jepang pada 23 November lalu.

Memanfaatkan Popularitas Sepak Bola

Mesti diakui, sebagai olahraga terpopuler sejagat, sepak bola merupakan media empuk untuk sarana “berpolitik praktis”. Politik praktis di sini dapat didefinisikan sebagai sebuah kegiatan, aktivitas, atau gerakan satu orang ataupun sekelompok untuk mempengaruhi pandangan, pendapat publik, tentang suatu keputusan atau kebijakan (pemerintah), atau bahkan dapat mengubah sebuah keputusan.

Sepak bola pun sering dijadikan semacam alat “propaganda” untuk kepentingan tertentu serta menyuarakan atau mempengaruhi sesuatu. Bahkan ketidaksukaan pada perbedaan yang menyangkut SARA. Di Liga Seri A, misalnya, kerap terjadi kasus rasisme antar-pemain ataupun pemain dan penonton. Kejadian teranyar ya propaganda soal isu LGBT tadi.  

Sepak bola sendiri tidak ada kaitannya dengan politik. Tapi, di era globalisasi dan karena sudah menjadi olahraga global, sepak bola dapat dan telah menjadi instrumen politik yang signifikan, baik untuk kebaikan maupun kejahatan. Sepak bola telah menjadi ”agen” diplomasi antar-negara. Sepak bola juga digunakan sebagai ekspresi identitas nasional. Olah raga, secara umum, termasuk sepak bola, berfungsi untuk menyebarkan ideologi. Negara sering memanfaatkan permainan olahraga untuk menunjukkan keunggulan ideologi mereka. Tim sepak bola Argentina versus Brasil, contohnya. Kemenangan tim negara yang satu atas yang lain adalah persoalan kebanggaan nasional. Lalu, pada masa Perang Dingin, kemenangan tim sepak bola Rusia (Uni Soviet) atas bangsa Barat dapat diartikan sebagai kemenangan budaya Soviet atas sistem kapitalistik demokrasi liberal. Sepak bola menjadi cara yang “aman” untuk mengekspresikan ketidaksenangan terhadap negara lain dan kebijakannya. Misalnya memboikot tim sepak bola nasional Israel yang berkompetisi di Eropa.

Berikut ini sejumlah contoh/momen ketika sepak bola telah bercampur-baur atau “tersusupi” kepentingan-kepentingan politik ataupun propaganda tertentu.

1. Aksi Pemain Bintang Austria Mempermalukan Nazi, 1938

Austria memiliki salah satu tim sepak bola terbaik pada 1930-an. Tapi, ketika Nazi mencaplok Austria, “Wunderteam” negara itu terpaksa mundur dari Piala Dunia 1938, di mana Austria sebenarnya sudah lolos, dan harus bergabung dengan tim Jerman. Striker bintang timnas Austria, Matthias Sindelar, sangat menentang perampasan kemerdekaan negaranya itu. Pada 1938, digelarlah sebuah pertandingan terakhir sebelum Austria bergabung dengan Jerman. Hingga 70 menit laga berlangsung, para pemain Austria terlihat tak semangat bermain dan membiarkan tim Jerman mengurung mereka. Namun, 20 menit menjelang laga bubar, beberapa pemain Austria bermain kesetanan, terutama Sindelar. Menurut buku sejarawan Jerman Nils Havemann, Fussball unterm Hakenkreuz, penyerang tengah itu mencetak gol pertama untuk negara tercintanya. Kemudian, saat gol kedua masuk, dia menari-nari untuk merayakannya di depan para pejabat Nazi. Di situlah nasib tragis Sindelar bermula. Setelah pertandingan, Sindelar dibujuk untuk bergabung dengan tim Jerman guna mengikuti Piala Dunia 1939. Namun, Sindelar keras menolak dengan alasan sudah tua dan mengalami cedera. Sejumlah intimidasi dan tekanan terus dilakukan agar Sindelar mau melunak. Tapi upaya itu tak membuahkan hasil. Pada 23 Januari 1939, Sindelar dan pacarnya ditemukan tewas di sebuah apartemen di Wina, Austria, dengan menyisakan sebuah misteri.

2. Pemain Aljazair Membangkang Bermain untuk Prancis, 1958

Di pertengahan perang kemerdekaan Aljazair, tim nasional Prancis memanggil segelintir orang Aljazair yang bermain di liga sepak bola Prancis untuk Piala Dunia 1958 di Swedia.

Diberi kesempatan kejayaan, ketenaran, dan kekayaan, para pemain asal Aljazair itu bergeming. Alih-alih menghadiri pertandingan persahabatan pra-turnamen melawan Swiss, mereka memutuskan melarikan diri dari Prancis, berkumpul di markas Front Liberation National di Tunisia dan meluncurkan tim nasional “ilegal”. Mereka pun dianggap desersi dan terancam ditangkap. Salah satu pemain keturunan Aljazair itu adalah Rachid Maflouki, yang bermain untuk klub Saint Etienne.

3. Drama Konyol Timnas Zaire, 1974

Zaire—kini Republik Kongo—adalah negara Afrika pertama yang mencicipi Piala Dunia, tepatnya di World Cup 1974 di Jerman Barat. Mereka berhadapan dengan Yugoslavia, Skotlandia, dan Brasil dalam laga penyisihan. Zaire menjadi lumbung gol setelah dikalahkan Yugoslavia 9-0; Skotlandia 2-0; dan Brasil 3-0. Banyak pihak pun mafhum atas hasil itu karena merasa Zaire memang bukan kelas Piala Dunia. Tapi banyak yang tidak tahu bahwa ada kisah kelam dan “konyol” di balik penampilan buruk tim Zaire.  

Baca Juga: Makna “Sumir” yang “Samar”


“Kesuksesan” Zaire masuk World Cup membuat diktator Presiden Mobutu bangga bukan kepalang. Ia pun memberi sejumlah hadiah, fasilitas, dan pangkat bagi pengurus sepak bola dan jajaran petinggi militer yang dianggap berjasa. Di sinilah para pemain merasa dibohongi. Bagi mereka, seharusnya semua itu untuk gaji dan bonus mereka, tapi semua itu cuma janji. Mereka lantas mogok dan mengancam tidak akan berangkat ke Jerman Barat sebelum dibujuk FIFA dengan memberi sejumlah uang agar mereka berangkat ke World Cup untuk menjaga reputasi turnamen.

Dengan malas-malasan, mereka pun berangkat ke Jerman Barat, dan terjadilah apa yang di lapangan tadi. Permainan tim Zaire sepanjang turnamen pun menjadi lelucon dan olok-olokan.

Menjelang laga penyisihan terakhir melawan Brasil, utusan Presiden Mobutu dikirim ke Berlin untuk menyampaikan pesan Mobutu bahwa, “kalau sampai Brasil menggilas Zaire lebih dari tiga gol, tim dilarang pulang ke Zaire”. Nah, dalam laga melawan Brasil, hingga menit-menit terakhir menjelang peluit berbunyi, Zaire sudah kebobolan tiga gol. Artinya, satu gol lagi, maka para pemain Zaire akan menjadi “tunawisma”. Satu momen saat tim Brasil mendapat hadiah tendangan bebas di dekat gawang, Ilunga, pemain Zaire, menerobos dan menendang bola sekeras-kerasnya ketika pemain Brasil bersiap-siap menandang bola. Maksud Ilunga jelas, ia menunda waktu agar pertandingan segera berakhir untuk menggambarkan kepanikan para pemain Zaire kala itu.

4. Bangsa Jerman Terbelah, 1974

Jerman Timur versus Jerman Barat di Piala Dunia 1974 mungkin merupakan pertandingan yang paling politis sepanjang masa. Setelah Perang Dunia II, negara yang terpecah itu telah menjadi arena utama Perang Dingin, dan pertandingan di Hamburg ini merupakan pertemuan dua ideologi.

Itu sebenarnya pertandingan terakhir di grup dan kedua tim sudah dipastikan lolos dari babak penyisihan. Tapi hal itu tidak mengurangi ketegangan pertandingan tersebut.

Sebagai tuan rumah, juara Eropa Jerman Barat menjadi favorit. Tapi Jurgen Sparwasser, pemain Jerman Timur, mencetak satu-satunya gol dalam pertandingan itu.

5. Junta Argentina dan Suap Gandum, 1978

Junta Argentina, yang merebut kekuasaan beberapa tahun sebelumnya, bertekad menggunakan Piala Dunia 1978 di negaranya sebagai propaganda untuk rezim tersebut. Menurut sebuah artikel pada 1986 oleh jurnalis Maria Laura Avignolo dari Sunday Times Inggris, dan didukung David Yallop dalam bukunya How They Stole the Game, junta menggunakan suap dan intimidasi untuk membantu memenangi piala. Di babak grup, Argentina harus mengalahkan Peru dengan empat gol dalam pertandingan terakhir untuk melaju ke babak selanjutnya. Jenderal Jorge Videla pun “melakukan kunjungan” pra-pertandingan ke ruang ganti Peru untuk berbicara dengan para pemain tentang “persatuan Amerika Latin”.

Setelah pertandingan melawan Peru, kargo yang berisi 35.000 ton gandum meninggalkan Argentina menuju Lima, Ibu Kota Peru. Rezim militer juga mengeluarkan pinjaman tanpa bunga sebesar $50 juta kepada pemerintah Peru. Dalam babak final, Argentina menjadi pemenang setelah mengalahkan Belanda 3-1.

6. Perang Piala Dunia 1998

The New York Daily News menulis dalam tajuk utamanya “Perang Piala Dunia” untuk menggambarkan laga timnas Amerika Serikat melawan tim Iran dalam World Cup 1998. Presiden Federasi Sepak Bola AS saat itu, Alan Rothenberg, bercanda bahwa, “Yang kami butuhkan hanyalah wasit Irak”. Sports Illustrated menggambarkan laga itu sebagai “A Devil of a Draw”.

7. “Perang Piala Dunia” Dua Korea, 2008

Timnas Korea Utara dan Korea Selatan sama-sama lolos ke World Cup 2010 di Afrika Selatan. Tapi, sebelumnya, ada banyak “keributan” dalam laga kualifikasi—kedua negara kebetulan satu grup di babak kualifikasi. Ketika laga seharusnya digelar di Pyongyang, Korea Utara, Korut menolak Korea Selatan menyanyikan lagu kebangsaan dan mengibarkan bendera nasional mereka di tanah Korut. Laga akhirnya dipindahkan ke Shanghai, Cina. Di Cina, pelatih Korea Utara mengeluhkan bahwa rival mereka telah meracuni makanan para pemainnya. Dalam sebuah pernyataan tentang pertandingan tersebut, asosiasi sepak bola Korut mengatakan: “Tidak diragukan lagi bahwa insiden tersebut merupakan tindakan yang disengaja akibat bahan makanan yang tercemar karena para pemain tidak dapat bangun tiba-tiba sebelum pertandingan.”

Menurut laporan BBC, federasi sepak bola Korea Selatan mengatakan seorang dokter olahraga telah memeriksa para pemain Korea Utara dan tidak menemukan masalah serius.

8. Laga Panas Serbia-Albania, 2014

Pertandingan lanjutan kualifikasi Piala Eropa 2016 antara Serbia dan Albania terpaksa dihentikan menyusul tawuran massal di tengah lapangan. Tawuran itu melibatkan pemain, ofisial, dan suporter.

Laga ini memang sudah diprediksi berlangsung panas lantaran bumbu politik. Kedua negara tengah dilanda ketegangan menyusul kemerdekaan Kosovo dari Serbia. Albania tak pernah berkunjung ke Serbia sejak 1967. Sedangkan tujuh dari 23 pemain Albania kebetulan lahir di Kosovo.

Di pengujung babak pertama, saat skor masih imbang tanpa gol, penonton tim tamu menerbangkan sebuah drone yang membawa bendera Albania dengan gambar peta Kosovo dan tulisan “autochthonous” ke tengah lapangan.

Seorang pemain Serbia, Stefan Mitrovic, lalu menangkap bendera tersebut dan merobeknya. Aksi Mitrovic ini malah membuat situasi memanas. Beberapa pemain Albania marah oleh ulah Mitrovic itu. Selanjutnya terjadi kerusuhan di tengah lapangan antara pemain dan staf pelatih. Beberapa penonton juga masuk ke lapangan.

9. Isu Tak Sedap Qatar, 2022

Qatar diduga telah mengeksploitasi kekayaan dan pengaruh politiknya untuk urusan sepak bola. Keberhasilan Qatar menjadi tuan rumah World Cup 2022, misalnya, tak luput dari dugaan penyuapan terhadap FIFA. Lalu, Yayasan Qatar menandatangani kesepakatan sponsor termahal yang pernah ada dengan FC Barcelona senilai 150 juta euro selama lima tahun. Ini adalah pertama kalinya FC Barcelona dibayar untuk memasang iklan di kaus mereka. Perusahaan stasiun televisi milik Qatar, Al-Jazeera, juga membeli hak internasional untuk menyiarkan sepak bola Piala Dunia 2018 dan 2022 untuk wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara (23 negara).

10. El Clasico Barcelona vs Real Madrid

FC Barcelona dikenal tidak hanya karena kesuksesannya di lapangan. Barça adalah lambang Catalonia, wilayah yang secara teknis berada di bawah otoritas Spanyol. Mereka berbicara dengan bahasanya sendiri, mengibarkan benderanya sendiri, menceritakan sejarahnya sendiri, dan telah lama mencari otonomi yang lebih besar dari Madrid. Ketegangan ini merambah ke lapangan setiap kali Barcelona bertemu dengan Real Madrid, yang dipandang sebagai perwakilan dari persatuan Spanyol. Catalonia akhirnya menggelar referendum pada 2017 untuk memisahkan diri dari Spanyol.

11. Bendera Palestina di Lapangan Hijau

Dalam Piala Dunia di Qatar tahun ini, pengibaran bendera Palestina mencuri perhatian. Tepat pada menit ke-48 pertandingan antara tim Tunisia melawan Australia, bendera Palestina bertulisan “Free Palestina” dikibarkan. Peristiwa serupa terjadi kala tim Maroko bertemu dengan Belgia. Menit ke-48 ini merupakan peringatan tragedi Nakhba pada 1948, saat penduduk Palestina diusir dan dibantai oleh pasukan Israel untuk mendirikan negara Israel. Sekitar 78 persen wilayah Palestina kemudian diduduki tentara Israel setelah peristiwa itu. Pengibaran bendera Palestina juga kerap dilakukan dalam sejumlah pertandingan di Tanah Air sebagai bentuk dukungan untuk kemerdekaan Palestina.

Namun momen paling mengesankan terjadi saat ratusan bendera Palestina dikibarkan suporter tim Celtic , Skotlandia—yang notabene mayoritas warganya non-muslim—saat menjamu tim asal Israel, Hapoel Bheer Sheva, dalam laga playoff Liga Champions pada 17 Agustus 2016. Akibat peristiwa itu, Celtic memang diberi sanksi FIFA denda mencapai Rp 3 miliar. Tapi, supporter Celtic menggalang dana untuk menebus denda tersebut.

(S. Maduprojo; bahan rujukan www.footie-fanatic.com dan sejumlah sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *