Deretan mobil pribadi, angkot, truk, bus, dan sepeda motor berebut dan bersiku spion melintasi Jalan Margonda Raya dan sekitarnya. Tak hanya setiap akhir pekan, kemacetan mengular setiap jam pulang ataupun berangkat kerja. Apalagi seusai hujan turun, tambah ruwet, dah. Yang membuat saya jengkel, mobil dan sepeda motor itu lantas menginvasi jalan-jalan kampung di sekitar Margonda—tempat saya tinggal—yang membuat jalanan kampung itu jadi krodit. Makin hari, mungkin seiring dengan mudahnya sekarang memiliki sepeda motor dan mobil, kejadian macet seperti menjadi hal yang biasa dan tambah parah. Tapi, ibarat orang haus, ya harus minum; harus dinikmati.
Macet tak hanya identik dengan jalanan di sekitar Margonda. Ketika saya melintasi jalanan di Kota Bogor, Pamulang, atau Bekasi, idem ditto. Sama saja. Saya membayangkan, dilihat di Google Maps, peta jalanan di Jabodetabek saat pagi dan sore hari di saat jam kerja, atau saat akhir pekan, dipenuhi garis merah di mana-mana.
Kerap kali saya melihat sejumlah mahasiswa asing yang ada di sekitar Margonda sedang menyusuri jalanan yang sedang macet-macetnya. Saya bisa menebak apa yang ada di pikiran mereka saat itu. Pasti mereka akan bilang, “Wooowww…amazing. Ini kota atau hutan, yang harus menerabas semak-semak….” Itu belum termasuk penampakan trotoar yang acak adul-penuh lubang, pedagang kaki lima—berkaki dua—yang menjajah jalur pedestrian, perilaku sopir angkot dan pesepeda motor yang sungguh “santun”, atau bergerombolnya para tukang ojek online di mana-mana. Semakin seru karena di sekitar lampu merah ada penghibur jalanan dan manusia perak yang berharap upah seikhlasnya. Eh, masih ada, yakni sejumlah manusia gerobak yang hadir di beberapa pinggir ruas jalan. Hee-hee-hee…
Saya jadi ingat, pada 2019, dalam sebuah acara pertemuan gubernur seluruh Indonesia, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berkelakar membandingkan kondisi Jakarta dengan Shanghai di Cina. Menurut Tito, Jakarta (saja) disebut tampak seperti kampung dibanding Shanghai. Nah, bagaimana dengan wilayah di sekitarnya, yang pembangunan dan infrastrukturnya tentu lebih tertinggal dibanding Ibu Kota?
Sebagai gambaran, pada 2021, data indeks lalu lintas situs web TomTom menempatkan Jakarta di posisi ke-46 kota termacet di dunia dengan tingkat kemacetan 34 persen. Meski begitu, menurut TomTom, tingkat kemacetan di Jakarta terus membaik sejak 2017. Ketika itu, tingkat kemacetan di Ibu Kota sebesar 61 persen dan masih berada di peringkat keempat kota termacet sedunia. Namun, belum jelas apakah penurunan tingkat kemacetan di Jakarta itu merupakan imbas pandemi Covid-19 dalam tiga tahun terakhir. Yang jelas, jalanan di Jabodetabek sekarang tetap dan kembali muacet.
Terlepas dari itu, saya jadi bertanya, sudah tahu setiap hari macet, kenapa orang-orang tetap tak kapok memakai mobil pribadi atau sepeda motor untuk pergi ke kantor atau tempat usaha? Memakai sepeda motor masih bisa berterimalah, dengan selap-selip sana-sini, 1 atau 2 jam sudah sampai tujuan. Lah, bagaimana dengan orang yang betah berlama-lama di jalanan di dalam mobil? Apalagi kalau lagi kebelet pipis atau pengin pub…
Tak Ada Pilihan
Coba saya cari jawabnya, ya. Pertama, tak ada pilihan. Dengan alasan agar lebih cepat, orang akan memilih memakai sepeda motor. Kedua, tak ada pilihan, meski bermacet ria, orang akan memilih pakai mobil buat beraktivitas. Lebih keren, enggak kucel, adem, dan gimana gitu… Ketiga, tak ada pilihan. Emang ada pilihan moda transportasi yang lebih nyaman dan efisien? Naik kereta, harus siap-siap bejubel, berdesak-desakan, dan berjuang sampai titik darah penghabisan. Bisa-bisa, rambut yang sudah dicatok rapi kuda menjelma keriwel dan bau wangi parfum Fanbo berubah jadi bau kambing. Naik Transjakarta? Sama bae. Seorang teman bercerita pernah coba naik Transjakarta dari Depok ke Kelapa Gading. Sementara dia naik sepeda motor cuma butuh sekitar 1 jam setengah, naik Transjakarta lebih-kurang 3 jam perjalanan baru sampai tempat kerja. La wong busway (jalur bus Transjakarta) ketemu-ketemu juga dengan jalanan buat kendaraan umum. Udah gitu mesti transit dari halte satu ke halte lain. Antre lagi antre lagi. Lemessss…. Naik angkot? Lebih nggak keren lagi. Lebih “gelap”. Naik sepeda? Wah, ini lebih ke uji nyali.
Jadi, kesimpulannya, tak ada pilihan, bukan belum ada pilihan. Kalau belum ada pilihan mestinya masih ada harapan transportasi di Jabodetabek bakal membaik. Tapi, sudah puluhan tahun merdeka, 70 tahun lebih menjelang 80 tahun malah, kita masih belum terbebas dari belenggu kemacetan dan kesemrawutan. Keonaran macet dan penampakan fasilitas umum di Ibu Kota Negara juga diikuti kota-kota besar lainnya.
Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kota-kota satelit baru yang dikembangkan para developer lebih tertata rapi dan “beradab”? Apakah para ahli/konsultan tata kota mereka lebih pintar dari pakar tata kota milik pemerintah daerah/negara dan dibayar lebih mahal? Apakah modal mereka (pengembang) lebih oke dan dipastikan tidak ada korupsi? Sepertinya tidak juga, ya? Terus apa, dong?
Baca Juga: “Lambat” dan “Lamban” Tidak Selalu Dapat Dipertukarkan
Saya berandai-andai jadi pakar/konsultan tata kota. Untuk mengatasi dan menyudahi karut-marut ini, sejumlah solusi akan saya usulkan kepada user saya: (1) Dari yang atas dulu, saya meminta negara bersikap tegas membatasi pemilikan kendaraan bermotor, baik sepeda motor maupun mobil pribadi. Caranya, coba copy paste saja kebijakan pembatasan kendaraan bermotor di Singapura, tetangga terdekat. Mulai 2018, Otoritas Transportasi Darat Singapura (LTA) membatasi pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di sana dengan berbagai cara. Misalnya “mempersulit” dan mempersempit memiliki mobil dan sepeda motor atau mengenakan pajak kendaraan yang tinggi. Setiap tahun, biasanya terjadi peningkatan sekitar 0,25 persen kendaraan bermotor di negeri jiran itu—bandingkan dengan Indonesia yang rata-rata tiap tahun 6 persen—dan LTA akan menargetkan turun menjadi nol persen. Solusinya, pemerintah Negeri Singa akan terus menambah dan meningkatkan kualitas transportasi umum. Kabarnya, mereka sudah menyiapkan anggaran sekitar Rp 278 triliun untuk mewujudkan hal itu. (2) Sejalan dengan pembatasan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Jabodetabek, saya menyarankan pemerintah membenahi transportasi umum. Jalur-jalur baru semodel LRT mesti diperbanyak dan terhubung dari ujung kota ke ujung lainnya, terhubung dengan moda transportasi lainnya. Pembenahan sarana jalan juga kudu diutamakan, dengan memperlebar jalan-jalan utama serta membuka jalan-jalan alternative baru. Saya bermimpi ada juga moda transportasi semacam trem di sejumlah ruas jalan. Jalur-jalur Transjakarta, menurut saya, bisa diubah menjadi rel trem ini sehingga tidak akan bergoresan dengan pemakai kendaraan lainnya. Lajunya mungkin tidak akan terganggu penyerobot jalur karena treknya khusus. (3) Merelokasi atau lebih tepatnya memaksa para pedagang di sekitar trotoar untuk berpindah tempat. Ada kebijakan baku bahwa trotoar adalah milik pejalan kaki, sarana untuk menikmati kota, bukan tempat mencari nafkah dan tempat parkir. Ini harus pakai “tangan besi” dan ada sanksi yang bisa membuat efek jera. Kalau perlu ada Satpol PP yang bertugas shift 24 jam. Perang perang, dehhh… Kasarnya begitu. (4) Memang butuh anggaran yang tidak sedikit. Karena itu, mimpi ini mesti diwujudkan bertahap, dengan satu pemikiran dan satu cetak biru antar-pemimpin wilayah berikutnya. Kalau perlu, jadi syarat untuk bisa ikut kampanye gubernur/wali kota agar setiap pergantian kepemimpinan tidak berganti kebijakan. (5) Apa lagi, ya? Bentar, belum dapat ide. Namanya juga pakar-pakaran. Oh, ya, jangan ada tilep-menilep anggaran di antara kita. Dibuat serius serta melibatkan pakar tata kota dan transportasi yang andal. Banyak orang pintar di Tanah Air, kok.
Cukup, itu dulu, ya. Mungkin tidak banyak membantu, namanya juga mimpi. Tapi paling tidak, saya tidak mau habis ide untuk sekadar berangan-angan mencari solusi agar kemacetan dan keruwetan sarana-prasarana kota tidak bertambah parah. Membayangkan di masa tua nanti—sekarang juga sudah tua—dan anak-cucu-cicit saya bisa menikmati nyamannya kota. Daripada ide menciptakan lagu atau himne untuk diputar di tiap perempatan lampu merah….(Maksudnya seperti yang saya lihat tiap hari di perempatan lampu merah RTM di Jalan akses UI; seorang penyanyi jalanan menghibur para penikmat macetnya jalan di sana)
(S. Maduprojo)