27 July 2024

Foto: Freepik

Peristiwa “tembak-menembak antar-polisi” yang sedang bikin geger Tanah Air mengingatkan saya akan frasa “good cop-bad cop”.

Di luar pro-kontra penyelesaian kasus ini, kinerja kepolisian dalam menyelidiki dan menyidik sejumlah perkara tengah menjadi sorotan. Sebut saja kasus salah tangkap ataupun mandeknya beberapa kasus penganiayaan, pembunuhan, dan kaburnya buron kepolisian. Dalam proses pemeriksaan kasus-kasus itu, disinyalir terselip di dalamnya kinerja “polisi yang baik-polisi yang jahat”.

Good cop-bad cop—kerap disebut Mutt and Jeff atau Friend or Foe, mengacu pada dua tokoh komik strip Amerika yang populer pada 1907 dan episode ke-81 seri animasi SpongeBob SquarePants—merupakan taktik psikologi yang digunakan dalam interogasi. Taktik ini melibatkan dua orang yang mengambil dua posisi bertentangan. Keduanya dapat menginterogasi subyek secara bersamaan ataupun terpisah.

Dalam bidang pola pengasuhan anak, bad cop mengacu pada orang tua yang lebih tegas dalam menegakkan aturan. Sedangkan good cop menyasar pada orang tua yang cenderung permisif— serba membolehkan; suka mengizinkan. Dalam kehidupan sehari-hari, seorang bad cop lebih sering bilang “no”. Sedangkan good cop lebih sering mengatakan “yes” terhadap berbagai tingkah laku anak. Namun pola pengasuhan ini dikritik lantaran membuat anak bingung, mana pegangan yang harus dianut.

Dalam manajemen bisnis, good cop-bad cop lain lagi. Istilah ini menunjukkan bahwa, dalam menjalankan proses bisnis organisasi, seseorang tidak perlu selamanya mengikuti prosedur operasi standar (SOP) yang sudah ditetapkan sebelumnya. Cobalah dilihat keterkaitan SOP tersebut terhadap proses yang dijalankan, sudah efektif ataukah belum. Misalnya, dalam sebuah perusahaan, ada bagian yang tidak mengenal sama sekali istilah diskon. Tapi, di bagian yang lain, demi strategi bisnis, menerapkan potongan harga.


Baca Juga: Bangkrut


Dunia politik juga mengenal istilah ini. Good cop-bad cop disematkan pada dua strategi yang bertentangan. Dalam debat capres pada 2014, misalnya, Jokowi-Jusuf Kalla disebut-sebut menerapkan strategi ini ketika berdebat dengan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Jokowi berperan sebagai good cop dan banyak mengemukakan keberhasilan-keberhasilannya selama menjabat Gubernur DKI Jakarta. Sedangkan Kalla memainkan peran bad cop, di mana sejak sesi awal sudah mengangkat masalah isu hak asasi manusia dan ketaatan terhadap hukum dalam memilih pemimpin untuk menyindir Prabowo.

Tapi, bagaimana sebenarnya asal muasal istilah good cop-bad cop ini?   

Proses interogasi good cop-bad cop banyak dijadikan tema dalam film-film Hollywood. Namun, sejatinya, ini merupakan teknik nyata yang digunakan oleh petugas penegak hukum yang mencoba memprovokasi pengakuan dari tersangka penjahat.

Menelusuri sejumlah literatur, jauh sebelum film-film Hollywood, gagasan di balik good cop-bad cop dapat dilihat dari kisah-kisah Illias—wiracarita Yunani Kuno—karya Homerus. Dalam sebuah kisah sebuah interogasi, misalnya, diceritakan “polisi yang baik” Odysseus mengatakan kepada tahanannya, “Jangan takut, jangan pikirkan kematian.” Sementara itu, Diomedes, si “polisi yang buruk”, mengambil pendekatan yang lebih keras, yang akhirnya menyerang tahanan di leher dengan pedangnya.

Pada 1974, John E. Reid, seorang psikolog, ahli poligraf, dan mantan polisi Chicago, menerbitkan “Teknik Wawancara dan Interogasi Reid”. Teknik ini diajarkan Reid kepada penyelidik swasta dan petugas penegak hukum sepanjang 1970-an. Reid mengemukakan tiga langkah penyelidikan yang melibatkan analisis faktual, wawancara, dan interogasi.

Komponen interogasi dari teknik Reid adalah “polisi yang baik dan polisi yang jahat”. Selama interogasi, tersangka ditempatkan di ruang terisolasi dan pertama kali diperkenalkan kepada seorang petugas yang sombong dan tidak kenal kompromi, yang mencoba meyakinkan tersangka bahwa polisi sudah mengetahui aktivitas kriminal individu tersebut. Tujuan akhir dari petugas pertama, atau “polisi jahat,” adalah memaksa pengakuan dari tersangka.

Jika “polisi jahat” gagal membuat pengakuan dengan rasa takut dan intimidasi, tersangka kemudian diperkenalkan kepada “polisi yang baik”, yang mengungkapkan belas kasihan kepada tersangka kriminal. “Polisi yang baik” mencoba memprovokasi pengakuan dari tersangka dengan meyakinkan mereka bahwa itu adalah kepentingan terbaik mereka untuk mengaku. Sering kali, “polisi yang baik” akan memberi tahu tersangka bahwa, jika tersangka mengaku, ia mungkin akan pergi atau mendapatkan hukuman yang lebih ringan.

Nah, tertarik menerapkan strategi ini?

(S. Maduprojo, diolah dari berbagai sumber, rujukan www.newsmax.com, www.reid.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *