Mereka tak sekadar nongkrong, tapi menjadikan area itu seakan panggung catwalk mereka. Dengan style fashion yang nyeleneh, mereka beradu gaya. Terkadang sambil saling mengejek penampilan satu sama lainnya, dengan gaya humor.
Istilah “Citayam Fashion Week” sendiri bukan berasal dari klaim anak-anak remaja ini. Tapi sebutan seorang Tiktoker dengan akun @radita.pradana. Nyatanya, anak nongkrong ini tak cuma dari Citayam, tapi juga Bojonggede, Bogor, bahkan Bekasi.
Mereka tampil dengan gaya unik. Hilir mudik ala kontes mode jalanan. Ada yang memakai slayer, jeans bolong-bolong, kemeja flanel oversize, sweater sport, kaos, street jacket, sepatu warna-warni, kacamata hitam, sambil berpoto ria dengan berbagai pose. Mereka muncul dalam berbagai wawancara Tik Tok atau Reels, lengkap dengan gaya cool dan kebanyakan bertema romantika jomblo atau proses PDKT. Nama-nama seperti Bonge, Kurma, Roy, Jeje, adalah yang popular di antaranya.
Reaksi masyarakat pun beragam. Ada yang mengapresiasinya. Ada yang mem-bully-nya. Ada yang menganalisisnya dari sisi sosiologis, ada yang memanfaatkannya dari aspek ekonomis. Ada yang mengultimatumnya karena alasan kamtibmas, ada juga yang menjadikannya sebagai bahan topik pencitraan diri sebagai modal kontestasi politik di 2024. Biasanya, yang terakhir ini, bentuknya adalah janji untuk memfasilitasi ruang kreatif bagi mereka, tanpa perlu menyebut detail apa dan kapan realisasinya.
Nyatanya, aktivitas mereka menjadikan nama Citayam, Dukuh Atas, BNI City, Sudirman, dan SCBD jadi ngetop. SCBD yang notabene kepanjangannya adalah Sudirman Central Business District pun diplesetkan menjadi Sudirman, Citayam, Bojonggede dan Depok.
Baca juga: Chairil Anwar Pernah Gagal Move On, Lho…
Fenomena Citayam Fashion Week ini megingatkan kita pada letupan street fashion Harajuku di Jepang, sekitar awal tahun 2000-an. Uniknya, bila Citayam Fashion Week berawal di area Stasiun Dukuh Atas dan Statsiun BNI City, Harajuku pun berawal dari Stasiun JR Harajuku, Distrik Shibuya, Tokyo. Apakah kemiripan ini memang diprogram, dalam arti Citayam Fashion Week adalah sebuah strategi orkestrasi yang memodel fenomena lain dalam hal ini Harajuku? Bisa ya, bisya tidak. Bisa ini kebetulan, bisa juga direncanakan.
Tak hanya lokasi dan tema besar street fashion yang mirip, tapi conversation di media pun sama. Harajuku street fashion direaksi oleh masyarakat mirip dengan Citayam Fashion Week direaksi masyarakat. Awalnya Harajuku fashion style di-bully, karena dianggap sebagai gaya semaunya yang menubrukkan berbagai aturan dan harmoni dalam fashion. Atasan dan bawahan ditubrukkan, lengan kanan dan kiri boleh berbeda ukuran. Kaus kaki bisa muncul dengan warna berbeda. Sepatu juga bahkan bisa beda bentuk dan merek. Harajuku fashion style pun dianggap norak.
Namun, persepsi itu berubah ketika Harajuku Fashion Style mendunia. Termasuk menjadi bagian dari gaya hidup anak muda Indonesia. Harajuku akhirnya jadi simbol pemberontakan anak muda terhadap hal-hal mainstream.
Akankan Citayam Fashion Week mengikuti sukses Harajuku? Entahlah.
Kabar baiknya, Citayam Fashion Week ini sudah menjadi topik yang melintasi Indonesia. Sebuah kanal twitter di Jepang, @TokyoFashion, sangat mendukung gerakan ini. Kanal ini berharap masyarakat Indonesia mendukung gerakan baik Citayam Fashion Week ini. Ia menyinggung, kenapa Harajuku mash eksis sampai detik ini, karena ada komunitas lain yang mendukungnya. Seperti mahasiswa-mahasiswi mode yang membawa aktivis Harajuku masuk menjadi bagian dari fashion kampus-kampus.
Begitu juga, kata @TokyoFashion, Citayam Fashion Week harus didukung oleh masyarakat Indonesia. Gerakan seperti ini bisa mengangkat fashion lokal lebih muncul di permukaan, sehingga berdampak baik secara eksistensi maupun ekonomi.
Akankah Citayam Fashion Week hanya menjadi fenomena musiman yang muncul karena kultur thread media sosial saja? Atau seperti kasus Ganja Medis, kemudian ia akan lenyap setelah memunculkan kontroversinya, tertutup isu-isu viral berikutnya yang terus deras bermunculan?
Yang jelas, saat ini sedang ramai kisah predator seksual JEP, adu tembak polisi versus polisi, dan entah isu heboh apa lagi. (A. Herna)