Bukan untuk dinikmatinya, melainkan untuk mengobati istrinya tercinta yang didiagnosis mengidap penyakit syringomyelia. Ini adalah jenis penyakit langka di sumsum tulang belakang.
Fidelis pun dibui selama 8 bulan. Ia juga didenda Rp 1 miliar. Sementara itu, sang istri, wafat berselang 1 bulan setelah Fidelis divonis. Ia meninggalkan 2 anaknya yang masih kecil. Dan Fidelis hanya bisa menangis di balik terali. Tragis.
Babak cerita lainnya, suatu pagi yang ramai, akhir Juni 2022, di area car-free day (CFD), Jakarta. Santi Warastuti, seorang Ibu asal Sleman, membentangkan poster bertulisan “Tolong, Anakku Butuh Ganja Medis”. Di sampingnya, duduk lunglai, Pika, gadis buah hatinya, yang menderita penyakit cerebral palsy sejak 2015. Cerebral palsy adalah salah satu jenis penyakit kelainan otak, dan salah satu treatment efektif pengobatannya, antara lain, dengan menggunakan minyak biji ganja.
Beruntung, di momen ini Santi bertemu dengan penyanyi Andien. Lewat akun Twitter-nya, pelantun Mentari ini mengunggah aksi Santi sehingga menjadi viral. Tak tanggung-tanggung, Santi pun diundang Komisi III DPR untuk rapat dengar pendapat. Wacananya, tentang perubahan undang-undang narkotika, dan kemungkinan mengeluarkan larangan ganja untuk medis dari peraturan yang ada. Wakil Pesiden Ma’ruf Amin pun meminta MUI mengeluarkan fatwa mengenai ganja untuk medis ini.
Berbeda dengan kasus Fidelis dan Santi, Januari 2022, seorang artis berinisial AP, digelandang ke Mapolres Jakarta Barat. Ia kedapatan menyimpan dan menggunakan ganja. Bukan untuk medis. Tapi AP menggunakannya lebih untuk rekreasi. Bersenang-senang.
AP bukan satu-satunya artis yang sempat diborgol polisi gara-gara kecanduan ganja. Ada sederet artis lainnya yang terseret hukum karena mengkonsumsi daun haram ini. Dan bukan cuma artis tentunya. Orang-orang umum pun berjubel. Ganja, rupanya, merupakan jenis narkotika yang paling banyak menyeret orang masuk penjara.
Kontroversi Ganja
Pada mulanya ganja hadir baik-baik saja. Dalam The little Book of Marijuana: History, Trivia, Recipe and More, ganja mulai akrab dalam kehidupan masyarakat Cina sejak tahun 6000 SM. Tahun 4000 SM ganja dijadikan sebagai bahan untuk baju. Pada 2700 SM mulai dimanfaatkan sebagai obat. Peradaban kuno di Mesir, India, dan Yunani juga mengenal ganja sebagai obat.
Awal mula ganja dilarang ketika imigran Meksiko masuk ke Amerika Serikat, di masa Revolusi Meksiko pada 1911-1914. Terjadi persaingan antarpekerja, dan kecurigaan berlebih dari warga AS terhadap imigran Meksiko. Pelarangan atas ganja saat itu lebih disebabkan oleh ketidaksukaan AS terhadap kebiasaan imigran Meksiko. Pada kurun waktu 1914 sampai 1925, puluhan negara bagian AS melarang seluruh keberadaan ganja.
Baca Juga: Setuju atau Tidak Kalau Ganja Medis Legal?
Baca Juga: Daun Terlarang
Baca Juga: Manfaat Ganja untuk Obat
Baca Juga: Mudarat Ganja: dari Euforia, Ketagihan, sampai Merusak Otak
Pada 1930, hal konyol terjadi. Menurut jurnalis Johann Hari dalam buku Chasing the Scream: the First and Last Day of War on Drug, pelarangan ganja dilakukan sebagai akibat kegagalan Biro Narkotika AS memberangus peredaran alkohol. Saat Biro Narkotika AS melarang alkohol, para gangster malah agresif mengedarkannya secara ilegal. Pelarangan alkohol akhirnya dicabut. Dan Biro Narkotika AS perlu musuh baru untuk diperangi. Maka, jatuhlan pilihan pada ganja.
Indonesia sendiri merupakan penghasil ganja terbaik. Namun, pada 1927, pemerintah Hindia Belanda melarang peredarannya. Alasannya, mengacu pada International Opium Convention di Den Haag pada 1912. Konvensi ini dihadiri 13 negara dan sepakat melarang ekspor ganja, opium, dan poppy berbahan dasar heroin. Larangan ini lebih mengacu pada persaingan bisnis dan perdagangan.
Sejak itu, memasuki fase merdeka, larangan atas ganja didasarkan pada warisan undang-undang kolonial. Kemudian muncul desakan internasional pada 1976 sehingga pemerintah akhirnya membuat Undang-Undang Penyalahgunaan Narkotika.
Tahun 1997, ganja dikampanyekan sebagai jenis narkotika paling berbahaya. Sampai puncaknya pada 2009, perang terhadap ganja semakin keras, dengan lahirnya Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Menolak Rekomendasi WHO
Ironisnya, ketika di awal, lahirnya pelarangan atas ganja karena tekanan dan konvensi internasional. Saat ini justru negara-negara tersebut mulai lebih melonggarkannya untuk kepentingan medis. AS, Belanda, Inggris, Kanada, Swiss, Jerman, Denmark, Australia, dan Korea Selatan adalah negara yang sudah membolehkan ganja digunakan untuk keperluan medis.
Bahkan WHO, pada 2019, sudah merekomendasikan ganja dilegalkan untuk keperluan medis.
Namun Polri, BNN, dan lembaga kementerian terkait telah melakukan rapat terbatas, dan menolak tegas legalisasi ganja, bahkan untuk keperluan medis. Alasannya, jenis ganja di Indonesia berbeda dengan ganja dari luar sana. Kandungan THC (tetrahydrocannabinol) yang bisa menyebabkan kerusakan pada otak lebih tinggi, yaitu 18%. Sementara itu, kandungan CBD (cannabidiol) yang baik untuk aspek medisnya sangat rendah, yakni hanya 1%.
“Rekomendasi WHO justru akan menimbulkan permasalahan bagi Indonesia. Seperti peningkatan angka orang sakit dan kematian akibat maraknya penggunaan ganja. Untuk itu, seluruh peserta rapat sepakat untuk menolak rekomendasi WHO sebagai statemen dan sikap Indonesia atas rekomendasi tersebut,” begitu kata Brigjen Krisno Siregar, Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, seperti dikutip Kumparan, 27 Juni 2020.
Pada 29 Juni lalu, menyikapi aksi Santi Warastuti, Polri masih berpendirian sama. “Sampai sejauh ini, Indonesia masih menjadi salah satu negara di PBB yang menolak legalisasi ganja,” tegas Krisno Siregar kepada media.
Apakah sikap ini mementahkan harapan Santi dan orang yang bernasib sama dengannya? Kita lihat ke depannya bagaimana. Yang jelas, hiruk-pikuk ganja di tengah berita selalu saja ada. Kalau bukan karena muncul dengan isu soal ganja medis, maka reguler setiap waktu ada saja berita ganja dan selebritis.
Boleh dibilang, ganja ibarat sebuah extravaganza yang tak pernah ada habisnya.
(A. Herna)