25 November 2024
‘Jagat Nekat Jasad Tekad’ atau ‘Jagad Nekad Jasat Tekat’?

Foto: Freepik.com

Ada hal “sepele” lagi dalam bahasa Indonesia yang kerap membuat orang awam bingung. Jangankan orang awam, orang-orang “pintar” pun sering keliru (atau tidak mengerti?) kata mana yang sebaiknya digunakan. Yup, persoalan sepele itu adalah bunyi hambat letup bersuara (b, d, g) dan hambat letup tak bersuara (k, p, t) ketika berada di akhir kata yang seolah-olah tampak tidak konsisten.

Kasus itu dapat kita temui pada kata-kata berikut: jagat/jagad, nekad/nekat, jasad/jasat, dan tekad/tekat. Contoh lain adalah beduk/bedug, ojek/ojeg, terjerembap/terjerembab, atau mantap/mantab. Sebagai catatan, Kamus Besar Bahasa Indonesia membakukan bentukan jagat, nekat, jasad, tekad, beduk, ojek, terjerembap, dan mantap. Pertanyaan banyak orang, kalau “jagat” misalnya yang disarankan digunakan, kenapa “jasad” tidak ditulis “jasat”? Kenapa “terjerembap”, tapi giliran “sebab” bukan “sebap”? Begitu juga yang lain, seperti ada ketidakajekan alias ketidakkonsistenan. Terus, kalau menggunakan kata-kata yang bukan baku, apakah hal itu lantas keliru? Padahal kan maknanya sama dan bunyinya mirip?

Bunyi-bunyi yang dipersoalkan itu memang bersifat alofonis—tidak fonemis, tidak membedakan makna. Pasangan yang berbeda makna, seperti kasus homofon pada “babad”/“babat”, “bang”/“bank”, atau “sanksi”/“sangsi”, tentu tidak akan memunculkan masalah dalam pemakaiannya. Keduanya dipakai dalam konteks dan arti yang memang berbeda.

Nah, masalahnya, berdasarkan apa KBBI menyarankan penggunaan jagat, nekat, jasad, tekad, beduk, ojek, terjerembap, ataupun mantap, bukan jagad, nekad, jasat, tekat, bedug, ojeg, terjerembab, dan mantab?

Dalam KBBI memang tidak ada keterangan asal-muasal alias etimologi sebuah lema atau kata. Jadi, kalaupun KBBI lebih menyarankan “jasad” alih-laih “jasat”, misalnya, idealnya memang ada keterangan asal-usul suatu kata tersebut. Jadi, ini bisa menjadi salah satu dasar kenapa sebuah kata dipilih lebih baku. Tapi ini tentu menjadi pekerjaan yang cukup berat bagi para peneliti bahasa. Untuk beberapa kata yang bisa ditelusuri asal katanya, hal itu memang akan lebih memudahkan pengguna bahasa untuk menentukan kata mana yang baku. Contoh, “jasad” berasal dari kata bahasa Arab “jasa(da)” yang artinya lebih-kurang tubuh atau badan. Jadi, bentuk bakunya memang jasad, bukan jasat. Lalu kata “jagat” berasal dari bahasa Jawa yang artinya lebih-kurang bumi dan isinya atau dunia fana. Jadi bentukan bakunya ya “jagat”, bukan “jagad”.

Baca Juga: ‘Terpincut’ dan ‘Tersengsem’ yang Membingungkan


KBBI juga cenderung memilih bunyi hambat letup bersuara “k” atau “p” di akhir kata untuk kata-kata seperti beduk, ojek, terjerembap, dan mantap. Contoh lain kata-kata dengan kasus sejenis adalah uruk, ujuk/ujuk-ujuk, gerebek, abrek/seabrek. Tapi untuk kata “sebab” atau “bab”, KBBI tetap berdasarkan asal-usul kata karena kebetulan kedua kata itu—sebab dan bab—berasal dari bahasa Arab.

Sejumlah pakar bahasa juga menganalis bahwa dulunya bahasa Indonesia tidak mengenal bunyi hambat letup yang bersuara (b, d, g) di akhir kata. Alasannya, penutur bahasa Indonesia tidak bisa atau sulit melafalkan bunyi-bunyi itu. Faktanya, setidaknya penutur bahasa Indonesia sekarang, bisa melafalkan ketiga bunyi itu, yang berada di akhir kata. Inilah yang disinyalir menjadi awal munculnya ketidakkonsistenan atau ketidakajekan sebagaimana dipertanyakan di muka.

Terus, bagaimana jadinya, nih?

Menurut penulis, selama kita mengerti asal-usul kata tersebut, seperti sebagian disebut di atas, jangan ragu untuk memilih kata-kata itu. Atau, kalaupun ragu, ya rajin-rajinlah membuka KBBI. KBBI tentu punya dasar untuk memilih mana yang baku dan mana yang tidak. Seperti disinggung di atas, bisa berdasarkan asal-usul kata atau kecenderungan lidah orang Indonesia untuk melafalkan bunyi hambat letup yang bersuara di akhir sebuah kata. Kalau salah tulis yang bukan baku, misalnya “tekad” menjadi “tekat”, atau “nekat” menjadi “nekad”? Ya—ini menurut saya, lo—enggak apa-apa. Kan tidak mengubah makna dan bunyinya sama? Enggak usah diambil pusing—ajakan ini jangan ditiru, ya, he-he-he… Kecuali kalau kalian sedang mengerjakan soal bahasa Indonesia untuk tes CPNS, atau ditanyai anak tentang soal tes bahasa Indonesia tentang kata-kata itu. Anda bakal kena denda kalau enggak nengok KBBI atau tidak hafal mana yang baku dan tidak… (S. Maduprojo)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *