Saya bukan penggemar musik. Termasuk generasi 90-an, saya hanya banyak mengenal lagu-lagu di era itu. Atau lagu zaman 80-an sewaktu masih bersekolah SD dan SMP dulu. Selebihnya tahu sedikit lagu-lagu yang populer di era 2000-an. Lalu sedikit juga tahu dan pernah mendengarkan lagu-lagu penyanyi era sekarang, semacam Fourtwnty, Isyana, Payung Teduh, Nadien Amizah, Fiersa Besari, hingga grup musik anti-main stream seperti Feast dan Banda Neira. Lagu-lagu Jason Ranti, Dialog Dini Hari, hingga Iwan Skuter juga suka. Lagu-lagu anak-anak muda itu, terutama tema dan lirik-liriknya, bagus-bagus. Tampil beda dibanding generasi sebelumnya.
Tapi, mendengarkan lagu-lagu Tulus, seperti yang baru saja saya dengar tadi, kayak ada yang berbeda. Seperti bunyi lirik yang lirih-lirih saya dengar dari laptop anak saya tadi, “…Kukira kita asam dan garam, Dan kita bertemu di belanga, Kisah yang ternyata tak seindah itu…”
Lalu, ke bagian reff lagu yang, pas di bagian ini, disuarakan lantang anak saya tadi, “…Kukira kita akan bersama, Begitu banyak yang sama, Latarmu dan latarku, Kukira takkan ada kendala
Kukira ini kan mudah, Kau aku jadi kita…”
Muhammad Tulus sudah menelurkan lima album sejak 2011, yakni Tulus (2011), Gajah (2014), Monokrom (2016), dan Manusia (2022). Mencermati lirik-lirik lagu dalam album Tulus, pengusung genre pop dan jazz ini banyak bermain-main kata dengan pendekatan puisi liris, dengan mengulang rima tertentu. Sebut saja penggalan lirik lagu “Tuan Nona Kesepian” dalam album Tulus ini. “…Tuan kesepian, tak punya teman; Hatinya rapuh tapi berlagak tangguh; Nona tak berkawan, tak pernah rasakan cinta; Sungguh pandai berkhayal, mimpi itu alamnya…”
Atau, penggalan lirik lagu “Gajah” berikut ini: “…setidaknya punya tujuh puluh tahun, tak bisa melompat kumahir berenang, bahagia melihat kawan yang berenang, berkumpul bersama sampai ajal, besar dan berani berperi sendiri, yang aku hindari hanya semut kecil, otak ini cerdas kurakit bernafas, wajahmu tak akan pernah kulupa…”
Pun penggalan lirik lagu “Hati-hati di Jalan” ini. “Kasih sayangmu membekas, Redam kini sudah pijar istimewa, Entah apa maksud dunia, Tentang ujung cerita, Kita tak bersama…”
Dalam lagu “Cahaya” di album Monokrom, dengan jeli Tulus bermain-main pengulangan kata dengan menyisipkan penggunaan majas metafora dan personifikasi. “…Ratusan hari ku mengenalmu; Ratusan alasan kamu berharga; Ratusan hari ku bersamamu; Ratusan alasan kamu cahaya…” Tulus banyak menggunakan teknis penulisan dengan pendekatan gaya konotasi, baik dalam lirik maupun pilihan judul lagu. Dia memilih frasa “asam dan garam”, misalnya, untuk menggambarkan sesuatu yang seharusnya seiring-sejalan. Atau memilih judul “Hati-hati di Jalan” untuk mengingatkan liku-liku perjalanan sebuah pernikahan ataupun hubungan.
Tema-tema lagu Tulus adalah cinta, hubungan dengan orang lain, persahabatan, dan kehidupan. Kata-kata yang dipilih Tulus merupakan tuturan sehari-hari, runut, seperti bercerita, tapi disajikan dengan pilihan kata yang berbeda. Tengok saja ketika Tulus ingin berbicara tentang persoalan sosial dalam penggalan lirik “Manusia Kuat”. “…Kau bisa patahkan kakiku, Tapi tidak mimpi-mimpiku, Kau bisa lumpuhkan tanganku, Tapi tidak mimpi-mimpiku, Kau bisa merebut senyumku, Tapi sungguh tak akan lama, Kau bisa merobek hatiku, Tapi aku tahu obatnya…” Lah, ini lebih tepatnya sebuah puisi, kan?
Baca Juga: Menghemat Kalimat (1)
Tak jarang pula Tulus memasukkan kata-kata yang terasa “berat” dalam sejumlah lirik lagunya. Seperti “kendala” dalam lagu “Hati-hati di Jalan”; “tamengku” dalam lagu “Gajah”; “monokrom”; “belanga”; “interaksi”, “sinergi”, “figur”, dan “remedi” dalam album “Manusia”, atau penggunaan frasa “ruang bebas” dalam lagu “Cahaya”.
Lelaki kelahiran Kota Bukittinggi pada 1987 ini mengaku menulis lagu dengan intuisi. Untuk soal lirik lagu, peraih Rookie of The Year tahun 2013 oleh majalah musik Rolling Stone Indonesia dan Top 50 Spotify Global ini mengaku terpengaruh oleh teknik penulisan pantun dan perumpamaan dalam bentuk puisi lama di Minangkabau. Tak aneh kalau kita menemui sesuatu yang “lain” dari lirik-lirik lagunya.
Yang jelas, lagu-lagu puisi liris Tulus ini membuat saya bahagia, yang, menurut saya, menjadikan bahasa Indonesia naik kelas dalam lirik-lirik lagu. Tak banyak penyanyi atau kelompok musik Tanah Air yang mendalami soal ini. Dulu sekali ada Ebiet G. Ade, atau lagu-lagu liris KLA Project. Meskipun, belakangan, kata-kata puitis banyak ditemui dalam lagu-lagu “anak senja” atau “indie senja”. Lirik lagu genre ini biasanya meromantisasi segala perilakunya dengan kata-kata puitis yang dianggap estetik. Atau, kalian punya penilaian yang berbeda? Monggo…(S. Maduprojo)