Candi Borobudur kini (Foto: Freepik)

Nama Candi Borobudur viral dalam bulan Juni ini. Pertama, pada awal Juni lalu, ketika pemerintah, melalui Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, mengumumkan kenaikan tarif tiket kunjungan ke sekitar stupa Borobudur.

Kenaikan harga tiket itu membuat masyarakat heboh lantaran untuk pengunjung lokal yang berusia 10 tahun ke atas, yang biasanya dikenai Rp 50 ribuan, dipatok menjadi Rp 750 ribu. Lalu untuk turis asing menjadi US$ 100, yang sebelumnya sekitar Rp 300 ribuan. Lantaran dinilai kontroversial, rencana itu buru-buru dianulir Presiden Joko Widodo sekitar seminggu kemudian.

Kedua, masih berkaitan dengan harga tiket ke candi, nama Menteri Pemuda dan Olahraga di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Roy Suryo, terseret dalam pusaran kontroversi Borobudur. Roy diperkarakan sejumlah pihak, di antaranya perwakilan umat Buddha, lantaran mengunggah ulang meme stupa Borobudur yang diedit menyerupai wajah Presiden Jokowi. Padahal, bagi umat Buddha, stupa utama itu begitu sakral dan suci.

Nah, sebagian orang mungkin berpikir Borobudur dulunya sudah berdiri seperti sekarang. Padahal monumen ini nyaris musnah dan dirobohkan. Berdasarkan sejumlah literatur, nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda Sir Thomas Stamford Raffles serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef tidak bisa dilepaskan dari sejarah Borobudur ini.

Raffles-lah yang pertama kali mempunyai perhatian yang luar biasa terhadap keberadaan situs BoroBodo/BoreBudur—begitu Raffles menyebut Borobudur kala itu. Ketika sedang berada di Semarang, Raffles mendengar kabar penemuan sebuah situs candi di Desa Bumisegoro, di dekat Magelang, Jawa Tengah, yang ditutupi semak belukar di sebuah bukit. Raffles pun langsung mengutus Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk mendatangi daerah itu dan membersihkannya bersama ratusan warga setempat. Siapa menyangka, bukit menjulang tempat penemuan serpihan batu dan stupa itu merupakan badan Borobudur yang tertimbun tanah. Laporan penemuan candi itu dituangkan dalam buku History of Java oleh Raffles yang terbit pada 1817, yang membuat penemuan Borobudur mendunia.

Setelah Raffles meninggalkan Batavia, keberadaan Borobudur pun kurang mendapat perhatian karena situasi kolonialisme saat itu, meski ada pemugaran-pemugaran yang dilakukan pemerintahan Hindia Belanda agar situs candi ini tidak runtuh. Adalah Daoed Yoesoef, pada 1953, bersama karibnya, Adi Putera Parlindungan, yang kuliah di UGM, menjejakkan kaki mereka di puncak Borobudur saat purnama. Itulah awal “jatuh cinta” dan perjuangan Daoed Yoesoef mewujudkan candi Borobudur menjadi seperti sekarang.

Pada masa-masa suram Borobudur itu, banyak peristiwa seputar Borobudur yang bisa kita rangkum dalam sejumlah fakta berikut ini:


1. Tindakan Raffles menemukan, membongkar, dan memelihara Borobudur saat itu dinilai sebagai hal yang berani karena reruntuhan batu itu dipenuhi cerita takhayul oleh masyarakat sekitar. Keberadaan candi itu dulu dikaitkan dengan kisah-kisah kesialan, kemalangan, dan penderitaan. Dua babad Jawa yang ditulis pada abad ke-18 menceritakan nasib buruk yang dialami sejumlah anggota Kesultanan Mataram berkaitan dengan keberadaan monumen ini.

2. Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih detail atas Borobudur diterbitkan. Foto pertama monumen ini juga diambil pada 1873 oleh ahli epigrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.

3. Sekitar 1882, pencurian dan penjarahan terhadap arca dan bebatuan Borobudur marak terjadi.  Sejumlah arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh para pencuri agar kepalanya terpenggal. Barang curian dan jarahan itu dikumpulkan sebagai cendera mata dan sumber penghasilan. Ironisnya, pemerintah kolonial Belanda pernah “merestui” penjarahan ini. Pada 1896, misalnya, mereka menghadiahi Raja Thailand Chulalongkorn berupa 5 arca Buddha, 30 batu dengan relief, 2 patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga, dan gerbang, serta arca penjaga dwarapala!

Baca Juga: Panggil Aku Sekarang Turkiye

4. Pada 1882, rezim pemerintahan Hindia Belanda pernah mengusulkan untuk meruntuhkan Borobudur yang kondisinya sudah rapuh. Reliefnya akan dipereteli dan disimpan di museum. Usulan ini lebih didasari semacam keputusasaan mengingat pertimbangan teknis dan besarnya dana yang diperlukan untuk memugar dan merawatnya. Usulan itu lalu ditolak pengambil keputusan di Batavia.

5. Daoed Yoesoef menceritakan keprihatinannya melihat kondisi Borobudur yang luar biasa kotor saat itu. Hewan ternak bebas berkeliaran di sekitar candi. Bermacam sampah berserakan di setiap gang di dalam candi. Umat yang melakukan meditasi di candi pun bercampur-baur dengan anak-anak yang bermain bola atau muda-mudi yang berasyik-masyuk di sana.

6. Daoed Yoesef berada di Prancis pada 1964-1972 guna meraih gelar doktor di Universitas Sorbone. Ketika sedang berada di perpustakaan UNESCO di Paris, Daoed menguping informasi soal adanya dana pemugaran untuk tempat atau situs yang diakui sebagai warisan dunia. Sayang, ketika informasi ini disampaikan ke KBRI, respons KBRI tak seperti yang dia harapkan.

7. Tak putus asa berjuang, Daoed ditunjuk sebagai delegasi Indonesia di UNESCO. Bersaing dengan situs Mohenjodaro dari Pakistan dan Venesia dari Italia, Borobudur akhirnya menang dan mendapat dana pemugaran yang dimulai pada 10 Agustus 1973.

8. Pada 23 Februari 1983, pemugaran Candi Borobudur dinyatakan selesai, dengan menghabiskan dana sekitar US$ 24 juta. Pada 1991, UNESCO mengukuhkan Borobudur sebagai warisan budaya dunia. (S. Maduprojo, dari berbagai sumber)


By redaksi

Catatankaki merupakan situs online yang dengan renyah mengulas segala hal terkait kata, budaya, filsafat, komunikasi, dan isu-isu humaniora populer lainnya. Dengan mengusung tagline "Narasi Penuh Nutrisi", Catatankaki mengemas semuanya secara ringan tapi mendalam; lugas tapi bernas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *