27 July 2024

Bendera Turkiye (Foto Istockphoto.com)

Rabu, 1 Juni 2022, menjadi hari yang bersejarah bagi negara Turki. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi menyetujui permohonan pemerintah Turki mengganti nama negara ini menjadi “Turkiye”.

Sebelumnya, sejak Desember 2021, Presiden Turki, eh, Turkiye Recep Tayyip Erdogan sudah menyerukan sosialisasi atau kampanye pergantian nama negara ini. 

Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu, menuturkan bahwa tujuan pergantian nama tersebut adalah untuk meningkatkan branding atau nilai merek negara tersebut. Sementara itu Erdogan menyatakan nama baru tersebut lebih mengungkapkan budaya, peradaban, dan nilai-nilai bangsa Turkiye dengan cara terbaik.

Lalu, kenapa Erdogan lebih suka negaranya disebut Turkiye, alih-alih Turki?

Selama ini, nama Turki (Turkey) dikaitkan dengan kalkun, yang merupakan burung besar simbol perayaan thanksgiving di Amerika Serikat, hari libur nasional yang dirayakan di Amerika setiap tahun pada Kamis keempat bulan November. Dalam bahasa Inggris, kalkun disebut turkey atau wild turkey. Nama Turkey juga mempunyai makna yang buruk alias berkonotasi negatif. Konon, kalkun liar dari Amerika Utara bermigrasi ke Inggris pada 1530-an. Pada 1570-an, kalkun menjadi hidangan utama setiap perayaan Natal di Inggris. Dalam bahasa gaul bisnis pertunjukan, istilah Turkey juga mengacu pada “pertunjukan rendah, kegagalan, bodoh, tidak efektif”. Di era Perang Dunia II, dikenal kontes keahlian menembak yang obyeknya kepala kalkun, dengan kalkun yang diikat di belakang sebilah kayu. Istilah Turkey juga kabarnya merujuk pada kisah lama seorang Yankee yang mencoba menipu orang India dengan membagikan kalkun dan seekor burung elang sebagai makanan. Kisah ini diperkirakan terjadi sekitar 1824.

Nah, tentu saja Erdogan enggan negaranya disamakan dengan burung kalkun yang disantap orang Amerika dalam setiap perayaan thanksgiving dan mempunyai sejarah yang kurang elok tadi. Erdogan tidak mau penyebutan nama Turkey justru membuat negaranya terjebak dalam budaya penyebutan negara ala orang Inggris, walaupun sejumlah pengamat dunia dan kelompok oposisi Turki menyatakan “ada udang di balik tepung” atas apa yang dilakukan Erdogan akli ini. Mereka menganalisis penggantian nama itu dimaksudkan Erdogan untuk mengalihkan perhatian masyarakat Turki yang pada tahun depan akan menggelar pemilu. Secara, kini Turki sedang dilanda krisis.

Sementara itu, Turkiye, dalam bahasa Ottoman Turkish, lebih bermakna positif. Menurut Erdogan, nama Turkiye merupakan kata yang paling tepat untuk menggambarkan budaya, peradaban, dan nilai-nilai bangsa Turki. Guna memperkuat citra ini, produk-produk ekspor yang didatangkan dari Turki akan menggunakan nama Turkiye, bukan lagi Turkey, Turkei, atau Turquie. Aturan yang sama juga diberlakukan untuk hubungan internasional lainnya, seperti penulisan surat, pernyataan resmi, paspor, dan visa. Sebenarnya Turkiye merupakan sebutan untuk Turki dari orang-orang lokalnya sendiri.

Saya jadi ingat, pada 2014, Arkand Bodhana Zeshaprajna—nama spiritual Imanuel Alexander—seorang ahli metafisika dan konsultan nama internasional, pernah mengusulkan nama Indonesia menjadi Nusantara. Arkand menilai nama Republik Indonesia itu buruk. Pendiri Sadhaka Universal Empowerment ini membaca struktur nama Indonesia dari kode-kode yang muncul dan terbaca dari ilmu metafisika yang dia miliki. Bahkan penulis eBook “Life and Death Codes-Secret Codes Revealed”, “Life and Death Codes-Progress Level”, dan “Master the Secret Codes” ini pernah meramalkan periode 2014-2023 merupakan fase polaritas negatif yang berbahaya bagi Indonesia. Kata dia, tanda-tanda kehancuran mulai tampak sejak 2014 dan puncaknya terjadi pada 2020—bukan kebetulankah kalau pada periode ini Indonesia mengalami kekacauan polarisasi politik dan politik identitas hingga sekarang? Menurut ilmu manutiras–ilmu yang mempelajari tentang struktur nama dan waktu–yang dia kuasai, nama “Indonesia” adalah “merah”, “terkutuk”, dan “tidak bertuah”. “Nekat saja kalau rakyat Indonesia masih pakai nama ‘Indonesia’,” tutur Arkand saat itu. Sayang, Arkand sudah meninggal pada Oktober 2020. Dia tentu tidak bisa ditanyai komentarnya soal nama Nusantara yang dipilih Presiden Joko Widodo untuk nama ibu kota baru, alih-alih memakai nama itu untuk nama negara.

Kembali ke Turki, upaya perubahan nama Turki ini bukan pertama kali dilakukan di negara tersebut. Pada pertengahan 1980-an, pemerintahan Perdana Menteri Turgut Ozal pernah melakukannya. Sayang, upaya itu tidak didukung rakyatnya.

Kini PBB sudah merestui nama Republik Turkiye karena, menurut PBB, perubahan nama sebuah negara merupakan hak prerogatif negara bersangkutan. Selain Turki, sejumlah negara memang sudah mengganti namanya ataupun benderanya. Sebut saja Belanda dari Holland menjadi Netherlands, Republik Makedonia menjadi Republik Makedonia Utara, Swaziland menjadi Eswatini, Republik Ceko menjadi Czechia, Cape Verde menjadi Cabo Verde, Ceylon menjadi Sri Lanka, Persia menjadi Iran, Siam menjadi Thailand, Burma menjadi Myanmar, Rhodesia menjadi Zimbabwe, Irish Free State menjadi Irlandia; atau Kerajaan Kamboja menjadi Republik Khmer, lalu Democratic Kampuchea, State of Cambodia, sebelum kembali lagi menjadi Kerajaan Kamboja.

Jadi, kalau kalian punya teman asal Negeri Erdogan, jangan tanya dari Turki … yaaaa, melainkan dari Turki…yeee… (S. Maduprojo, dari berbagai sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *