24 November 2024
Jalan Aman Datuk Madjoindo

Buku Si Dul Anak Djakarta (Goodreads)

Mas Bejo sebenarnya mau bikin surat protes buat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yang pada Rabu, 22 Juni lalu, telah menghadiahi warga Jakarta nama-nama baru 22 jalan yang ada di DKI.

Tapi Mas Bejo mengurungkan niatnya itu karena saat ini kebijakan Pak Anies untuk memeriahkan ulang tahun Jakarta yang ke-495 tersebut masih menuai pro dan kontra di masyarakat. Bagi yang setuju, langkah Pak Anies itu diapresiasi karena dinilai menghargai tokoh-tokoh Betawi. Untuk yang menolak, mereka beranggapan perubahan nama jalan itu akan menyulitkan warga yang terutama tinggal di sekitar jalan tersebut, mengingat perubahan tersebut akan merembet ke surat-surat penting/identitas lainnya yang harus menyertakan alamat rumah. Lagi pula, ujar mereka, sebagian nama tokoh itu kurang dikenal atau susah diingat.

Nama-nama jalan itu adalah Jalan Entong Gendut (sebelumnya Jalan Budaya), Jalan Haji Darip (sebelumnya Jalan Bekasi Timur Raya), Jalan Mpok Nori (sebelumnya Jalan Raya Bambu Apus), Jalan H Bokir Bin Dji’un (sebelumnya Jalan Raya Pondok Gede), Jalan Raden Ismail (sebelumnya Jalan Buntu), Jalan Rama Ratu Jaya (sebelumnya Jalan BKT sisi barat), Jalan H Roim Sa’ih (sebelumnya bernama Bantaran Setu Babakan Barat), Jalan KH Ahmad Suhaimi (sebelumnya bernama Bantaran Setu Babakan Timur), Jalan Mahbub Djunaidi (sebelumnya Jalan Srikaya), Jalan KH Guru Anin (sebelumnya Jalan Raya Pasar Minggu sisi utara), Jalan Hj Tutty Alawiyah (sebelumnya Jalan Warung Buncit Raya), Jalan A. Hamid Arief (sebelumnya Jalan Tanah Tinggi 1 gang 5), Jalan H Imam Sapi’ie (sebelumnya Jalan Senen Raya), Jalan Abdullah Ali (sebelumnya Jalan SMP 76), Jalan M. Mashabi (sebelumnya Jalan Kebon Kacang Raya Sisi Utara), Jalan H M. Shaleh Ishak (sebelumnya Jalan Kebon Kacang Raya Sisi Selatan), Jalan Tino Sidin (sebelumnya Jalan Cikini VII), Jalan Mualim Teko (sebelumnya Jalan depan Taman Wisata Alam Muara Angke), Jalan Syekh Junaid Al Batawi (sebelumnya Jalan Lingkar Luar Barat), Jalan Guru Ma’mun (sebelumnya Jalan Rawa Buaya), Jalan Kyai Mursalin (sebelumnya Jalan di Pulau Panggang), serta Jalan Habib Ali Bin Ahmad (sebelumnya Jalan di Pulau Panggang). Kalau dilihat secara saksama, perubahan nama hanya dilakukan untuk nama jalan yang non-tokoh, seperti Jalan Pasar Minggu, Jalan Warung Buncit, atau Jalan Rawa Buaya, meski secara toponimi—asal-usul penamaan nama tempat, wilayah, atau suatu bagian lain dari permukaan bumi, termasuk yang bersifat alam buatan—punya sejarah tersendiri.

Dari 22 nama jalan tadi, hampir semuanya adalah tokoh-tokoh Betawi yang dianggap mempunyai nilai kesejarahan dan kontribusi yang besar buat Jakarta. Sampai di sini, Mas Bejo bisa menerima. Mungkin Pak Anies ingin mendahulukan tokoh-tokoh lokal dan menghargai jasa-jasa mereka. Kata Pak Anies, “Dari Betawi dilahirkan begitu banyak pribadi yang hidupnya memberikan kemajuan.”

Nah, nada “protes” Mas Bejo tadi bukan mau menjadi bagian yang pro dan kontra. Mas Bejo cuma agak gagal paham saja dengan kriteria “memberi kontribusi/kemajuan” buat Jakarta. Ini bisa diterjemahkan berbeda oleh sebagian orang. Soal “kontribusi” ini, Mas Bejo jadi ingat heboh soal perubahan nama jalan di Medan, Sumatera Utara, pada 2019. Runut punya runut, ternyata perubahan nama Jalan Bogor menjadi Jalan Tjong Yong Hian menjadi penyebabnya. Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ustadz Tengku Zulkarnain, waktu itu, memprotes perubahan nama jalan di Kecamatan Medan Kota tersebut kepada Wali Kota Medan. Lewat akun Twitter pribadinya, intinya, ia mempertanyakan alasan perubahan nama tadi serta apa kontribusi Tjong Yong sehingga dipilih menggantikan nama Jalan Bogor.

Baca juga: Jalan di Depan Rumah Mas Bejo Ambles, Bukan Amblas

Mengutip artikel di Asumsi.co, ternyata Tjong ini bukan figur sembarangan di Medan. Pada awal 1900-an, banyak kontribusi yang diberikan Tjong untuk kota Medan dan hal itu diakui pemerintah Hindia Belanda. Tjong membangun permakaman yang layak di kawasan Pulo Brayan, rumah sakit, penampungan tuna wisma, rumah sakit bagi penderita kusta di kawasan Belawan, tempat ibadah untuk orang-orang Tionghoa, Wihara Kuan Tee Bio, Wihara Setia Budi di Jalan Irian Barat, Wihara Tian Hou di Jalan Pandu, dan Wihara Kuan Im di Jalan Yos Sudarso.

Tjong juga membangun Masjid Lama Gang Bengkok dan menyumbang hingga sepertiga dari total biaya pembangunan Masjid Raya Al Ma’sun di Jalan Sisingamangaraja. Tjong mendirikan Sekolah Dasar Dun Pen di dekat Wihara Tian Hou. Pada 1904, Tjong diberi penghargaan dengan menggunakan namanya: Jalan Tjong Yong Hian. Tapi jalan itu kemudian berubah menjadi Jalan Bogor.

Kasus hampir sama terjadi di Surabaya pada 2001. Pemerintah Kota Surabaya, yang saat itu dijabat Sunarto Sumoprawiro, mengganti nama Jalan Raya Darmo menjadi Jalan Soekarno-Hatta menjelang ulang tahun Surabaya ke-708. Menurut sebagian besar masyarakat Surabaya, nama Darmo punya cerita tersendiri dan bahkan disebut ada dalam Serat Pararaton karya Mpu Tantular. Setidaknya ada beberapa versi soal asal-usul dan arti kata Darmo. Menurut sebagain warga Surabaya, nama Darmo jelas lebih dekat bagi warga Surabaya dibanding nama Soekarno-Hatta yang lebih nasional.

Jadi, menurut Mas Bejo, kriteria “memberi kemajuan/kontribusi” ini berpeluang besar terjadi perdebatan. Kalau soal ini, Mas Bejo ingin mengingatkan Pak Anies atau sebagian warga Jakarta kepada tokoh yang selama ini mungkin terlupakan untuk warga Betawi, dan tokoh itu bukan warga lokal. Namanya Aman Datuk Madjoindo.

Aman menjadi guru di Sumatera Barat pada 1912-1919. Pada 1919, Aman merantau ke Jakarta dan bekerja di toko buku dan menjadi kuli di Tanjung Priok. Pada 1920, Aman bekerja di Balai Pustaka yang pada waktu itu masih bersatu dengan Kunstring “kesenian” di Gondangdia Lama bersama Nur Sutan Iskandar sebagai Maleische Redactuur “Redaksi Bahasa Melayu”. (Ensiklopedi  Kemdikbud). Dia berkenalan dengan staf redaksi lainnya, seperti Tulis Sutan Sati, Sutan Muhammad Zein, dan Sutan Pamuntjak, yang menurutnya banyak mempunyai andil dalam perjalanan kariernya sebagai pengarang. Aman mengakhiri tugasnya di Balai Pustaka pada 30 Juni 1958. Setelah itu, dia bekerja di Penerbit Djambatan pimpinan Sutan Pamuntjak, sembari menghasilkan karya-karya sastra dan sadurannya.

Aman Datuk tercatat sebagi salah seorang novelis dan pengarang cerita anak terkemuka. Lelaki kelahiran Supayang, Solok, Sumatera Barat, ini telah menghasilkan sejumlah karya, seperti Anak Desa, Tjita-tjita Moestapa, Pak Djanggoet dan Boedjang Bingoeng, Apakah Itu 300 Teka-teki?, Koentoem Melati, Poetri Larangan, Sebabnja Rafiah Tersesat, Si Tjebol Rindoekan Boelan, Menebus Dosa, Roesmaladewi, 500 Pepatah untuk Anak-Anak, dan yang paling fenomenal adalah Si Doel Anak Djakarta, yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1951. Cerita ini pada 1970-an diangkat ke layar putih oleh Sjumandjaja yang kemudian dijadikan dasar cerita sinetron pada 1990-an di RCTI dengan judul Si Dul Anak Sekolahan I-IV. Konon, itu merupakan salah satu sinetron Indonesia yang paling banyak ditonton orang dan melekat di publik hingga saat ini.

Yang menarik, meskipun orang asli Minang, lewat Si Doel Anak Djakarta, Aman berkeinginan memperkenalkan dialek Betawi kepada orang luar Betawi, baik di Jakarta maupun di luar Jakarta, yang muncul terutama pada saat kisah perjodohan dan perkawinan.

Nah, kembali ke soal kontribusi tadi, itulah sebenarnya yang ingin Mas Bejo sampaikan ke Pak Anies. Bahwa, cukup banyak tokoh yang memberikan kemajuan buat Jakarta, dan layak mendapat penghargaan, tapi terlupakan. “Pesan” ini ingin Mas Bejo sampaikan agar untuk perubahan nama-nama jalan di Jakarta nanti, yang kata Pak Anies bakal ada gelombang berikutnya, juga memperhatikan tokoh-tokoh lain—termasuk yang non-Betawi. Walaupun Mas Bejo pasti yakin, sekelas Pak Anies dan timnya tentu enggak asal comot nama tokoh Betawi yang layak disematkan menjadi nama-nama jalan di Jakarta. (S. Maduprojo, Diolah dari Berbagai Sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *