Kamis itu, Eril—begitu Emmiril Khan Mumtadz kerap disapa—bersama adiknya, Camellia Latetia Azzahra; dan seorang temannya sedang berenang di Sungai Aare di sela-sela kesibukan mereka mencari kampus untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2. Nahas bagi Eril, tubuhnya menghilang terbawa derasnya aliran Sungai Aare. Sedangkan adik dan rekannya berhasil diselamatkan seorang warga lokal bernama Heinrich. Hingga hari ini, jasad Eril—Eril sudah dinyatakan meninggal setelah tujuh hari pencariannya—belum juga ditemukan.
Kisah pencarian Eril oleh Ridwal Kamil dan istri di sepanjang Sungai Aare pun menghasilkan story air mata di berbagai media sosial, pengguna Internet, media cetak, dan stasiun televisi. Bukan tanpa sebab, Kang Emil—begitu Ridwal Kamil disapa—ibarat ditinggal anak sulungnya di saat Dia “sedang sayang-sayang”-nya. Dia, dengan “d” besar, sedang memberi jalan dan ruang bagi Ridwan untuk berkesempatan menjadi orang besar. Sepanjang yang publik tahu, Kang Emil merupakan salah seorang tokoh muda yang sukses. Karya-karya arsitekturnya banyak dipuji baik di dalam maupun di luar negeri. Karir politiknya juga sedang bagus; bahkan dalam sejumlah survei, nama Kang Emil disebut-sebut sebagai kuda hitam dalam kontestasi pemilihan presiden pada 2024 nanti, setidaknya untuk calon wapres. Tak mengherankan bila sosok Kang Emil kerap muncul di Tik-Tok, Instagram, Facebook, YouTube, film, dengan berbagai aksinya yang dekat dengan anak muda. Maka, ketika seorang Ridwan Kamil kehilangan Eril secara tragis, kisah ini pun menjadi story. Tak terbayangkan apa yang kini dirasakan Kang Emil atas musibah yang menimpa keluarganya ini.
Saya jadi teringat saat musikus Iwan Fals kehilangan Galang Rambu Anarki. Publik pun tahu, betapa terpukulnya Iwan saat itu. Kehilangan Galang pun harus diakui mempengaruhi karya-karya Iwan setelah itu. Album-albumnya pun tak lagi banyak bicara politik; kritik pedas yang identik dengan lagu-lagunya. Karya-karya Iwan lebih cenderung murung; menyepi. Iwan menjadi tidak “galak” lagi. Hal itu pun sempat diakui Iwan saat menjadi bintang tamu acara Kick Andy. Ketika ditanya Andy F. Noya, pemandu acara tersebut, bagaimana perasaan Iwan saat kehilangan Galang, Iwan pun berseloroh, “Iwan mahh kuecillll…”
Di tengah jutaan empati untuk Kang Emil, saya pun tak habis mengerti oleh cibiran dan nyinyiran sejumlah pihak atas tragedi yang menimpa Eril. Bahkan ada yang mengungkit-ungkit apa yang dialami Ridwan saat ini adalah “buah” dari perbuatan, pemikiran, dan pilihan seorang Ridwan Kamil di masa lalu. Ada yang berkomentar ini merupakan balasan atau kutukan Allah karena Ridwan pernah menggusur rumah warga; karena Ridwan pernah menghujat dan menghina organisasi massa tertentu; atau karena Ridwan seorang pejabat, jadi kehilangan anaknya seolah-olah menjadi berita yang dibesar-besarkan.
Menurut penulis, Ridwan saat ini jelas menjadi orang yang sedang “kalah”, “terluka”, dan “pecundang”. Pada saat Ridwan dalam posisi “kalah” tadi, karena kehilangan salah seorang yang sangat dikasihinya, pihak-pihak yang sudah lama menaruh ketidaksukaannya kepada Ridwan pun punya senjata untuk semakin menjatuhkannya. Orang-orang yang merasa Ridwan “pantas” mengalaminya.
Sikap tidak berempati pada saat seseorang sedang dirundung masalah seperti jamak terjadi saat ini. Orang-orang begitu mudahnya mengatakan dia “hitam” dan dia “putih”. Orang akan senang bila pihak-pihak yang berseberangan, berbeda pandangan politik, mengalami musibah ataupun kesusahan. Orang akan dengan mudah mencibir, menghina, dan menyudutkan satu sama lain. Orang pun gampang terpolarisasi. Apalagi “media” untuk itu sekarang tersedia luas, salah satunya media sosial.
Sampai di sini, banyak orang lupa bahwa Tuhan sebenarnya menciptakan kepada manusia kesusahan dan bahkan kesenangan sebagai cobaan. Dalam kasus Iwan Fals dan Ridwan Kamil, penulis yakin bahwa Dia juga menyiapkan kekuatan untuk Iwan dan Ridwan agar tidak kehilangan selera dalam mengarungi kehidupan selanjutnya.
Saya pun jadi teringat kala seorang sejawat, jurnalis, sastrawan, dan dosen di sebuah perguruan tinggi menciptakan sebuah kalimat dalam puisinya yang mencerahkan. Penggalan kalimat itu dia ciptakan dalam sebuah puisi yang dia bikin menjelang ajalnya karena penyakit kanker usus yang diidapnya. Intinya, “Tuhan begitu sayangnya kepadaku, sampai-sampai, sesuatu yang tidak aku inginkan pun Dia berikan kepadaku.” (S. Mudoprojo)