24 November 2024
Memeluk Halimun (2): Bertemu Sepi di Cibodas

Lapak-lapak yang sepi di Pasar Cibodas; Dok. S. Maduprojo

Kamis, 9 Maret lalu, saya dan istri kembali menyambangi Puncak, Bogor, Jawa Barat. Ini merupakan perjalanan yang tertunda setelah pada Senin, 28 Februari lalu, salah satu keinginan kami menuju Puncak Cianjur-Cibodas digagalkan halimun alias kabut yang begitu tebal.

Saat itu, setelah dari Warpat, Puncak Pas, kami langsung turun.

Mungkin sudah banyak yang tahu bahwa kawasan Puncak meliputi dua kabupaten, yakni Bogor dan Cianjur. Sejumlah kecamatan di Bogor yang masuk wilayah Puncak di antaranya Ciawi, Megamendung, dan Cisarua. Sedangkan kecamatan yang masuk wilayah Cianjur antara lain Cipanas dan Pacet. Kedua kawasan Puncak ini seperti dua sisi yang bersebelahan dan berada di lereng Gunung Gede-Pangrango.

Eh, kita lagi enggak bicara geografi, ya…. He-he-he…. Kembali ke lanjutan perjalanan pada Kamis ini, seperti biasa, kami pilih jalur “favorit” Jalan Raya Bogor-Pasar Cibinong/Stadion Pakansari-Sentul-Babakan Madang-Bukit Pelangi-Gunung Geulis-Pasar Angin Gadog untuk menyambangi Puncak.

Singkat cerita, berangkat sekitar pukul 07.30 dari Depok, sampailah kami ke Puncak Pas sekitar pukul 11.00—semestinya kami bisa lebih cepat sampai lantaran cuaca cerah dan nyaris tak ada kabut; tapi kami sempat mampir sejenak mengisi perut sembari ngopi di sekitar Megamendung—dan langsung menuju perbatasan Bogor-Cianjur. Perbatasan Bogor-Cianjur ditandai dengan sebuah gapura, sekitar 50 meter dari Puncak Pas.

Sebenarnya, tak jauh dari Gapura pembatas Bogor-Cianjur, di sebelah kiri jalan raya sebelum rumah makan Rindu Alam, terdapat danau yang terbingkai perbukitan terjal dan tertutup hamparan perkebunan teh: Danau Telaga Warna. Selain Danau Telaga Warna, lokasi yang layak Anda sambangi tak jauh dari gapura pembatas ini adalah wisata alam Jember, kebun organik Ciloto, atau taman wisata Sevillage. Berikutnya adalah Taman Bunga Nusantara, yang juga tak jauh dari sini.

Tapi hari itu tujuan kami adalah Cibodas, sebuah kawasan wisata terpadu yang terkenal akan pemandangan indah alamnya dan udaranya yang sejuk. Jadi, kami tak mampir ke Danau Telaga Warna, kebun organik Ciloto, Sevillage, ataupun Taman Bunga Nusantara.

Kata Cibodas berasal dari bahasa Sunda yang berarti “cai bodas“, yang artinya lebih-kurang air berwarna putih ataujernih. Bicara Cibodas, tempat paling terkenal di sini adalah Kebun Raya Cibodas, yang di sekitarnya banyak terdapat taman, seperti Taman Sakura, Taman Lumut, dan Taman Rhododendron. Di lokasi kebun besar yang didirikan Johannes Elias Teijsmann pada 1852 ini setidaknya terdapat 5.831 contoh tanaman dari sekitar 1.206 jenis. Tapi selain Kebun Raya, destinasi lainnya yang tak kalah ngetop adalah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, taman wisata Cibodas, bumi perkemahan Bukit Golf Cibodas, atau sejumlah air terjun yang ada di sekitarnya—sebut saja air terjun Curug Ciismun, air terjun Cibodas Park-Curug Cibogo, Curug Luhur Cibodas, Danau Besar Cibodas, dan masih banyak lagi.   

‘Taman Firdaus di Asia’

Setelah dari batas gapura Bogor-Cianjur, kami meluncur melewati rute Jalan Raya Puncak Cianjur. Seperti Jalan Raya Ciawi-Puncak Pas, kontur jalur ini naik-turun dan berkelok-kelok. Tapi, menurut kami, dibanding kawasan Puncak Bogor, pemandangan kanan-kiri di Puncak Cianjur ini “lebih asri”. Kondisi jalannya juga lebih mulus. Desain pertokoan, permukiman warga, kafe, tempat nongkrong, dan fasilitas lain di sekitar jalur ini terlihat lebih unik. Bisa jadi—ini pemikiran kami saja—wilayah di sini tidak lebih padat dibanding kawasan sepanjang Puncak Bogor. Ambil contoh kedai-kedai kopi yang di sepanjang Jalan Raya Puncak Bogor nangkring di sejumlah titik di lereng perbukitan. Di sepanjang jalur yang kami temui, pemandangan seperti itu jarang kami dapatkan. Yang ada adalah vila serta resto ataupun kafe berukuran sedang-besar terlihat mendominasi jalur Puncak Cianjur ini.

Kawasan wisata Cibodas berada di perempatan dekat RSUD Cimacan. Jika kalian mulai melihat banyak factory outlet di kanan-kiri jalur ini, berarti tak lama lagi akan masuk kawasan Cibodas. Kami mengambil arah ke kanan, menuju Jalan Kebun Raya Cibodas.

Fokus kami selama memasuki Jalan Kebun Raya Cibodas adalah permukiman yang begitu asri. Di sepanjang jalan ini, selain vila-vila, di sebelah kanan-kiri, bibit dan tanaman hias dijajakan oleh penduduk setempat. Berbagai jenis tanaman beraneka warna berjajar hingga memasuki gerbang wisata Cibodas. Tak hanya di kanan-kiri jalan, bibit-bibit tanaman dan tanaman hias itu juga menjejali rumah-rumah warga, menjadikan rumah-rumah mereka estetik dengan pekarangan yang asri. Kami sempat berhenti sejenak di salah satu penjaja tanaman untuk melihat-lihat jenis tanaman di sana. “Di sini lengkap, Pak. Mau cari daylily batik, honje serumbet, wali songo, lily paris, meranti Bali, caladium, lantana camara, berbagai kaktus, dan banyak lagi. Ada yang bibit, ada yang sudah jadi,” ujar penjual itu, menyebut jenis-jenis tanaman hias yang ada di sana. Harganya variatif. Honje serumbet, misalnya, ditawarkan Rp 8.000 untuk yang berukuran kecil. Lalu kadaka sarang burung Rp 15.000 yang ukuran kecil dan Rp 40.000 yang berukuran sedang. Jenis tanaman yang lain malah ada yang seharga Rp1.000-5.000 per bibit. Sedangkan King Monstera yang sudah cukup besar dibanderol Rp 350.000-400.000.

Baca Juga: Memeluk Halimun


Biasanya, kata warga itu, tanaman hias di sini dibeli oleh pemborong untuk dijual dan dipasarkan ke berbagai daerah. Banyak pula pembeli yang memesan sejumlah bibit untuk dipasarkan secara online. Sementara itu, sejumlah warga juga membuka usaha bunga potong. Biasanya bunga potong dipesan oleh wedding organizer ataupun usaha dekorasi lainnya.

Pantas saja kalau salah satu julukan Cibodas adalah “Taman Firdaus” di Asia. Inilah salah satu pusat persemaian dan supplier tanaman hias di Tanah Air. Udara yang sejuk dan area perbukitan yang subur menjadikan budi daya tanaman hias di wilayah ini menghasilkan produk unggulan. Kebayang, kan, hamparan tanaman hias dengan latar belakang bukit-bukit menghijau di kejauhan? Apa namanya itu kalau bukan surga….

Melewati Jalan Kebun Raya yang di kanan-kirinya dipenuhi tanaman hias, kami segera memasuki gerbang atau tepatnya gapura menuju Kebun Raya. Di sini, satu orang dikenai retribusi Rp 12.000 dan tarif parkir sepeda motor Rp 3.000. “Tapi ini beda lagi bila Bapak mau ke tempat wisatanya, ya? Nanti di sana ada tarifnya sendiri, termasuk parkirnya,” ujar salah seorang petugas. Jadi, berdua, kami sudah mengeluarkan Rp 27.000 untuk memasuki kawasan wisata Cibodas.

Nah, salah satu niat kami ke Cibodas kali ini adalah berbelanja sayur-sayuran hasil panen warga sekitar. Istri saya teringat ketika di masa kecilnya kerap diajak sang ayah belanja wortel dan sayuran lainnya di tempat ini. Memang, di sini banyak kami temui lapak-lapak kecil yang berjajar seperti pasar. Tapi, wortel dan sayur-sayuran yang dibayangkan istri saya sewaktu kecil itu tidak kami temui hari itu. Lapak-lapak itu sebagian besar malah tutup, dan hanya sebagian kecil yang menjajakan minuman/makanan serta oleh-oleh khas Puncak. Hari itu juga tidak banyak orang yang mendatangi lokasi ini, kalau tidak dibilang sangat sepi. Mungkin bukan weekend, pikir kami.

Kami berputar-putar saja di sekitar lapak-lapak ini, sembari sesekali memotret latar perbukitan Gunung Gede-Pangrango yang bak lukisan hidup. Tak jauh dari “Pasar Cibodas” ini, terlihat pintu gerbang ke Kebun Raya Cibodas. Dari depan gerbang itu, kami juga tak melihat kerumunan pengunjung. Pemandangan ini agak berbeda dengan suasana di Kebun Raya Bogor yang lumayan ramai meskipun bukan akhir pekan.

Kami, terutama istri, agak kecewa melihat suasana Pasar Cibodas kali ini. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan kenangan puluhan tahun lalu bersama keluarganya. “Dulu, ini surganya sayur-sayuran. Kami suka memborong sayuran di sini karena harganya murah dan kualitasnya bagus,” kenang istri. Kekecewaan itu, salah satunya, membuat kami urung memasuki Kebun Raya Cibodas. Tak lama berselang, kami pun putar haluan untuk kembali ke Depok. Sepanjang jalan pun kami berseloroh, selain pandemi dan sejumlah aturan untuk kendaraan roda enam di sepanjang jalur Jalan Puncak Cianjur, apakah retribusi dan tarif masuk plus ongkos parkir tadi turut mempengaruhi sepinya Cibodas saat ini? Entahlah…

(S. Maduprojo)

 
 
 
 



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *