Abdul Hadi W.M. adalah budayawan dan filsuf yang malang melintang di dunia sastra Indonesia sejak 1960-an. Lelaki kelahiran Sumenep, Madura, 24 Juni 1946, ini meninggal setelah dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta Pusat.
Mengutip dari Ensiklopedia.kemdikbud, ayah Abdul Hadi seorang muslim Tionghoa dan ibunya keturunan keluarga Keraton Surakarta. Orang tuanya mendirikan Pesantren An-Naba di kota kelahirannya. Lulus sebagai sarjana muda dari Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Abdul Hadi pindah ke Fakultas Filsafat di universitas yang sama hingga mencapai tingkat doktoral (1971).
Pelopor Sastra Sufi
Sebelum periode 1970-an, sebagian besar penyair Indonesia berkiblat ke Barat, termasuk Chairil Anwar dengan Aku Ini Binatang Jalang-nya. Sedangkan Abdul Hadi mewakili kelompok dengan pandangan berbeda. Mereka ingin warna sastra Indonesia kembali ke budaya lokal, termasuk soal keagamaan. “Dia salah satu tokoh yang pada 1970-an mendorong puisi kita menggali akar kebudayaan sendiri,” kata Sutardji Calzoum Bachri, 82 tahun, seperti dikutip dari Tempo. Sutardji—dikenal sebagai Presiden Penyair Indonesia—merupakan salah seorang penyair kontemporer terkemuka Indonesia yang bisa dibilang seangkatan dengan Abdul Hadi.
Di era 1980-an itu, ketika sebagian besar sastrawan ramai-ramai mengkritik perpolitikan di Indonesia, Abdul Hadi menulis soal ajakan kembali ke Sang Pencipta. Ia adalah salah seorang pelopor sastra sufistik (sufi) atau sastra spiritual.
Kiprah Sastra
Sepanjang kariernya, baik sebagai seniman maupun akademikus, Abdul Hadi pernah menjadi anggota redaksi majalah Dagang dan Industri Kadin (1979-1981), redaktur pelaksana majalah Budaya Jaya (1977-1978), pengasuh lembaran kebudayaan “Dialog” harian Berita Buana (1978-1990), Staf Ahli Bagian Pernaskahan Balai Pustaka, Ketua Harian Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1984-1990), dosen penulisan kreatif di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Institut Kesenian Jakarta (1985-1990), dosen tamu sastra dan filsafat Islam di Universitas Sains, Malaysia (1991-1997), dosen tetap Universitas Paramadina, Jakarta, serta memberi kuliah estetika dan filsafat Islam di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Abdul Hadi telah menghasilkan sejumlah kumpulan sajak, antara lain Laut Belum Pasang (Litera, 1971), Cermin, (Budaya Jaya, 1975), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (Pustaka Jaya, 1975), Meditasi (Budaya Jaya, 1976), Tergantung pada Angin (Budaya Jaya, 1977), dan Anak Laut Anak Angin (1984). Kumpulan sajaknya yang terbaru adalah Pembawa Matahari (Bentang, 2002). Buku sajaknya dalam bahasa Inggris diberi judul At Last We Meet Again (1987). Sementara itu, karya sajaknya bersama Darmanto Yatman dan Sutardji Calzoum Bachri diterbitkan dalam bahasa Inggris di Kalkuta, India, pada 1976, dengan editor Harry Aveling, berjudul Arjuna in Meditation.
Selain kumpulan sajak/puisi, Abdul Hadi mengulas dan menerjemahkan karya-karya sastra Islam dan karya sastra dunia. Sebut saja Sastra Sufi: Sebuah Antologi (terjemahan dan esai, 1985), Rumi dan Penyair (terjemahan puisi dan esai, 1987), Faust I (terjemahan karya Gothe, 1990), Kaligrafi Islam (terjemahan karya Hasan Safi, 1987), Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya (Mizan, Bandung, 1995); Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik (Pustaka Firdaus, 1999), serta Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (Paramadina, 2001).
Karya Puncak
Sejumlah pengamat mengatakan bahwa Tuhan, Kita Begitu Dekat merupakan karya puncak Abdul Hadi W.M. dalam penghayatannya sebagai umat Islam yang “religius, imanen, dan transendental”. Puisi ini diciptakan Abdul Hadi pada 1977, ketika ia berusia 31 tahun. Tuhan, Kita Begitu Dekat terdapat dalam buku Tergantung pada Angin (Budaya Jaya, 1977). Puisi ini diterbitkan lagi pada 2013 oleh Komodo Books, sekaligus menjadi judul buku antalogi puisinya dari awal kepenyairannya hingga kini itu.
Tuhan, Kita Begitu Dekat mengingatkan kita pada karya-karya penyair sufistik dunia sebelumnya, seperti Al Hallaj, Ibn Arabi, Farihuddin Attar, Jalaluddin Rumi, M. Iqbal, Hamzah Fansuri, dan Syamsuddin Al-Sumatrani, serta para suluk dan mistikus Jawa seperti Sunan Bonang, Syekh Sitti Jenar, Mangkunegoro IV, dan Ronggowarsito. Mereka mengajarkan tentang kedekatan manusia dengan Tuhannya berupa “manunggalnya” atau “menyatunya” hamba dan Tuhannya.
Baca Juga: Sosok di Balik Potret Ikonik Chairil
Dalam salah satu ajaran atau kepercayaan Kejawen, misalnya, ada istilah manunggaling kawula gusti (wihdatul wujud) yang bermakna menyatunya makhluk (kawula) dengan Tuhan (raja). Keyakinan itu, salah satunya, diajarkan Syekh Sitti Jenar bersama murid-muridnya. Ajaran ulama pengusung ajaran sufisme yang hidup pada sekitar abad ke-15/16 itu menjadi kontroversi di zaman para sunan.
Inilah sajak Tuhan, Kita Begitu Dekat:
Tuhan, Kita Begitu Dekat
Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dengan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu
(S. Maduprojo, sumber rujukan Tempo, Ensiklopedia.kemdikbud.go.id, jurnal Pangsura, dan sumber lainnya).