Sebut saja Jumanji, Jurassic World: Fallen Kingdom, He’s Just Not That Into You, Mile 22, The Sweetest Thing; Fantastic Beasts, The Crimes of Grindelwald; King Kong, Anaconda 2, The Wild, Alice in Wonderland, The Kingdom, The Italian Job, The Friday 13th, Eat Pray Love, Fast & Furious 6, The Last of Us, atau yang belum lama John Wick 3.
Namun, penggambaran soal Indonesia—termasuk Borneo (Kalimantan) ataupun Jakarta—dalam film-film tersebut sering kali seperti merendahkan dan tidak akurat. Seakan-akan Indonesia adalah tempat antah berantah yang masih berupa pedalaman, udik, penuh hutan belantara, dan negara tertinggal—jadi inget sewaktu Justin Bieber pada 2012 mengatakan Indonesia sebagai negeri random alias antah berantah. Dalam Jumanji, yang dirilis pada 1995, misalnya, nama Indonesia disebut Judy Sheperd—diperankan aktris Kristen Dunst—saat ditanyai polisi. Indonesia digambarkan sebagai hutan belantara tempat tinggal orang-orang seperti Allan (Robin Williams) yang saat itu berpakaian berbahan daun dan terlihat aneh. Padahal itu film dibikin pada 1995, kan?
Dalam He’s Just Not That Into You (2009), Indonesia tiba-tiba muncul dalam sebuah percakapan, yang intinya membayangkan pekerja tua Indonesia di sweatshop—julukan para aktivis untuk pabrik-pabrik yang mereka anggap sangat memeras keringat pekerjanya. Dalam The Sweetest Thing (2002), yang dibintangi Cameron Diaz, ada sebuah dialog yang menyebut Indonesia sebagai sebuah “kekacauan”. ”…Tuhan, aku pergi untuk satu hari dan tempatnya berubah menjadi Indonesia”.
Lalu, sebuah adegan di film Fantastic Beasts, The Crimes of Grindelwald (2018), yang diangkat dari novel karya J.K. Rowling, memperkenalkan Maledictus—perempuan yang sejak lahir dikutuk, kemudian menjadi binatang selamanya—dengan kalimat seperti ini: “Kupersembahkan untukmu seorang Maledictus… Setelah terjebak di hutan Indonesia, dia pembawa kutukan darah”.
Baca Juga: May Ziadah: Ironi Cinta Sang Pujangga
Masih banyak lagi adegan atau dialog-dialog yang menyebut-nyebut nama Indonesia dengan asumsi sebagai negara yang penuh misteri. Dalam film animasi Alice in Wonderland (2010), yang dibintangi Mia Wasikowska, Johnny Depp, Anne Hathaway, dan Helena Bonham Carter, ada adegan Alice—diperankan Mia Wasikowska—menunjuk peta Indonesia dan berujar, “Ayahku akan melanjutkan berdagang di Sumatera dan Kalimantan.” Selain sebuah tempat antah berantah, Indonesia sialnya pernah disebut sebagai salah satu negara sarang para teroris. Dalam sebuah scene di The Kingdom (2007), film yang mengisahkan tentang terorisme di Arab Saudi, ada kalimat “Uang itu masuk ke masjid-masjid di Jakarta yang memiliki kamp pelatihan…”.
Tapi ada juga film yang mengungkap Indonesia dengan “cukup positif”. Misalnya dalam Jurassic World: Fallen Kingdom (2018), ada adegan pelelangan Ankylosaurus—salah satu jenis dinosaurus yang hidup pada periode kapur akhir sekitar 68-65 juta tahun yang lampau—seharga US$ 10 juta yang dimenangi konglomerat asal Indonesia. Lantas, eksotisme Pulau Kalimantan beberapa kali menjadi latar film petualangan, seperti dalam Anaconda 2: The Hunt for the Blood Orchid (2004) dan film animasi The Wild (2006). Dalam Eat Pray Love (2010) yang dibintangi aktris ternama Julia Roberts, Bali malah menjadi salah satu persinggahan tokoh utama Liz Gilbert (diperankan Julia Roberts)—wanita yang berkeliling dunia untuk mencari jati diri akibat perceraian yang menyakitkan.
Nah, selain latar dan pencitraan Indonesia sebagai negara udik, tentu kalian tahu bahwa unsur Indonesia juga melekat di sejumlah film ternama. Dalam film animasi The Minions, misalnya, sutradara film ini, Pierre-Louis Padang Coffin, yang kebetulan anak sastrawan Indonesia N.H. Dini, menyisipkan sejumlah kosa kata bahasa Indonesia ketika para minion berbicara.
Bahasa Indonesia dalam Film Jepang
Ternyata, kosa kata bahasa Indonesia bukan baru-baru ini saja menyelinap di adegan-adegan film seperti dalam film-film Hollywood. Jauh sebelum itu, ada sountrack film Jepang yang populer pada 1961, yakni Mothra’s Song atau Mosura no Uta. Komposisi lagu ini dibuat oleh Yuji Koseki untuk film Mothra. Lagu ini awalnya dibawakan oleh penyanyi duo The Peanuts, yakni Emi dan Yumi Ito, yang memerankan Shobijin dalam film tersebut. The Peanuts mengulangi peran tersebut di Mothra vs Godzilla (1964) dan membawakan lagu tersebut.
Lagu ini kemudian dibawakan oleh Sayaka Osawa dan Keiko Imamura dalam Godzilla vs. Mothra (1992), Megumi Kobayashi dan Sayaka Yamaguchi dalam Rebirth of Mothra (1996) dan Rebirth of Mothra 2 (1997), bersama Misato Tate dalam Rebirth of Mothra 3 (1998), serta Chihiro Otsuka dan Masami Nagasawa dalam Godzilla: Tokyo SOS (2003). Lagu ini juga masuk dalam soundtrack untuk film Godzilla: King of the Monsters (2019), dengan versi paduan suara yang tidak disertakan dalam film.
Versi lain dari lagu Mothra diciptakan oleh Masaru Sato untuk film Ebirah pada 1966, yakni Horror of the Deep, dan dibawakan Pair Bambi. Sebuah versi lain dari Mothra’s Song yang berjudul Fly On, Mothra juga direkam oleh Sachiko Matsumura pada 1971. Meskipun banyak lagu telah dibawakan oleh Shobijin dalam film-film Mothra selama bertahun-tahun, tidak ada yang berulang seperti Mothra’s Song, yang biasanya dinyanyikan untuk memanggil Mothra saat membantu para peri.
Yang menarik, lirik lagu Mothra’s Song diyakini mencomot beberapa kosa kata bahasa Indonesia yang dilafalkan dengan bahasa Jepang. Dalam penulisan romaji—cara menulis (alih aksara) bahasa Jepang dengan menggunakan abjad Latin—lirik lagu ini berbunyi: Mosuraya Mosura-dungan kasakuyan-indumū-Rusuto wirādoa-hanba hanbamuyan-randaban unradan-tunjukanrā-kasakuyānmu. Nah, jika diperhatikan dengan saksama, bunyi lirik Romaji dalam bahasa Indonesia itu adalah Mothra, ya, Mothra-dengan kesaktian indukmu-restuilah doa-hamba-hambamu yang rendah-bangunlah dan tunjukkanlah kesaktianmu…
Yuji Koseki, komposer lagu ini, diduga mencomot sejumlah kosa kata dalam bahasa Indonesia dengan pemikiran kata-kata tersebut seperti bebunyian mantra. Keren, kan?
(S. Maduprojo, diolah dari sejumlah bahan rujukan: vice.com, wikizilla.org)