24 November 2024
Gaya Pemerintahan Rezim ala Plato

Ilustrasi Plato: History.com

Pada sekitar 360 Sebelum Masehi, filsuf ternama Yunani, Plato, menulis buku Politeia. Ini merupakan buku berpengaruh yang menjadi salah satu teks dasar filsafat dan pemikiran politik Barat.

Politeia merupakan dialog Plato yang paling terkenal dan banyak dibaca orang. Plato diperkirakan lahir pada 428/427 Sebelum Masehi di Athena, Yunani, dan meninggal pada 348/347 SM. Ia murid Socrates (470–399 SM) dan guru Aristoteles (384–322 SM) serta pendiri The Academy.

Politeia ditulis berupa rangkaian dialog antara Socrates, Glaucon dan Adeimantus (kakak laki-laki Plato), Cephalus (pembuat senjata yang lanjut usia), Polemarchus dan Charmantides (anak laki-laki Cephalus), Thrasymachus (seorang sofis—nama yang diberikan kepada sekelompok filsuf yang hidup dan berkarya pada zaman yang sama dengan Socrates), Cleitophon (sahabat Plato), serta tokoh-tokoh yang tidak ikut bicara, seperti Lysias, Euthydemus, dan Niceratus.

Politeia, dalam bahasa Yunani Kuno, cenderung diartikan sebagai cara hidup (dalam bermasyarakat). Namun banyak terjemahan Politea yang merujuk pada republik, negara, atau negara-kota. Karena itu, buku Politeia diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Republic atau Republik dalam bahasa Indonesia.

Para sejarawan mengungkap Politeia terbagi dalam buku I hingga buku X. Sejumlah poin utama buku ini adalah pemikiran Socrates tentang arti keadilan. Secara umum, Republik termasuk dalam dialog periode pertengahan Plato. Dalam dialog-dialog awal Plato, Socrates banyak membantah pernyataan lawan bicaranya dan diskusi berakhir tanpa jawaban yang memuaskan atas masalah yang diselidiki. Namun, dalam Republik, Socrates mengembangkan arti keadilan dan hubungannya dengan e udaimonia (kebahagiaan) secara panjang dan rumit, tapi terpadu.

Buku I membahas tentang arti keadilan, buku II soal keadilan dalam kelas-kelas, buku III tentang pengaruh seni dan kesehatan jasmani para penguasa, buku IV mengenai langkah-langkah mencapai kebahagiaan, buku V soal rezim politik yang dan individu-individu yang tidak adil, buku VI tentang mengapa para filsuf harus memerintah kota, buku VII mengenai filsuf dan bentuk dengan analogi gua, buku VIII soal empat jenis rezim beserta individu-individu yang tidak adil, buku IX tentang individu tirani, serta buku X mengenai penyair dan puisi.   

Dialog dalam Republik mengeksplorasi dua pertanyaan utama: “apa itu keadilan?” dan “apa hubungan keadilan dengan kebahagiaan?” Untuk membahas dua pertanyaan tersebut, Socrates dan lawan bicaranya membangun kota yang adil dalam pidatonya, yakni Kallipolis

Mereka menjelaskan apa itu keadilan dan menggambarkan keadilan dengan analogi dalam jiwa manusia. Dalam upaya membela kehidupan yang adil, Socrates mempertimbangkan berbagai macam subyek, seperti beberapa teori keadilan, pandangan tentang kebahagiaan manusia yang bertentangan, pendidikan, hakikat serta pentingnya filsafat dan filsuf, pengetahuan, struktur realitas, bentuk, kebajikan dan keburukan, jiwa yang baik dan yang buruk, rezim politik yang baik dan yang buruk, keluarga, peran perempuan dalam masyarakat, peran seni dalam masyarakat, bahkan kehidupan setelah kematian. Cakupan dialog yang luas itu menghadirkan berbagai kesulitan dalam menginterpretasikannya dan telah menghasilkan ribuan karya ilmiah. Untuk mencoba memahami argumen dialog secara keseluruhan, seseorang diharuskan bergulat dengan subjek-subjek tersebut.

Salah satu pembahasan yang masih relevan hingga saat ini adalah tentang rezim, yang ada pada bagian buku VIII. Dalam bagian ini, Socrates melanjutkan argumen yang terputus di buku V. Glaucon (kakak laki-laki Plato) ingat bahwa Socrates hendak menggambarkan empat jenis rezim yang tidak adil beserta individu-individu yang tidak adil. Socrates lantas mengumumkan bahwa ia akan mulai membahas rezim dan individu yang paling sedikit menyimpang dari kota serta individu yang adil dan yang paling menyimpang. Penyebab perubahan rezim, menurut Socrates, adalah kurangnya persatuan di antara para penguasa. Dengan asumsi bahwa kota yang adil dapat terwujud, Socrates menunjukkan bahwa kota itu pada akhirnya akan berubah karena segala sesuatu yang terwujud pasti membusuk. Para penguasa akan membuat kesalahan dalam menugasi orang-orang pekerjaan. Masing-masing kelas masyarakat mulai bercampur dengan orang-orang yang secara alami tidak cocok untuk tugas-tugas yang relevan dengan setiap kelas. Hal ini menyebabkan konflik antarkelas.

ARISTOKRASI ADALAH PEMERINTAHAN TERBAIK

Menurut Socrates, rezim yang pertama kali menyimpang dari pemerintahan yang adil atau ARISTOKRASI adalah TIMOKRASI, yang menekankan pengejaran kehormatan daripada kebijaksanaan dan keadilan. Plato dan Socrates sepakat bahwa aristokrasi, yang secara harfiah berarti “pemerintahan yang terbaik/adil”, bukanlah sebuah masyarakat yang diperintah oleh sekelompok elite atau bangsawan kaya—seperti yang kita bayangkan saat ini—melainkan sebuah masyarakat yang dipimpin oleh warga negaranya yang terbesar. Socrates menggambarkan para penguasa ini sebagai “FILSUF terbaik dan pejuang paling berani” yang berdedikasi pada kebaikan bersama. Seperti diketahui, filsafat pada masa Yunani Kuno bukanlah disiplin akademis sempit seperti yang kita anggap sekarang. Filsafat berarti studi menyeluruh tentang hal-hal yang berkaitan dengan manusia, termasuk matematika, ilmu alam, dan politik. Para filsuf-penguasa negara ideal Plato dipilih sejak masa kanak-kanak karena karakter moral dan bakat fisik mereka. Calon-calon yang menjanjikan akan dididik dan dilatih dalam keunggulan nalar dan pengekangan nafsu. Yang terbaik di antara para filsuf ini akan memerintah bersama sebagai raja yang bijaksana dan baik hati. Untuk menghindari godaan dan korupsi, para filsuf penguasa Plato tidak akan menerima pendapatan apa pun atau dapat memiliki properti pribadi. Mereka akan berbagi semua hal yang sama dengan sesama walinya—bahkan istri dan anak-anak mereka pun akan memiliki kesamaan. Bagi Plato, masyarakat yang diperintah oleh para filsuf yang menjalankan penilaian moral, etika, dan politik tertinggi akan memberikan peluang terbesar bagi warganya untuk merasakan keadilan, kebahagiaan, dan kedamaian sejati. Karena Plato menyadari bahwa aristokrasi filosofis yang sejati—jika dapat dicapai—akan berumur pendek, ia menggunakan buku VIII ini untuk menggambarkan bentuk pemerintahan yang lebih rendah. Dengan kata lain, bentuk pemerintahan yang “mustahil” terwujud.

BACA JUGA: Perjuangan Menaklukkan Megalophobia

Socrates melanjutkan, individu yang timokratis punya keinginan yang kuat untuk mengejar kehormatan, kekuasaan, dan kesuksesan. Kota (negara) ini akan bersifat militeristik. Socrates menjelaskan proses yang dilalui seseorang untuk menjadi timokratis: ia seperti mendengar ibunya mengeluh tentang kurangnya minat ayahnya pada kehormatan dan kesuksesan. Jiwa individu yang timokratis berada di titik tengah antara akal dan roh.

OLIGARKI: JARAK YANG KAYA DAN YANG MISKIN

Lalu OLIGARKI muncul dari timokrasi dan lebih menekankan pada kekayaan daripada kehormatan. Socrates membahas bagaimana hal itu muncul dari timokrasi dan karakteristiknya: orang akan mengejar kekayaan; pada dasarnya akan ada dua kota, kota warga negara kaya dan kota orang miskin; sedikit orang kaya akan takut kepada banyak orang miskin; orang akan melakukan berbagai pekerjaan secara bersamaan; kota akan menampung orang miskin tanpa sarana; kota akan memiliki tingkat kejahatan yang tinggi. Individu oligarki datang seolah-olah melihat ayahnya kehilangan harta bendanya dan merasa tidak aman, dan ia pun mulai rakus mengejar kekayaan. Dengan demikian, ia membiarkan bagian nafsunya lebih dominan dari jiwanya. Jiwa individu oligarki berada di titik tengah antara bagian yang bersemangat dan nafsu.

PANDANGAN KURANG POSITIF SOAL DEMOKRASI

Kemudian Socrates melanjutkan pembahasan tentang DEMOKRASI. Socrates memiliki pandangan yang kurang positif terhadap demokrasi. (Socrates sendiri diadili dan dihukum mati melalui proses demokrasi di Athena pada masa itu. Tuduhan terhadap Socrates tidak jelas dan tidak lengkap serta tidak ada badan peradilan yang mengawasi prosesnya).

Menurut Socrates, demokrasi muncul ketika orang kaya menjadi terlalu kaya dan orang miskin menjadi terlalu miskin. Kemewahan yang berlebihan membuat kaum oligarki melemah dan kaum miskin memberontak kepada mereka. Dalam demokrasi, sebagian besar jabatan politik didistribusikan melalui “undian”. Tujuan utama rezim demokrasi adalah kebebasan atau lisensi. Orang-orang bisa menduduki jabatan tanpa memiliki pengetahuan yang diperlukan dan setiap orang diperlakukan setara dalam hal kemampuan. Individu yang demokratis cenderung mengejar segala macam keinginan jasmani secara berlebihan dan membiarkan bagian nafsunya menguasai jiwanya. Demokrasi muncul ketika pendidikannya yang buruk memungkinkannya beralih dari keinginan akan uang menjadi keinginan akan barang-barang jasmani dan material. Menurut Socrates, individu yang demokratis “tidak memiliki rasa malu dan tidak memiliki disiplin diri”.

ORANG-ORANG PEMBERANI MUSUH PARA TIRAN

Socrates melanjutkan, TIRANI muncul dari demokrasi ketika keinginan untuk bebas melakukan apa yang diinginkan menjadi ekstrem. “Kebebasan” yang dituju dalam demokrasi menjadi begitu ekstrem sehingga segala pembatasan terhadap kebebasan seseorang tampak tidak adil. Socrates menunjukkan bahwa ketika kebebasan dibawa ke titik ekstrem seperti itu, ia menghasilkan kebalikannya: perbudakan. Sang tiran muncul dengan menampilkan dirinya sebagai pembela rakyat melawan golongan yang terdiri dari sedikit orang kaya. Sang tiran dipaksa melakukan sejumlah tindakan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan: menuduh orang secara keliru, menyerang kerabatnya, membawa orang ke pengadilan dengan alasan palsu, membunuh banyak orang, mengasingkan banyak orang, dan berpura-pura membatalkan utang orang miskin untuk mendapatkan dukungan mereka. Sang tiran menyingkirkan orang-orang kaya, pemberani, dan bijak di kota karena ia menganggap mereka sebagai ancaman terhadap kekuasaannya. Socrates menunjukkan bahwa sang tiran menghadapi dilema untuk hidup dengan orang-orang yang tidak berguna atau dengan orang-orang baik yang pada akhirnya dapat menggulingkannya dan memilih hidup dengan orang-orang yang tidak berguna. Sang tiran akhirnya menggunakan tentara bayaran sebagai pengawalnya karena ia tidak dapat mempercayai warga mana pun. Sang tiran juga membutuhkan pasukan yang sangat besar dan akan menghabiskan uang kota. Ia tidak akan ragu membunuh anggota keluarganya sendiri jika mereka menentang jalannya.

Seperti disinggung di bagian atas, cukup rumit untuk menginterpretasikan dialog-dialog Plato dan Socrates. Karena itu, telah lahir ribuan kajian ilmiah yang mempelajari ajaran-ajaran mereka, yang pasti memunculkan pro-kontra. Tapi, yang jelas, perubahan rezim dari waktu ke waktu membuktikan bahwa teori-teori yang mereka paparkan adalah nyata dalam kehidupan bernegara. Rezim gaya mana yang bisa membuat warga negara berbahagia dan berkeadilan, hanya waktu yang menjawabnya…

(S. Maduprojo, disarikan dari berbagai sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *