Parameter lingkungan terkait dengan masalah seperti penggunaan energi ramah lingkungan, pengelolaan limbah bersih polusi, perlakuan terhadap makhluk hidup dan lingkungan. Parameter sosial berkaitan dengan hubungan antara para stake-holder. Mereka terdiri dari masyarakat, komunitas, para pemasok, konsumen, karyawan dan pihak lain yang terkait dengan perusahaan. Lalu parameter tata kelola berkaitan dengan cara perusahaan mengatur diri sendiri dengan bersih, baik dan benar. Seperti tata kelola keuangan yang bersih sesuai dengan standar, kepastian adanya partisipasi dari semua pihak dalam pengambilan sebuah keputusan, tidak terlibat dalam transaksi yang polutif dengan pihak lain, serta tidak terlibat kegiatan illegal dan lainnya.
Skor yang Menentukan Nasib Perusahaan
Skor/peringkat/rating ESG ini penting bagi investor untuk menilai kinerja etis dan berlanjut-tidaknya sebuah perusahaan. Segala kebijakan yang diambil, pelaksanakan keputusan, pernyataan yang dikeluarkan, semua gerak tingkah perusahaan, akan mendapat skor ESG. Dengan skor ESG ini investor bisa menentukan hidup-matinya sebuah perusahaan. Lalu, yang memiliki hak/kompetensi untuk memberi skor atau menentukan peringkat adalah penyedia jasa pemeringkat ESG yang profesional dan tepercaya. Mereka harus mampu memberikan penilaian yang adil dan akurat atas risiko dan peluang seluruh parameter lingkungan, sosial, dan tata kelola pada suatu perusahaan.
Selain menjadi parameter untuk menjaring investor, skor ESG memberi dampak positif bagi perusahaan untuk menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap lingkungan. Hal ini penting karena kini banyak perusahaan yang menyatakan bahwa mereka benar-benar peduli terhadap lingkungan hidup, tanpa bukti yang nyata. Hanya untuk pencitraan. Ini yang biasa disebut sebagai green washing. Nilai positif skor ESG lainnya, reputasi perusahaan makin naik. Lalu, pada akhirnya kepercayaan konsumen juga makin tinggi.
Hak Asasi dan Inklusi
Laman Broker Chooser pada 21 September 2023 mengeluarkan beberapa pemeringkat ESG terbaik dunia. Di antaranya, MSCI (Morgan Stanley Capital International) ESG Ratings yang menerbitkan peringkat dan riset lebih dari 14.000 emiten saham. Sustainalytics ESG Risk Ratings yang menawarkan 40.000 data perusahaan di seluruh dunia. Lalu Bloomberg ESG Disclosures Scores yang menawarkan 14.800 data perusahaan seluruh dunia.
Bagi masyarakat Amerika dan Eropa, masalah sosial dipandang sangat penting sehingga wajar bila mereka lantang berteriak soal hak hidup. Tidak hanya bagi manusia, bahkan hewan dan tumbuhan sampai ke planet bumi juga. Karena itu, isu keberlangsungan hidup (sustainable living) turut merasuki tata kelola usaha dan proses produksi perusahaan. Termasuk masalah pemilihan sumber daya manusia suatu perusahaan. Harus ada kesetaraan dan kesamaan hak asasi. Harus inklusif, yaitu mengikutsertakan semua golongan. Apalagi bagi masyarakat penyandang disabilitas dan yang termarginalkan. Bila ia memiliki kemampuan dan memenuhi syarat, ia berhak diterima menjadi pegawai.
Baca Juga: Mengenali Gerakan Pink Money
Menyusupnya Ideologi LGBT
Uniknya, skor ESG akan menunjukkan besarnya nilai sosial sebuah perusahaan bila ada pegawai dengan ideologi sesama jenis. Bahkan jika orang itu bukanlah seorang LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender), tapi ia mendukung ideologi tersebut, maka skor ESG perusahaan akan tambah positif. Sebaliknya bila perusahaan “salah kelola” soal SDM-nya, mereka akan mendapatkan masalah. Tentang gaji dan tunjangan, misalnya. Bila ada perbedaan pemberian gaji antara pegawai normal dan pegawai gay karena pandangan soal gender mereka, sementara posisi dan kemampuannya sama, pasti akan memengaruhi skor ESG-nya. “Kami percaya bahwa bila ada perusahaan yang melakukan salah kelola di SDM-nya, termasuk dalam soal-soal LGBTQ, akan menempatkan para pemangku jabatan dalam risiko”, kata Lloyd Kurtz, seorang pakar riset investasi sekaligus Kepala Bagian Social Impact Investing di Wells Fargo Private Bank.
Inilah yang harus disadari oleh perusahaan, bahwa skor ESG mereka selalu dalam pantauan baik dari para investor maupun dari para penasihat keuangan. Walaupun tidak secara khusus menangani investasi untuk LGBT, tetapi penasihat keuangan dituntut untuk bisa memberi rekomendasi dengan cermat dan tepat kepada kliennya. Seperti yang selalu dikerjakan oleh Caleb Tuten, seorang Analis Investasi Berkelanjutan dari Wells Fargo Investment Intitute. Ia selalu memantau produk-produk dan solusi-solusi yang bisa menguntungkan bagi klien-klien investor yang memiliki tujuan investasi ke ESG yang khusus/spesifik. Sedangkan Kurtz menyatakan bahwa investor harus mengetahui dengan jelas bahwa penasihat mereka memang berkomitmen serius tentang hal LGBT ini. Investor bisa menanyakan tentang metode perekrutan pegawai, misalnya. Benar-benar menjadi mikroskop untuk memastikan masuknya ideologi LGBT ke dalam perusahaan.
Indonesia Masih Fokus ke Harga
Bagaimana dengan di Indonesia? ESG memang sudah diterapkan di Indonesia. Namun penerapannya tidak secara keseluruhan dan lebih banyak dilakukan terutama oleh perusahaan-perusahaan multi-nasional yang memiliki kantor atau cabang di Indonesia, mengikuti kebijakan kantor pusat mereka. Perusahaan domestik yang menerapkannya pun hanya yang sudah masuk ke lantai bursa. Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Center for Economic and Law Studies (Celios) di laman Republika.id, hal tersebut karena belum ada urgensinya. Perusahaan domestik masih sangat tergantung pada investor domestik sementara investor domestik sendiri belum sepenuhnya merasa perlu dan penting, bahkan bisa jadi belum mengetahui sama sekali tentang ESG. Skor ESG akan berusaha dinaikkan bila perusahaan membutuhkan pendanaan dari pasar internasional.
Masih sedikitnya penerapan ESG oleh perusahaan-perusahaan Indonesia dikemukakan juga oleh Jeanice dan Sung Kuk Kim dari Magister Manajemen – Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Universitas Pelita Harapan, dalam laporan riset investigasi mereka yang berjudul “Pengaruh Penerapan ESG Terhadap Nilai Perusahaan di Indonesia”, April 2023. Yang menarik, mereka mengungkapkan pula bahwa sebagian besar konsumen Indonesia, seperti juga konsumen di negara Asia lainnya, lebih sensitif terhadap harga, bukan pada isu tentang ESG atau pembangunan berkelanjutan (sustainable development) atau juga tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Soal harga inilah yang menjadi perhatian para investor dan pemilik usaha Indonesia, karena untuk penerapan tata kelola usaha hijau dibutuhkan biaya yang lebih dari biasanya, yang akhirnya mempengaruhi harga jual produk.
Kita berharap penerapan ESG di Indonesia bisa menjadi lebih baik. Karena ESG memang bertujuan baik demi keberlangsungan kehidupan manusia, alam dan planet bumi ini. Bukan untuk disusupi dan dijadikan tempat memaksakan kepentingan LGBT. (*)