25 November 2024
Pelangi, simbol LGBT+ (Sumber: Feepik)

Pelangi, simbol LGBT+ (Sumber: Feepik)

Pernahkah Anda mengenal kata Pink money, atau pink economy? Istilah ini sering juga disebut pink market. Imut sekali namanya. Cute. Tapi, jangan terjebak oleh “keimutan” namanya, karena kekuatan “ideologisnya” justru sangat dahsyat.

Istilah pink money digunakan untuk mendeskripsikan dahsyatnya daya beli kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT+). Ini adalah sebuah fenomena sosio-ekonomi yang banyak membawa perubahan pada banyak bidang, terutama pemasaran, periklanan, serta model/struktur bisnis sebuah perusahaan.

Kelompok Berdaya Beli Tinggi

Kekuatan pink money berasal dari pasangan gay dan lesbian yang hidup sebagai keluarga tanpa anak. Orang Amerika menyebut mereka DINK, double income no kids. Kehidupan keluarga, dengan keduanya bekerja dan tanpa anak, membuat mereka memiliki kemampuan finansial yang sekurangnya dua kali lipat lebih besar dibanding kemampuan finansial keluarga dengan anak.

Mereka tak perlu risau dengan dana periksa kandungan rutin, melahirkan, susu formula, popok, makanan bayi, dot dan botol, boks bayi serta ayunan. Tak ada biaya untuk baby sitter. Tak perlu pusing soal uang sekolah dan uang kuliah anak. Waktu mereka juga tidak terpecah antara urusan keluarga plus anak dengan urusan kantor. Mereka menjadi lebih berfokus pada pekerjaan sehingga kariernya lebih cepat meningkat. Pastinya, penghasilan mereka pun menjadi lebih besar.  

Menurut portal Tucochinito.com, pengeluaran mereka sampai 15% lebih besar daripada pasangan heteroseksual. Dompet/kantong tebal mereka akhirnya digunakan untuk belanja hal-hal yang behubungan dengan pemenuhan kepuasan pribadi masing-masing. Pola konsumsi yang “berbeda” ini terlihat dari makin tumbuhnya permintaan atas barang-barang mewah dan layanan-layanan premium di Amerika dan Eropa, antara lain pada restoran, pakaian, dan wisata mewah. Sesuatu yang mayoritas pasangan heteroseksual tidak akan (mampu) melakukannya.

Menjadi Segmen Bisnis

Di Inggris, yang sudah melegalkan pernikahan sesama jenis, acara pernikahan kaum LGBT sudah menjadi bisnis tersendiri. Akun YouTube AP Archive, 18 November 2007, menayangkan sebuah gay wedding event yang dilaksanakan di Manchester Town Hall. Di sana digelar berbagai layanan pendukung acara pernikahan bagi kaum LGBT, seperti layaknya pameran layanan pendukung pernikahan pada umumnya. Pesertanya dari pengelola acara (wedding organizer), pembuat kue, penyedia makanan (catering), pembuat baju pengantin, penyedia tempat (venue), hingga penyanyi (wedding singer). Seperti wedding event pada umumnya, semua ada. Bahkan di sini justru tersedia tambahan yang di pesta pernikahan biasa tidak ada: Pertunjukan waria (queer show). Mereka menyatakan, ini sebagai sebuah konsep untuk keluar dari sesuatu yang “tradisional”. Sesuatu yang “tidak biasa”.

Kekuatan pink money juga terlihat jelas di dunia pariwisata. Pada sebuah konferensi para pemandu dan penyedia jasa wisata dengan tema khusus kaum LGBT+ yang diadakan di New York pada 18 Juni 2019, hampir semua pembicara menyatakan bahwa kaum ini melakukan perjalanan wisata dan berbelanja lebih banyak. Di sektor ini saja bisa diurutkan banyak hal yang akan diuntungkan. Dari biaya tiket perjalanan (perusahaan penerbangan, kereta api, taksi, penyewaan kendaraan), biaya penginapan (hotel-hotel), konsumsi makanan (restoran, bar, kafé), hingga belanja cendera mata (toko oleh-oleh, galeri seni). Mereka semua ikut menikmati dampaknya. 

Pelangi dalam Brand

Keberadaan pink money memang sangat menggoda iman. Sebagai masyarakat yang mendewakan kebebasan seksual tanpa batas, Amerika dan Eropa menjadi kawasan surga berkembangnya produk-produk dan layanan-layanan bagi kaum pencinta sesama ini. Mereka mengidentifikasi diri dengan Pelangi. Pelangi, setuju tidak setuju, kini menjadi simbol kaum LGBT+. Logo pelangi ini diaplikasikan pada produk dalam nuansa, pola, dan desainnya. Juga tersematkan pada tag/label dan kemasan produk. Pernyataan dukungan tertulis juga muncul di laman dan media sosial merek-merek bersangkutan.

Adalah merek Dwa Borsuki, sebuah usaha kecil pembuat tas punggung di Warsawa, Polandia. Mereka memasok tas untuk perusahaan perawatan rambut Garnier. Mereka juga memiliki pelanggan yang besar dari komunitas LGBT+. “Kami mulai membuat tas dengan berbagai warna empat setengah tahun lalu. Kami juga pasangan gay dan tidak mau menyembunyikan identitas kami ini. kami membuat tas-tas pelangi untuk komunitas LGBT+, juga bagi siapa saja yang mendukung komunitas ini di Polandia,” kata Wojciech Ostrowski, yang bersama pasangannya, Sebastian Wareluk, menjahit sendiri tas-tas buatan mereka.  

Tidak hanya bagi usaha kecil lokal, perusahaan mapan besar multinasional pun ikut tergoda mengais bagian dari pink money. Nike memasukkan rancangan berideologi LGBT dalam desain-desain aparel mereka. Disney memasukkannya dalam film-film mereka. Tidak hanya satu dua film. Sudah banyak film Disney yang dirasuki agenda “memperkenalkan” kaum ini. Dari adegan-adegan ataupun narasi-narasi kecil yang samar—Mulan, Frozen, Finding Dory, Beauty and the Beast, Cruella. Film-film Marvels: Avengers’ End Game, Thor – Love and Thunder, Doctor Strange in the Multiverse of Madness, Black Panther Wakanda Forever. Lalu di Star Wars The Rise of Skywalker–sampai yang terang-terangan (Strange World), sudah ada dalam film-film Disney.

Penolakan di Indonesia

Di Indonesia sendiri, aktivitas berbau pelangi ini masih sering memicu kontroversi. Salah satu kasus paling hangat adalah penolakan terhadap konser Coldplay yang dianggap mendukung LGBT+. Demikian juga sensitivitas terhadap brand-brand yang dianggap condong mengusung paham ini.

Ustad Fahmi Salim, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), di Republika.co.id, mewanti-wanti agar masyarakat Indonesia waspada terhadap merek-merek global yang disusupi ideologi ini, masuk ke Indonesia. “Masyarakat dibuat tidak sadar dengan produk-produk tertentu yang ternyata mendukung gerakan LGBT ini,” katanya. Masyarakat harus mulai sadar dan lebih cerdas karena banyak merek yang sudah menyatakan terbuka soal dukungan mereka. “Harus diedukasi agar tidak lagi membeli produk-produk tersebut, dan (seharusnya) membeli produk alternatif bermerek lain,” lanjutnya.

Ustad Fahmi menyatakan bahwa memang kita tidak bisa secara membabi-buta dalam membatasi produk-produk global. Yang bisa kita lakukan adalah membuka mata dan mewaspadai masalah ini. Harus cerdas memilih dan mempertimbangkan dampaknya di kemudian hari nanti. (*)

(Sasongko Akhe, diolah dari berbagai sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *