Saya punya teman cowok sewaktu SMA. Namanya…Susi! Serius. Ampun beribu ampun, bukan bermaksud melecehkan, tapi saya pribadi dulu membayangkan betapa “berat” beban Susi nanti ketika berkuliah, mencari pekerjaan, atau dalam kehidupan bermasyarakat. Sebegitukah? Ya, coba kalian pikir sendiri, he-he-he…
Untungnya, sewaktu SMA kala itu, si Susi orangnya pede habis, alias enggak mikirin…. Ia ceria saja dan cengangas-cengenges ketika diledekin teman-teman sekolah. Bisa jadi ia berpikir orang tuanya punya pertimbangan yang matang ketika berani mempertaruhkan nama anaknya seperti itu. Pengin banget punya anak perempuan, misalnya. Atau nama aslinya Susianto. Tapi, karena sang anak sering sakit-sakitan, sesuai dengan kepercayaan masyarakat di Jawa dulu, namanya disunat jadi Susi saja. Soal ini, saya sendiri jadi “korbannya”. Nama belakang saya dulu Maduprojo. Alkisah, karena saat usia balita badan saya sering panas, nama belakang saya itu dihilangkan. “Keberatan nama,” begitu katanya komentar kakek saya dulu. Jadilah nama saya pendek, cuma dua suku kata. Kalau saya bisa mengajukan protes saat itu, ya, saya akan memprotes keras. Tapi ya, sudahlah, he-he-he… Soal si Susi tadi, saya sudah lama kehilangan jejak dan kabarnya hingga sekarang.
Bermunculan Nama-nama Aneh
Susi nyatanya tidak sendirian, dan itu cerita tahun 1990-an. Hingga saat ini saja terdapat nama-nama “aneh” yang banyak ditemui di kartu tanda penduduk atau di dokumen paspor. Dan, sekali lagi, ini bukan candaan, alias aseli nyata. Sebut saja Satria Baja Hitam, Slamet Hari Natal, Pajero Sport, Azan Magrib, Minal Aidi Wal Faizin, ABCDEF GHIJK Zuzu, Alhamdulillah Lanang Anakku, Mati, I Made Supermen, Dono Kasino Indro, Kamingsun, Dita Leni Ravia (bahasa Jawa, artinya “diikat tali rafia”), Anti Dandruf, Selamet Dunia Akhirat, Jashujan, Dontworry, Kukira Januari, Menang Prabowo, Cendi Rian, atau bahkan cukup satu huruf: “Q”. Situs web Direktorat Kependudukan dan Pencatatan sipil (Dukcapil) bahkan memuat artikel yang memberi contoh nama-nama yang bermakna negatif atau bahkan bertentangan dengan norma kesusilaan. Contoh, maaf, Pantat, Erdawati Jablay Manula, Asu, atau Ereksi Biantama. Sungguh unik dan ajaib, bukan? Bukankah anak-anak itu saat tumbuh remaja atau dewasa mesti menyiapkan mental karena menanggung “beban berat” akibat ulah nyeleneh bapak-ibunya? Saya enggak tahu, apa yang ada di benak para pemberi nama itu, sedang caper—cari perhatian—atau sekadar terobsesi sensasi.
Salah Satu Hasrat Kebebasan Pertama Manusia
Diyakini, salah satu hasrat atau keinginan bebas pertama yang dilakukan manusia adalah memberi nama atau menamai sesuatu, termasuk menamai anak-anaknya. Menurut tradisi Yahudi-Kristen, bumi diciptakan sekitar 3760 SM. Jadi, bisa dikatakan manusia sudah memberi nama selama hampir 6.000 tahun.
Beberapa nama tertua tercatat berasal dari bahasa Ibrani. Misalnya, Adam (“bumi”) dan Eve/Hawa (“hidup/kehidupan”). Lamekh, ayah Nuh atau Noah, menamai putranya sambil berujar, “Dia akan menghibur kita.” Ya, Noah berarti “istirahat, kedamaian, kenyamanan”. Harapan ayah Nuh terbukti dengan kisah banjir besar yang menenggelamkan kaum Bani Rasib. Lalu nama Abraham berarti “bapak banyak orang”—nenek moyang 12 suku Israel. Sarah, istri Abraham, menamai putranya Ishak—artinya “tertawa”—karena Allah memberinya alasan yang besar untuk bersukacita ketika putranya dilahirkan.
Banyak nama Ibrani Kuno yang mengaitkan nama anak mereka dengan kebesaran atau keagungan Tuhan. Michael, misalnya, berarti “siapa yang seperti Tuhan?”, Daniel artinya “Tuhan adalah hakimku”, Matius berarti “pemberian Tuhan”, Yesaya artinya “Tuhan adalah keselamatan”, Gabriel artinya “abdi Tuhan”, Samuel artinya “Tuhan mendengarkan”, Yohanes artinya “Tuhan Maha Pemurah”, Natanael artinya “Tuhan telah memberi”, dan Yeremia artinya “Tuhan meninggikan”.
Nama-nama seperti Musa, Harun dan Miriam diyakini berasal dari Mesir, tempat lahirnya tokoh-tokoh Alkitab ini. Arti nama, dalam banyak kasus, berkaitan erat dengan cerita karakter tokoh-tokoh tersebut. Sementara itu, di Yunani Kuno, bukti paling awal praktik penamaan adalah penggunaan nama majemuk, yang mencerminkan nilai-nilai budaya masing-masing. Sebut saja Alexandros (“pembela umat manusia”), Nikolaos (“orang-orang yang penuh kemenangan”), Philippos (“pencinta kuda”), dan Georgios (“pekerja bumi”).
Tria Nomina
Pada saat yang sama, bangsa Romawi Kuno mengembangkan tria nomina (“tiga nama”), yang mulai diterapkan pada abad I SM. Awalnya konsep nama itu diperuntukkan bagi kaum bangsawan, tapi kemudian menyebar ke masyarakat luas. Tria nomina terdiri atas praenomen (nama pemberian), nomen (nama klan), dan cognomen (nama panggilan). Contoh praenomen adalah Quintus (anak yang lahir “kelima”), Lucius (anak yang lahir saat “cahaya” fajar), atau Gayus (anak yang memunculkan “sukacita”). Lalu nomen mencerminkan nama umum anak yang terpenting, yang merupakan indikator keanggotaan marga dan status sosial. Contohnya Aurelius (“berlapis emas”), Aemilius (“pesaing”), dan Julius (“berkaitan dengan Jupiter”). Terakhir, cognomen, nama panggilan pribadi, yakni nama terakhir yang ditetapkan dan hampir selalu menunjukkan beberapa karakteristik fisik atau moral. Misalnya Rufus (“berambut merah”), Cato (“bijaksana”), Severus (“ketat”), dan Cicero (“fasih”)
Namun cognomen tidak selalu membawa keberuntungan! Ada nama Brutus yang berarti “bodoh”, Nasica (“hidung besar”), Crassus (“gemuk”), atau Bibulus (“pemabuk”). Cognomen diwariskan dan diturunkan dengan rasa bangga meskipun ada makna negatif di dalamnya. Yang terpenting adalah status nama tersebut, yang ditinggikan oleh orang-orang yang membuatnya.
BACA JUGA: Merayakan Hari Kartini 2024 di Rumah Damais
Pada abad pertengahan, saat dunia dipenuhi kesulitan yang berasal dari feodalisme, wabah penyakit, perang, ataupun tingkat kelangsungan hidup bayi, muncul nama-nama “suci” sebagai tindakan pelindungan. Contoh, John (Yohanes), James (Yakobus), Catherine, Anne, Mary, dan Margaret.
Sementara itu, bentuk nama yang umum di kalangan muslim Arab adalah awalan Abd (“penyembah”, feminin “Amah”) digabungkan dengan kata untuk Tuhan (Allah) atau dengan salah satu julukan Tuhan. Struktur nama dalam bahasa Arab biasanya didasarkan pada aliran, nasab (garis keturunan), laqab (nama samaran), nisbah (nama sehari-hari, tapi sebagian besar merupakan nama suku leluhur, marga, keluarga, profesi, kota, negara, atau istilah lain yang digunakan untuk menunjukkan relevansi), dan kunya (teknonim—nama ayah atau ibu berdasarkan nama anaknya—dalam bahasa Arab).
Melihat sekilas cerita tentang penamaan tersebut, selain nama-nama yang bermakna positif, penuh harapan dan kebanggaan, serta menyesuaikan situasi zaman, nama-nama yang berkonotasi negatif nyatanya sudah ada sejak ribuan tahun silam.
Peraturan Pembuatan Nama
Mungkin banyak yang belum tahu, “keisengan” para orang tua yang telah memberi nama yang aneh-aneh seperti disebutkan di awal tulisan ini akhirnya membuat pemerintah Indonesia cepat tanggap. Maka, meski dibilang terlambat, dikeluarkanlah peraturan Kementerian Dalam Negeri melalui Permendagri Nomor 73 Tahun 2022. Aturan itu berkaitan dengan syarat pembuatan nama untuk pencatatan dokumen kependudukan. Peraturan itu, salah satunya, berguna untuk menghindari adanya nama-nama yang “unik” dan aneh sekaligus memberi pelindungan kepada anak sejak dini. Hingga sekarang peraturan itu terus disosialisasi untuk menghindari hal-hal yang dinilai merugikan anak di waktu yang akan datang. Jadi, ada saran-saran dan pembinaan dari Dinas Dukcapil sebelum para orang tua mendaftarkan nama anak-anak mereka di akta kelahiran. Tapi, omong-omong, lha kok nama-nama seperti disebutkan di atas bisa lolos sensor sebelumnya, ya? Entahlah.
(S. Maduprojo, diolah dari berbagai sumber)