Ada sejumlah alasan kenapa Cirebon menjadi tujuan pertama kami. Berdasarkan sejumlah literatur, Kota Cirebon dikenal sebagai pusat penyebaran dan pengembangan Islam di wilayah Jawa Barat pada sekitar abad ke-16 yang dirintis Pangeran Cakrabuana—Pangeran Cakrabuana (1430-1479 Masehi) adalah putra pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjadjaran dan istri pertamanya, Subanglarang. Selanjutnya, perjuangan Pangeran Cakrabuana dikembangkan oleh Syarif Hidayatullah, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati lahir dengan nama Tu Ang Pho atau Sayyid Al-Kamil pada 1448 Masehi dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam dan Nyai Rara Santang, putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi.
Petilasan Sunan Kalijaga
Terdapat setidaknya lima masjid tua di Kota Cirebon. Di antaranya Masjid Merah Panjunan, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Masjid Kramat Sunan Kalijaga, Masjid Dog Jumeneng, dan Masjid Agung At-Taqwa. Kami sampai di Cirebon sekitar pukul 10.00. Setelah berembuk, kami memutuskan hanya menyambangi dua tujuan masjid tua di kota ini, yakni Masjid Kramat Sunan Kalijaga dan Masjid Dog Jumeneng. Mengandalkan Google Maps, kami meluncur ke MASJID KRAMAT SUNAN KALIJAGA yang terletak di Kelurahan Kalijaga, Kecamatan Harjamukti.
Memasuki situs petilasan Sunan Kalijaga, kami tidak melihat adanya suasana peninggalan bersejarah yang konon dimulai sekitar tahun 1500 ini. Kawasan ini memang diperkirakan telah berusia 500 tahun. Tidak ada petugas atau penjaga di tempat parkiran. Tapi di pojok menuju masjid terdapat petunjuk berwarna biru dari Dinas Kebudayaan Pemkab Cirebon berbunyi “Petilasan Sunan Kalijaga”. Ada juga papan-papan kecil bertulisan “Selamat Datang di Lokasi Kramat Sunan Kalijaga Kota Cirebon” yang mulai pudar. Tak banyak pula peziarah yang mengunjungi lokasi ini pada Jumat itu. Hanya 1-2 rombongan minibus dan 1-2 kendaraan pribadi yang terlihat mampir atau melakukan salat Jumat di masjid ini. Sejumlah warga sekitar terlihat memasuki area masjid untuk melaksanakan salat Jumat.
Misteri Monyet-monyet Penjaga
Memasuki area masjid, kami disambut sekelompok kera yang asyik bermain-main atau nyante-nyante di sekitar masjid. Ada yang berlarian di atap bangunan sekitar, di pinggiran masjid, atau di pepohonan. Kami sempat bertanya ihwal keberadaan monyet-monyet itu. “Ini sudah dari dulu, sudah ratusan tahun. Mereka tidak mengganggu, kecuali kita ganggu, mereka akan marah. Kalau lapar, mereka ya merangsek ke penduduk di sini untuk minta makan,” ujar salah seorang warga yang kami temui. “Lah, kalau salat Jumat begini, mereka mengganggu dong, Pak?” kami bertanya. “Tidak. Lihat saja nanti, kalau salat Jumat dimulai, mereka akan minggir semua dan bersembunyi,” ujar warga tersebut.
Tak lama waktunya salat Jumat. Anggota jemaah mulai memadati area masjid. Karena penasaran, kami melihat sekeliling, memastikan keberadaan monyet-monyet tadi. Dan, tak seekor pun kami lihat monyet berkeliaran. Selintas kami lihat gerombolan monyet berkumpul di situs permakaman di samping masjid, lalu menepi entah ke mana.
Kisah kera-kera ini memang menjadi bagian dari cerita turun-temurun syiar Sunan Kalijaga di wilayah ini. Konon, jumlah kera itu 99 ekor, dan tak pernah berubah. Satu ekor kera mati, terlahir satu lagi. Begitu seterusnya. Menurut warga tadi, ke-99 ekor kera tadi konon adalah para santri Sunan Kalijaga yang dikutuk menjadi kera karena tidak menjalankan perintah salat Sunan. Sunan akhirnya memberi pesan agar kera-kera itu menjaga situs ini.
Jejak Kalijaga
Adapun atap masjid Sunan Kalijaga ini sekarang sudah direnovasi dengan ornamen bangunan kubus dan kubah bulat seperti masjid-masjid modern saat ini. Di bagian dalam utama masjid masih berdiri kokoh empat pilar saka kayu jati yang tidak terlalu besar, menopang tiang-tiang atap masjid. Di depan masjid terdapat sebuah sumur yang dulu digunakan Sunan Kalijaga dan pengikutnya untuk berwudu dll. Kini sumur itu ada di bangunan kecil dan sesekali masih digunakan untuk berwudu.
Di sebelah kanan masjid ada situs Makam Kramat Sunan Kalijaga yang ditandai dengan pintu cokelat berukuran pendek diapit gapura batu bata yang dicat merah muda. Situs ini dipercaya sebagai tempat bertapa dan pesarean atau makam Sunan Kalijaga. Soal makam Sunan Kalijaga ini masih menjadi perdebatan karena selama ini Sunan Kalijaga diyakini dimakamkan di Kadilangu, Demak, Jawa Tengah. Catatan kami, situs bersejarah peninggalan Sunan Kalijaga ini kurang terawat maksimal karena keberadaannya kurang dikenal atau malah tersembunyi dan fasilitasnya tergolong minim untuk sebuah situs bersejarah.
Dog Jumeneng
Selepas salat Jumat, kami meninggalkan Masjid Kramat Sunan Kalijaga menuju MASJID DOG JUMENENG di area kompleks Astana Gunung Jati atau pemakaman Sunan Gunung Jati. Ada sejumlah masjid yang didirikan Sunan Gunung Jati, salah satunya Masjid Dog Jumeneng di daerah Astana, Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon, ini. Masjid Dog Jumeneng juga dikenal warga sekitar sebagai Masjid Sang Saka Ratu atau Masjid Syekh Syarif Hidayatullah. Di sekitar Masjid Dog Jumeneng terdapat sejumlah masjid yang juga merupakan peninggalan Sunan Gunung Jati. Masjid-masjid ini berdekatan dengan situs makam Sunan Gunung Jati dan Syekh Dzatul Kahfi, yang diyakini sebagai orang pertama yang menyebarkan agama Islam di Cirebon sekaligus salah seorang guru Sunan Gunung Jati.
Masjid ini memiliki sejarah yang unik. Konon, asal muasal nama Dog Jumeneng diambil dari kisah berdirinya masjid tersebut. Dulu, Syekh Quro, ulama asal Karawang, sahabat Syekh Dzatul Kahfi, menghadiahi bangunan masjid itu untuk Sunan Gunung Jati. Syekh Dzatul Kahfi adalah guru ibunda Sunan Gunung Jati, Syarifah Mudaim alias Nyi Mas Rara Santang, serta Pangeran Cakrabuana. Menurut cerita, Syekh Quro memindahkan masjid ini dari Karawang ke Gunung Jati dengan cara diterbangkan secara sekejap sehingga muncullah nama Dog Jumeneng, yang berarti “muncul secara tiba-tiba”.
Lokasi masjid ini tidak terlalu menonjol karena dikelilingi perumahan warga dan toko-toko yang menjual berbagai suvenir dan makanan. Memasuki area masjid, sejumlah “guide” bak memaksa kami menjelajahi area masjid. Akhirnya, seseorang memberi kode agar kami mengikutinya, dan akhirnya kami menurutinya. Kami mesti melewati lorong atau gang sempit yang kanan-kirinya berjajar puluhan peminta-minta untuk memasuki Masjid Dog Jumeneng. Menurut kami, pemandangan itu terasa mengurangi kesakralan situs bersejarah ini. Tapi akhirnya kami sampai juga di bangunan masjid.
Belajar Merunduk
Masjid Dog Jumeneng dibangun berundak, sepertinya mengikuti kontur di daerah ini. Masjid ini terdiri atas lima undakan dan memiliki bangunan utama 20 x 20 meter persegi, yang pintu utamanya hanya dibuka seminggu sekali—sayang, kami tadi melaksanakan salat Jumat di Masjid Kramat Sunan Kalijaga sehingga tidak bisa melihat langsung bagian utama masjid ini. Pintu utama berukuran kecil dan pendek sehingga, untuk memasuki ruang utama, anggota jemaah mesti agak merunduk. Hal itu, kata pemandu kami, dimaksudkan agar kita lebih baik selalu menunduk, tidak sombong. Hal itu pulalah yang mungkin menjadi dasar sehingga atap masjid ini juga terkesan pendek, tidak menjulang tinggi. Bangunan utama itu menghadap langsung ke makam Sunan Gunung Jati yang berada di depan masjid. Meski sudah beberapa kali mengalami perubahan, mimbar dan konstruksi kayu masih dipertahankan. Yang mencolok di dalam bangunan masjid ini adalah hiasan porselen pada dinding-dinding masjid di bangunan utama, yang didominasi dekorasi kelopak bunga warna putih dengan hiasan piring-piring cantik nan antik khas bangunan zaman kerajaan Cirebon.
Peninggalan lain yang kami temui di masjid ini adalah enam buah manuskrip kuno Al-Quran yang dibuat dengan tulisan tangan. Manuskrip ini disimpan di sebuah lemari kaca yang berada di undakan ketiga. Sayang, nama penulis dan sejarah penulisannya tidak diketahui.
Waktu menunjukkan sekitar pukul 14.00, dan, sesuai agenda, kami mesti bergegas melanjutkan perjalanan berikutnya di Kota Pekalongan. Bersama pemandu tadi, kami kembali melewati gang atau lorong menuju parkiran. Nah, kali ini, di sepanjang lorong ini kami dikerubuti peminta-minta, yang menodongkan ember kecil agar kami memberi mereka uang. Kami pun sedikit dizzy, puyeng, melihat pemandangan ini. Setelah diberi beberapa lembar uang recehan, dan kami beringsut meninggalkan mereka, di tikungan keluar, kami masih ditodong sekitar 3-4 orang agar memberi mereka uang. Begitu pula sesampai parkiran, tetap kami dikejar para peminta-minta itu. Pemandangan ini tentunya patut kami sayangkan terjadi di tengah-tengah peninggalam situs bersejarah yang semestinya dijaga kesakralan dan mengganggu kekhusyukan peziarah.
Masjid Jami Aulia Saporo
(PEKALONGAN, JUMAT, 7 Juli 2023). Setelah mencicipi sejenak kuliner empal gentong Krucuk, kami melesat ke tujuan berikutnya, Kota Pekalongan. Menjelang magrib, sampailah kami di Kota Pekalongan, tepatnya di MAKAM HABIB HASYIM BIN UMAR BIN YAHYA yang berada di kompleks makam Sapuro. Berdasarkan literatur yang kami dalami, Habib Hasyim bin Umar bin Yahya adalah kakek Habib Luthfi bin Yahya. Beliau lahir di Indramayu, Jawa Barat. Ayah Habib Hasyim, Habib Umar, juga seorang ulama besar. Habib Hasyim merintis dakwah dengan mendirikan pesantren dan madrasah pendidikan pertama di Pekalongan. Beliau juga seorang mursyid Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah—salah satu organisasi sufisme dalam sejarah Islam di Indonesia—pada masanya. Salah seorang murid Habib Hasyim adalah pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari.
Petang itu banyak sekali peziarah yang mengunjungi makam Habib Hasyim. Saat kami tiba, sekitar empat bus terparkir di kompleks makam. Belum lagi puluhan kendaraan pribadi yang kami lihat datang dari berbagai kota. Kami melakukan salat magrib di Mushola Al Iman yang berada di dalam kompleks makam, sebelah kiri pintu masuk kompleks makam. Fasad musala ini berbentuk klasik, seperti atap bangunan dan teras musala. Juga hiasan dinding dan ornamen di bagian dalam musala. Sehabis salat, kami menuju MASJID JAMI AULIA SAPORO yang berjarak 200-an meter dari kompleks makam Habib Hasyim. Kami pun berjalan kaki menuju Masjid Jami Aulia.
Masjid Tertua di Pekalongan
Masjid yang berada di wilayah Kelurahan Sapuro Kebulen ini tidak hanya diyakini sebagai masjid tertua di Kota Pekalongan, tapi juga tertua di eks-Keresidenan Pekalongan yang meliputi wilayah Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan, Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Brebes, dan Kabupaten Batang. Masjid Jami Aulia diperkirakan dibangun pada 1035 Hijriah atau sekitar 1614 Masehi.
Sebuah menara persegi empat yang didominasi warna hijau berdiri di depan halaman masjid. Di bagian depan masjid, kesederhanaan terlihat dari bangunan depan berupa teras dengan sejumlah pintu masuk. Memasuki bagian dalam, terdapat sebuah mimbar dari kayu dengan penutup di bagian atas serta empat tiang utama atau saka guru. Di masing-masing saka terdapat tulisan nama tokoh yang dipercaya sebagai pendiri masjid tersebut, yakni Kiai Maksum, Kiai Sulaiman, Kiai Lukman, dan Nyai Kudung.
Kami pun melaksanakan salat isya di masjid ini. Memandangi bagian utama masjid ini, keempat saka yang ada di dalam masjid mengingatkan pola empat pilar Masjid Kramat Sunan Kalijaga—juga Masjid Agung Demak. Arsitekturnya mirip. Hal itu bisa jadi karena keempat pendiri masjid tersebut memang berasal dari Demak, yang diutus untuk membangun masjid ini.
Sekitar pukul 20.00, kami pun memutuskan melanjutkan perjalanan menuju Kota Demak, yang diperkirakan memakan waktu 1 jam. Tujuan kami berikutnya adalah Masjid Agung Demak, Jawa Tengah. Sesuai dengan perkiraan, kami sampai di Kota Demak sekitar pukul 21.00. Niat awal, kami ingin beristirahat sekaligus bermalam di Masjid Agung. Tapi perjalanan panjang yang cukup melelahkan hari ini membuat kami memutuskan pencari tempat menginap di sebuah hotel dan melanjutkan napak tilas di Masjid Agung esok hari.
BACA JUGA: BAGIAN KEDUA: “DEMAK-KUDUS-TUBAN”