24 November 2024
Jejak Para Kleptokrat (Tulisan 4): “Hukuman Makin Berat, Korupsi Makin Bejat”

Ilustrasi: Freepik.com

Tak terhitung entah berapa jumlah para pejabat negeri kita tercinta Republik Indonesia dikandangin karena korupsi.

Selain sangat banyak, kita mungkin lupa atau malas mengingatnya, saking sudah begitu muaknya mendengar berita yang tak pernah berkesudahan ini. Uang proyek pembangunan dikorupsi, uang bantuan sosial dikorupsi, uang sumbangan bencana alam dikorupsi, bahkan bujet penerbitan Al-Qur’an pun berani dikorupsi.

Apakah negara disusun sedemikian komprominya terhadap para pelaku korupsi? Tentu saja tidak. Semua negara memusuhi korupsi. Semua negara menjadikan korupsi sebagai tindak pidana yang diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP).

Bahkan berbagai negara, termasuk Indonesia, memasukkan korupsi sebagai kejahatan khusus dan menciptakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tersendiri untuk memberangusnya. Saking korupsi dianggap sebagai perilaku berbahaya bagi negara, tak jarang hukuman berat, seperti hukuman mati atau penjara seumur hidup, diberlakukan oleh beberapa negara, termasuk Indonesia.

Negara yang Menghukum Mati Pelaku Korupsi

Banyak negara yang memberlakukan hukuman keras terhadap korupsi. Di antaranya Thailand. Pada 2015, Negeri Gajah Putih ini mengamendemen Undang-Undang Anti Korupsi yang tidak hanya siap menghukum mati pejabat negeri, tapi juga pejabat asing dan staf organisasi internasional yang melakukan suap.

Myanmar, Laos, dan Vietnam juga siap menghukum mati pelaku korupsi. Vietnam malah menerapkan hukuman mati berlaku bagi koruptor yang merugikan negara minimal Rp 300 juta.

Negara Asia Tenggara lainnya yang memberlakukan hukuman mati bagi koruptor adalah Indonesia dan Malaysia. Indonesia menegaskan hukuman mati dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 ayat 2 secara eksplisit menyebutkan bahwa hukuman mati bisa dijatuhkan kepada pelaku tindak korupsi dalam keadaan tertentu.

Malaysia malah sejak tahun 1961 sudah memiliki undang-undang anti-korupsi yang disebut Prevention of Corruption Act, dan pada 1997 menjadi Undang-Undang Anticorruption Act. KPK-nya juga sudah berdiri sejak 1982, yang disebut sebagai Badan Pencegah Rasuah (BPR). Mereka siap menggiring para koruptor ke tiang gantungan.

Singapura juga sangat keras terhadap koruptor. Pada 1994-1999, Singapura telah memvonis lebih dari 1.000 pelaku kejahatan terkait dengan pembunuhan, pengedaran narkoba, dan korupsi.

Bergeser ke tetangga yang lebih jauh, yaitu Taiwan. Negeri ini juga menerapkan hukuman mati terhadap koruptor, walau dengan syarat khusus. Dalam Undang-Undang Antikorupsi Taiwan, hukuman mati hanya diberlakukan bagi koruptor yang mencuri uang dari dana bencana alam atau dana sosial untuk mengatasi krisis ekonomi.

Negara Asia yang terkenal kejam terhadap koruptor adalah Cina dan Korea Utara, walaupun hukuman mati di negara tersebut bersifat rahasia. Di Cina, koruptor yang terbukti menggarong uang minimal 100 ribu yuan atau sekitar Rp 215 juta akan dihukum mati. Pada 2018, Zhou Zenhong, mantan Chief United Front Work Department (UFWD), dihukum mati setelah terbukti korupsi Rp 43 miliar. Lalu Liu Zhijun, mantan Menteri Perkeretaapian Cina, juga divonis mati. Menurut Amnesty International, di Cina, ada lebih-kurang 4.000 vonis mati per tahun karena kasus korupsi.



Baca Juga: “Atas Nama Kekuasaan dan Cuan”

Korea Utara, terkhusus pada masa kekuasaan Kim Jong-un, lebih kejam lagi dan tertutup dalam mengeksekusi koruptor. Pada 2015 saja, Kim Jong-un telah mengeksekusi sekitar 50 pejabatnya. Yang paling kontroversial adalah ketika Kim Jong Un mengekseksui pamannya sendiri, Chang Song-thaek, yang dikabarkan melakukan korupsi, selain ketahuan merencanakan kudeta.

Negara Arab seperti Irak dan Iran juga memberlakukan hukuman mati. Di Irak, Ali Hassan Al-Majid, pejabat senior yang diberhentikan karena dianggap menyalahgunakan kekuasaannya untuk penyelundupan dan kesepakatan bisnis illegal, dieksekusi mati, walau tuduhan resminya karena ia melakukan kejahatan atas kemanusiaan.

Di Iran, eksekusi mati terhadap pejabat akan dilakukan sekiranya terbukti melakukan pemalsuan, penyelundupan, dan gangguan produksi. Namun tidak ada eksekusi terhadap pejabat yang dilaporkan secara terbuka. Tapi, menurut Komisi Hak Asasi Manusia Iran, sejak 2013, sudah ada ribuan orang yang dieksekusi mati di bawah rezim Hassan Rouhani.

Maroko juga siap menjatuhkan hukuman mati terhadap tindak korupsi. Demikian juga negara-negara yang mengadopsi hukum Islam, seperti Arab Saudi, siap memancung pelaku tindak korupsi.


Hukuman Berat Bukan Jalan Tepat

Ketika hukuman mati terhadap koruptor banyak berlaku di negara-negara Asia dan sebagian negara di Timur Tengah, bagaimana dengan Barat dan Eropa?

Walau mereka menerapkan hukuman berat, tapi tidak ada vonis mati di negara-negara Barat dan Eropa. Amerika Serikat memberikan vonis minimal 5 tahun penjara untuk koruptor, plus denda US$ 2 juta. Bila kejahatan korupsinya lebih berat, pelaku terancam hukuman penjara maksimal 20 tahun.

Sementara itu, Jerman memberlakukan hukuman maksimal adalah penjara seumur hidup. Koruptor di Jerman juga wajib mengembalikan harta hasil jarahannya itu.

Bagaimana dengan negara-negara peringkat atas antikorupsi di dunia, seperti Finlandia, Denmark, dan Selandia Baru? Ketiga negara ini bahkan tidak menempatkan korupsi sebagai tindak pidana khusus alias kejahatan luar biasa seperti di Indonesia.

Alih-alih memperkuat instrumen represif, seperti menghukum mati atau penjara seumur hidup pelaku korupsi, ketiga negara ini malah lebih menitikberatkan pada tindak preventif, seperti membuat sistem transparansi dalam pengelolaan negara, plus memperkuat aspek budayanya.

Sekarang mari kita lihat, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negara-negara yang memiliki sanksi berat bagi pejabat korup bejat. Apakah negara-negara tersebut berhasil mengatasi korupsi dengan baik?

IPK adalah penilaian dan pemeringkatan atas 180 negera yang dilakukan oleh International Transparancy. Skor mulai dari 0 (terburuk) hingga 100 (terbaik). Skor 0-49 dianggap korup dan skor 50-100 dianggap tidak korup.

Di IPK tahun 2021 yang diterbitkan pada Januari 2022, negara yang memberlakukan hukuman mati terhadap koruptor, seperti Thailand, mendapat skor 35. Myanmar memperoleh skor 28, Laos 30, Vietnam 39, Malaysia 48, Indonesia 38, Taiwan 68, Singapura 85, Cina 45, Korea Utara 16, Maroko mendapat 39, Irak 23, Iran 25, dan Arab Saudi mendapat skor 53.

Hanya Singapura yang memiliki skor tinggi, bahkan masuk ke 5 besar negara paling antikorup dan bersih di dunia. Taiwan juga bagus. Sementara Arab masih lumayan, mendapatkan skor medium, dan masuk ke garis batas bawah negeri dengan korupsi rendah. Selebihnya, negara-negara lain yang memberlakukan hukuman mati terhadap koruptor, seperti Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Cina, Korea Utara, Maroko, Irak dan Iran, malah memiliki niai merah dan masuk ke kelompok negara dengan korupsi tinggi.

Dari sini, bisa disimpulkan, bahwa hukuman berat bukan cara terbaik untuk memberantas korupsi. Kita layak belajar pada negara-negara yang mendapatkan skor tinggi, seperti Finlandia, Denmark, dan Selandia Baru.

(ASEP HERNA, DIOLAH DARI BERBAGAI SUMBER)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *