Waldman—peneliti ilmu saraf dan pencipta NeuroWisdom 101—serta Newberg—ahli saraf yang mempelajari hubungan antara fungsi otak dan berbagai kondisi mental—menyatakan kata ini dapat merusak otak pembicara dan pendengarnya. Kata apa itu? Menurut mereka, kata itu adalah: “no” alias “tidak”!
La, kok, bagaimana bisa satu kata itu sebegitu berbahaya bagi otak seseorang?
Waldman dan Newberg menuturkan, segala bentuk perenungan negatif—misalnya khawatir akan kesehatan Anda—dapat merangsang pelepasan bahan kimia saraf yang merusak. Waldman dan Newberg menjelaskan, ”Jika kami memasukkan Anda ke dalam pemindai fMRI—magnet besar berbentuk donat yang dapat merekam video perubahan saraf yang terjadi di otak Anda—lalu mem-flash kata “TIDAK” kurang dari 1 detik, Anda akan melihat pelepasan tiba-tiba lusinan hormon dan neurotransmiter penghasil stres. Bahan kimia ini segera mengganggu fungsi normal otak Anda, merusak logika, penalaran, pemrosesan bahasa, dan komunikasi.”
Kedua ahli saraf ini menambahkan, “Faktanya, hanya dengan melihat daftar kata-kata negatif selama beberapa detik, akan membuat orang yang sangat cemas atau depresi merasa lebih buruk. Semakin merenungkannya, Anda semakin benar-benar dapat merusak struktur utama yang mengatur ingatan dan perasaan. Juga emosi. Hal itu akan mengganggu tidur Anda dan menghilangkan nafsu makan serta kemampuan untuk merasa bahagia dalam jangka panjang.”
Kata “tidak” di sini mungkin juga bisa direpresentasikan sebagai pikiran atau perenungan yang serius, cenderung mengarah ke negatif. Temuan ini tentu saja merepotkan bagi orang yang “divonis” dengan diagnosis kronis, seperti sakit jantung.
Baca Juga: Kesurupan. Apakah itu?
Laporan Kesehatan Manajemen Stres yang diterbitkan Harvard Medical School, misalnya, menyebutkan orang-orang yang memiliki masalah pelik dalam hidupnya, lalu memikirkannya hingga mendalam, akan lebih banyak menghasilkan hormon stres perusak arteri tubuh tingkat tinggi yang berbahaya, seperti kortisol—hormon yang menyediakan energi melimpah bagi tubuh, terutama ketika sedang berada di bawah ancaman, tekanan, ataupun stres.
Sejumlah pakar kesehatan yang berfokus pada masalah manajemen stres dan penyakit kronis juga menyimpulkan bahwa stresor—faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan terjadinya respons stres—kronis bisa menjadi ancaman mematikan bagi jantung kita. Stres yang tidak terkelola, terutama akibat kemarahan dan permusuhan, berpengaruh terhadap kesehatan dan dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, irama jantung tidak teratur, pembuluh darah rusak, kadar kolesterol meningkat, penyakit arteri koroner (aterosklerosis), serta sistem kekebalan tubuh melemah.
Sebaliknya, ketika seorang dokter ataupun terapis menyarankan pasiennya untuk mengubah pikiran dan kekhawatiran negatif menjadi afirmasi positif, proses komunikasi meningkat. Hal itu juga membantu pasien tersebut mendapatkan kembali kontrol dan kepercayaan dirinya.
Tapi sejumlah peneliti juga memperingatkan bahwa tampaknya ada masalah intrinsik di sini: otak hampir tidak merespons kata-kata dan pikiran positif kita; contoh sederhana, ketika mereka menunjukkan gambar bunga versus gambar ular kepada subyek penelitian, ternyata kita cenderung bereaksi terhadap ular yang menakutkan, tapi hampir tidak menunjukkan reaksi terhadap bunga yang indah itu. Itu sebabnya, mereka menyarankan agar kita perlu meningkatkan hal-hal positif itu untuk melebihi yang negatif. Dengan kata lain, perbanyak lagi afirmasi positif melebihi pikiran-pikiran negatif. Afirmasi diri yang positif—teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Claude M. Steele, psikolog sosial Amerika dan profesor psikologi di Stanford University, pada 1988—mengandaikan bahwa orang termotivasi untuk mempertahankan pandangan positif tentang diri mereka sendiri sebagai orang yang kompeten, bermoral, stabil secara emosional, dapat menyesuaikan diri, serta mampu menghadapi tekanan hidup.
Waldman dan Newberg mengingatkan bahwa kita perlu menghasilkan 3-5 pikiran dan perasaan positif untuk setiap ekspresi negatif. “Pilih kata-kata Anda dengan bijak dan ucapkan perlahan. Hal itu akan memungkinkan Anda ‘mengganggu kecenderungan otak untuk menjadi negatif’. Pengulangan kata-kata yang positif saja akan mengaktifkan gen tertentu yang menurunkan stres fisik dan emosional Anda.”
Jadi, mulai sekarang, ada baiknya kita berujar yang “baik-baik saja”. Meski PHK banyak terjadi, harga BBM melambung tinggi, ada ancaman krisis energi, dan curah hujan meninggi, bertutur saja: “Terima kasih ya Allah, engkau telah melindungiku dan memberi kekuatan dari segala cobaan dan marabahaya…”
Jangan lupa yang belum mendapat jodoh dan pasangan, tak usah berkecil hati, ucapkan: “Terima kasih ya Allah, engkau telah memberiku (calon) pasangan yang baik dan setia…” Oraaaaa….eh, uraaaaa!!!!!
(S. Maduprojo. Bahan rujukan: Myheartsisters.org; Encyclopedia.com; Psychologytoday.com)