25 July 2024

Kapolresta Bandung saat memperlihatkan barang bukti kasus pemerkosaan dan pembunuhan bocah kecil, 25/11/2021 (Sumber: Kompas.com)

Cerpen Ganden Dinar Arrumi

Ada sepasang mata yang membajak perhatianku pagi ini. Mata seorang anak remaja yang sedang menjajakan kopi. Anak remaja perempuan. Ia terlihat begitu rajin, dengan mulai menjajakan kopi tengah hari, saat cahaya matahari tepat tegak lurus dari atas kepalanya.

Si anak remaja ini berwajah manis, walau tampak sedikit kumuh. Rambutnya ikal berombak, agak pekat seperti jarang sekali keramas. Ia berkaos oblong putih dengan jeans biru belel yang di bagian lututnya robek. Usianya sekitar 12 tahun lebih. Ah, harusnya ia sedang berada di sekolah, pikirku.

Aku mengamati detail raut mukanya. Tatapannya begitu kosong. Seperti ada kesedihan yang begitu dalam menyelimutinya. Apakah dia menjajakan kopi demi membantu ibunya yang lagi sakit? Atau ia seorang anak yatim piatu yang terpaksa harus mencari nafkah sendiri untuk bisa bertahan hidup? Pikiranku berkecamuk mengira-ngira siapakah gerangan anak ini.

Aku sering berada di taman kota ini. Setiap kali ketika lelah keliling membelah jalan mengantar penumpang, aku selalu singgah di sini untuk istirahat. Aku merasa tempat ini begitu resik, bunga dan pepohonannya seakan mampu menyerap rasa capekku seketika. Malah sering aku lupa waktu berada di sini. Bahkan dari siang sampai pukul 5 sore bak terasa hitungan menit. Namun, baru kali ini aku melihat gadis remaja itu.

Gadis itu sesekali melihat ke arahku. Ia sepertinya ingin menawariku untuk membeli barang segelas kopi. Tapi mungkin ia segan dan memilih menunggu aku sendiri yang memesannya. Tapi aku tak menyukai kopi.

Jarakku dengannya sekitar 10 meter. Ia duduk di bangku yang sejajar dengan posisi tempat dudukku. Ada sekitar 3 bangku kosong di antara bangku yang aku duduki dengan bangkunya. Memang, taman ini sepi. Tak banyak orang yang singgah, bermain, atau beristirahat sepertiku di sini. Hanya ada beberapa pedagang termasuk pelapak koran yang dari tadi juga sepi pembeli. Lapak koran ini persis ada di sebelahku.

Matahari beranjak pelan ke barat. Tiga jam sudah aku habiskan waktu terpaku di bangku ini. Seperti aku, Si Gadis juga masih duduk tak bergerak. Aneh, pikirku. Bukannya keliling mencari pembeli, Si Gadis ini malah diam tak peduli. Hampir saja aku mengalah untuk menjadi pembeli pertamanya. Tapi aku ingat maagku, yang pasti kumat kalau kubanjur lambungku dengan kopi. Akhirnya aku batal membelinya.

Kalau Si Pelapak koran kuhitung sudah menjual 10 eksemplar, sampai detik ini tak segelas pun berhasil gadis ini jual. Padahal, makin sore makin banyak orang hilir mudik melewati taman ini dan sekaligus melewati si anak remaja tadi. Namun, jangankan melirik dan membelinya, bahkan menganggap ada pun, tidak.

“Bang, beli korannya satu,” kataku sambil berdiri dan berjalan ke arah lapak koran. Lalu aku menyodorkan uang Rp 50.000 dengan niat kembaliannya aku belikan segelas kopi. Sesekali maagku kumat, tak apalah demi menghibur rasa sedih Si Gadis penjaja kopi ini.

Koran dan uang kembalian kugenggam, lalu kubalikkan badan menuju arah Si Gadis penjaja kopi. Tapi alangkah kagetnya aku, bangku itu kini sudah kosong. Hanya 2 menit mataku lepas memperhatikannya untuk membeli koran, Si Gadis itu hilang entah ke mana. Aku menyesal luar biasa, kenapa tidak dari tadi aku membeli kopinya.

Aku bertanya ke Si Abang pelapak Koran yang posisinya memang menghadap bangku tempat Si Gadis duduk, barangkali ia tahu ke mana arah perginya. “Bang, Si Gadis yang tadi duduk di bangku itu ke arah mana perginya ya?”

“Wah, Dek, aku tidak melihat ada orang duduk di situ. Dari pagi bangku itu kosong,” katanya membingungkan.

“Aku dari siang tadi memperhatikannya lho, Bang, dia menjajakan kopi. Dan sekarang aku ingin membelinya.”

“Ah, canda, Adek. Betulan dari tadi di sana tidak ada orang,” ujar Si Abang pelapak koran serius.

Aku jatuhkan diriku di bangku tempat tadi aku duduk. Kutatap bangku tempat gadis penjaja kopi itu berada, berharap ia kembali di sana. Tapi bangku itu hanya menyisakan jejak penyesalanku yang semakin dalam. Dan aku semakin menyalahkan diriku.

Kubuka koran, isinya hanya berita politik yang memuakkan. Lalu kusibak cepat lembar berikutnya dengan niat koran segera aku buang. Tapi tiba tiba pandanganku jatuh pada satu gambar di pojok kanan bawah halaman koran, sebuah foto anak perempuan berkaos putih, dengan jeans biru dan robek di bagian lututnya. Kuamati wajahnya, 100 persen itu adalah wajah gadis remaja yang duduk di bangku kosong itu. Gadis yang tadi sesekali melemparkan bola mata hitamnya padaku. Hatiku gemetar. Lemas. Lunglai. Dan semakin gemetar aku ketika kubaca headline koran di atasnya: “Terungkap! Pemerkosa dan Pembunuh Gadis 12 Tahun dalam Karung”.

Aku diam terpaku, lalu kutatap kembali bangku yang berjarak 10 meter di depanku itu. Kosong.

1 thought on “Gadis Penjaja Kopi

  1. Ya ampun, berkali-kali baca cerpen ini, kok rasanya ada yang nancep di dada. Pengemasan ceritanya keren, walau tragis. Mungkin karena ilustrasi gambarnya konferensi pers Kapolresta Bandung kali, ya, sehingga mengesankan cerpen ini berangkat dari kejadiannya nyata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *