Besar kemungkinan pemakaian frasa tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan penuturnya yang terus menggunakannya karena meneruskan kekeliruan sebelumnya. Tapi ada juga mungkin yang sudah tahu bahwa frasa itu tidak tepat, tapi tetap digunakan dengan alasan kata itu berhak hidup atau banyak dipakai di masyarakat. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Kenapa frasa-frasa yang “bersaing” di masyarakat itu bisa muncul?
Merujuk pada pendapat sejumlah ahli bahasa, seperti Gorys Keraf dan Abdul Chaer, hakikat bahasa adalah sebuah alat komunikasi verbal yang digunakan manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan mempunyai sistem dengan pola tertentu. Sebagai sebuah sistem yang berpola, bahasa memiliki sejumlah sifat, di antaranya arbriter, konvensional, produktif, dinamis, dan beragam. Sebagai sebuah sistem, tentu ada dasar yang digunakan agar komponen-komponen yang ada di dalamnya tersusun secara teratur supaya dapat dimengerti oleh penutur dan lawan penuturnya.
Nah, sehubungan dengan munculnya contoh frasa yang bersaing tadi, kita akan ungkap sedikit sifat bahasa yang arbriter dan konvensional. Arbriter lebih-kurang bermakna “mana suka”. Jadi, hubungan antara lambang bunyi dan yang dilambangkan itu tidak wajib, bisa berubah sewaktu-waktu, dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang bunyi tersebut dapat “mengonsepi” makna tertentu. Orang bisa menyebut “rumah” untuk memaknai “bangunan untuk tempat tinggal”. Tapi ada juga yang menyebutnya “omah”, “imah”, “house”, atau “huis”, dan itu sah-sah saja. Hal tersebut dapat dilihat pada banyaknya lambang bunyi yang memiliki padanan kata untuk suatu makna atau konsep yang sama. Di sisi lain, ada sifat lain bahasa, yakni konvensional. Setiap penutur suatu bahasa mesti mematuhi adanya hubungan antara lambang dan konsep yang dilambangkannya. Apabila hal itu tidak dipatuhi, bisa jadi komunikasi yang tengah dilakukan terhambat. Contohnya tadi, untuk menyebut “bangunan untuk tempat tinggal”, penutur bahasa Indonesia menyebutnya “rumah”. Kalau ada yang mengganti lambang bunyi itu dengan “rumih”, atau “rumoh”, tentu hal itu akan mengganggu komunikasi dengan yang lain karena telah lari dari kesepakatan dalam memaknai lambang bunyi tersebut.
Baca Juga: Mabuk Kata
Kembali ke contoh frasa “tolok ukur” yang bersaing dengan frasa “tolak ukur”, peristiwa ini bisa ditelusuri dari sifat-sifat bahasa tadi.
Ada sebuah artikel yang mengungkap bahwa frasa “tolok ukur” pertama kali muncul sekitar tahun 1970-an yang dimuat di sebuah koran nasional. Lalu, tak lama berselang, ada yang menulisnya dengan “tolak ukur”, dan diikuti penutur lainnya. Jadilah kedua frasa ini—tolok ukur dan tolak ukur—hidup dan bersaing di masyarakat hingga sekarang.
Lalu, bagaimana kita mesti menyikapi gejala bahasa seperti ini? Inilah salah satu tugas para “polisi” bahasa, ahli bahasa, juga media massa. Kelatahan, atau bisa dibilang kekeliruan yang terus dipelihara, pelan-pelan mesti diluruskan agar bahasa Indonesia mempunyai sistem atau pola yang ajek alias konsisten, berdasar, dan memudahkan dalam pengajarannya.
Salah satu arti “tolok”, seperti dijelaskan dalam KBBI, bermakna: n banding; imbangan (yang sama); tara: tiada –nya tiada bandingannya. Jadi, mengacu pada frasa “tolok ukur”, yang berarti “sesuatu yang dipakai sebagai dasar mengukur (menilai, dan sebagainya); patokan; standar”, jelas kata yang dimaksud adalah “tolok”. Sedangkan “tolak” bermakna “sorong, dorong” dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan sebuah bandingan atau sesuatu untuk membandingkan.
Jadi, jelas, bentuk bersaing dari tolok ukur, yakni “tolak ukur”, tidak ada dasar polanya dan bisa jadi pemakaian perdananya adalah sebuah kekeliruan yang mungkin tidak disengaja, yang akhirnya diikuti banyak penutur lainnya. Menurut penulis, penggunaan frasa “tolak ukur” memenuhi sifat arbriter, tapi tidak konvensional. Awalnya pemakaian frasa “tolak ukur” kemungkinan besar merupakan sebuah kekeliruan—alih-alih sebuah variasi bahasa—dan mesti diluruskan.
Contoh lain dari frasa bersaing tersebut adalah “lesung pipit”, yang seharusnya ditulis “lesung pipi”. Kelainan otot yang menyebabkan kesan “penyok” di pipi, terutama saat seseorang tersenyum, itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan si “pipit”…