Bukan penggemar atau pencinta kardus alias karton, melainkan sebutan untuk penggemar sebuah klub/tim sepak bola yang bermental bak kardus. Ungkapan ini, di antaranya, dipopulerkan oleh mantan pelatih tim futsal Indonesia yang kini menjadi pengamat (pundit) sepak bola, Justinus Lhaksana, yang akrab disapa Coach Justin. Julukan itu disematkan kepada seseorang (fan) yang seolah-olah paham sepak bola dari permukaannya saja dan gampang menghakimi suatu klub atau hasil pertandingan sepak bola. Fan itu bisa memuja tim idolanya kalau mereka menang, tapi dengan gampang juga mencaci-maki tim itu kalau mereka kalah bertanding. Fan seperti ini, menurut Justin, hanya melihat hasil, tanpa respek atau menghargai proses atau upaya yang sedang dibangun sebuah klub sepak bola. Gampangnya, kebalikan dari fan sejati. Diksi “kardus” nyatanya bukan hanya ditujukan untuk pencinta sepak bola, tapi juga untuk penggemar olah raga lainnya yang berpikiran serupa. Malah, istilah itu kini bisa juga melebar untuk orang-orang yang dinilai selalu berpikiran pesimistis, negatif, cepat menyimpulkan sesuatu tanpa menganalis, dan sejenisnya, yang dijuluki otak kardus.
Jauh sebelum Coach Justin, pada 2018, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief menjuluki Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sebagai “jenderal kardus”. “Ada politik transaksional yang berada di dalam ketidaktahuan kami, yang sangat mengejutkan,” kata Andi Arief saat itu membeberkan alasannya menjuluki Prabowo “jenderal kardus”.
Tapi, kok kardus dibawa-bawa dalam dunia politik dan olahraga, ya? Apa salah si kardus itu? Sudah tahu sifat kardus itu gampang lecek, terkena air langsung kucel, ya kok tega-teganya karakter itu dipakai untuk mengatai seseorang.
Baca Juga: Bangkrut
Sepertinya jawabannya begini. Dalam peristiwa bahasa, kasus pemilihan diksi kardus untuk fan sepak bola ini dikategorikan majas perbandingan, yang di dalamnya, antara lain, ada alegori, metafora, metonimia, litotes, hiperbola, pars pro toto, totem pro parte, eufimisme, dan personifikasi. Menurut saya, pemakaian kata kardus untuk mendefinisikan penggemar sepak bola, yang mempunyai mental semacam kardus, bisa digolongkan majas metafora. Majas ini menggunakan analogi alias perumpamaan untuk dua hal yang berbeda. Sifat kardus tadi, yang mudah goyah, lecek, dan kurang kuat, disematkan ke karakter manusia yang mempunyai sifat serupa. Contoh lain penggunaan majas metafora bisa ditemukan pada contoh-contoh kalimat berikut: “Pria itu seorang buaya darat”, “Kalau malas-malasan membaca, bisa jadi otak udang, lo”, atau “Istriku dulu kembang desa”. Peristiwa bahasa sejenis adalah pemakaian frasa “bukan kaleng-kaleng”, merujuk pada sesuatu yang “bukan murahan, bukan recehan, dll”. Dalam ranah politik Indonesia, pasti kalian ingat istilah “kadrun”—singkatan dari kadal gurun—“cebong”, ataupun “kampret”. Nah, soal ini, tahu sendirilah artinya tanpa perlu penjelasan. Pemakaian diksi kadal gurun, cebong, dan kampret juga bisa dikategorikan majas metafora. Jadi, inti majas metafora adalah “manusia” diibaratkan atau diperbandingkan dengan “sifat/karakter benda”.
Agak berlawanan dengan majas metafora adalah majas personifikasi. Ini merupakan salah satu gaya bahasa yang menciptakan perumpamaan benda mati dengan sifat-sifat yang menyerupai manusia. Sesuai dengan kata “person”, personifikasi, peristiwa bahasa ini memberi kiasan benda-benda yang memiliki sifat manusia, alias ada penginsanan atau pemanusiaan. Contoh majas ini adalah “Angin, sampaikanlah rinduku kepadanya” atau “Alam mulai enggan bersahabat dengan kita”. Inti majas personifikasi adalah “benda” diibaratkan menyerupai “sifat/karakter manusia”.
Kembali ke kardus, omong-omong, Andi Arief dan Coach Justin ini kreatif juga, ya. Bisa-bisanya lo nyiptain idiom fan kardus atau jenderal kardus. Padahal—saya enggak membela si kardus—benda itu juga punya sifat positif yang digunakan manusia untuk mengepak barang atau membungkus sesuatu. Tapi, kalau sudah dicap otak kardus, yang ada di pikiran ya yang negatif-negatif, he-he-he… Tapi, jangan katain saya penulis kardus ya Coach. Pis, dah…
(S. Maduprojo, dari berbagai sumber)