24 October 2024
7 Peraih Nobel Sastra dari Asia dan Kenapa Tak Pernah Mampir ke Pram

Tagore, Kawabata, Kenzaburo, Gao Xingjian, Orhan Pamuk, Mo Yan,, dan Kazuo Ishiguro (Nobelprize.org)

Nobel Sastra alias Nobel Prize in Literature, atau Nobelpriset i Litteratur dalam bahasa Swedia,  merupakan salah satu dari enam kategori dalam Hadiah Nobel—kategori lainnya adalah Fisiologi/Kedokteran, Fisika, Kimia, Perdamaian, serta Ekonomi.

Nobel Sastra diberikan oleh Akademi Swedia untuk penulis yang dinilai mempunyai kontribusi luar biasa di bidang kesusastraan. Dalam sejarah Nobel Sastra, ada empat kasus di mana penghargaan diberikan kepada dua orang, yakni pada 1904 (F. Mistral dan Jose E. Eizaguirre), 1917 (Karl Adolh Gjellerup dan Henrik Pontoppidan), 1966 (Shmuel Yosef Agnon dan Nelly Sachs), serta 1974 (Eyvind Johnson dan Harry Martinson). Pada 1914, 1918, 1935, dan 1940-1943, Nobel Sastra ditiadakan. Adapun nama sastrawan Boris Pasternak dan Jean-Paul Sartre tetap dimasukkan dalam daftar penerima Nobel Sastra meski mereka menolaknya. Boris menolak penghargaan yang diberikan kepadanya pada 1958. Sedangkan Sartre menolaknya pada 1964. Nobel Sastra telah diberikan sebanyak 114 kali kepada 118 orang sejak 1901.

Namun, dari 118 penerima tadi, baru tujuh sastrawan dari Asia yang mendapatkannya. Mereka adalah Rabindranath Tagore, Yasunari Kawabata, Kenzaburo Oe, Gao Xingjian, Orhan Pamuk, Mo Yan, dan Kazuo Ishiguro. Yuk kita simak profil mereka…

(1) Rabindranath Tagore dikenal sebagai sastrawan, dramawan, filsuf, dan seniman India terkemuka. Lelaki kelahiran Kalkuta, 7 Mei 1861, ini dijuluki sebagai “pujangga terhebat yang dilahirkan India”. Karya-karyanya dikenal dunia luas karena syair-syairnya dinilai sensitif, segar, dan indah. Sejumlah karyanya, antara lain, Gitanjali, Gora, dan Ghare-Baire. Tagore menerima Nobel Sastra pada 1913. Tagore mulai menulis syair sejak usia 8 tahun. Setelah menyelesaikan studi di Inggris pada akhir 1870-an, ia kembali ke India dan menerbitkan beberapa buku puisi mulai 1880-an. Pada 1901, Tagore mendirikan sekolah eksperimental di Shantiniketan. Di sana, ia berusaha memadukan tradisi India dan Barat. Pola ajaran pendidikan di Shantiniketan ini bahkan diadopsi Ki Hajar Dewantara ketika mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta. Ajaran Shantiniketan juga menjadi salah satu acuan pendidikan sekolah Al-Azhar di Kairo serta Pondok Pesantren Gontor di Jawa Timur. Tagore memperkenalkan puisi-puisinya di sejumlah perguruan tinggi di Eropa, Amerika, dan Asia Timur, sekaligus menjadi juru bicara kemerdekaan India dari pemerintahan kolonial Inggris. Dia dikenal sebagai petualang yang kerap bepergian keliling dunia dan bertemu dengan tokoh-tokoh dunia seperti Aga Khan III, Shah Reza Pahlevi, Albert Einstein, Thomas Mann, dan Bernard Shaw. Tagore bahkan pernah mengunjungi Bali, Jawa, Kuala Lumpur, Penang, Malaka, Siam, dan Singapura selama empat bulan. Catatan perjalanan itu ia tuangkan dalam karyanya berjudul Jatri. Jejak Tagore ada di Solo, Jawa Tengah, yakni menjadi sebuah nama jalan di sana.

(2) Yasunari Kawabata adalah seorang novelis Jepang yang karya-karya prosa lirisnya membuat ia memenangi Nobel Sastra pada 1968. Lelaki kelahiran Osaka, 11 Juni 1899, ini telah melahirkan sejumlah karya terkenal, seperti Gadis Penari dari Izu/Izu no Odoriko (1955), Negeri Salju/Yukiguni (1935-1937, 1947), Empu Go/Meijin (1951-1954), Seribu Burung Bangau/ Senbazuru (1949-1952), Suara Gunung/Yama no Oto (1949-1954), Danau/Mizuumi (1954), Rumah Gadis-gadis Penidur/ Nemureru Bijo (1961), Ibu Kota Lama/Koto (1962), serta Kecantikan dan Kesedihan/Utsukushisa to Kanashimi to (1964). Kawabata dinilai menguasai  narasi, yang dengan sangat peka mampu mengungkapkan esensi pikiran orang Jepang. Kawabata diduga meninggal bunuh diri pada 1972 dengan cara meracuni dirinya dengan gas. Namun kematiannya itu masih menjadi spekulasi.

(3) Kenzaburo Oe lahir di Uchiko, Jepang, pada 31 Januari 1935. Pada usia 18 tahun, ia mulai belajar sastra Prancis di Universitas Tokyo. Dia memulai debutnya pada 1950-an dengan menulis cerita pendek yang dipengaruhi oleh penulis Prancis dan Amerika kontemporer. Kondisi putra Oe yang lahir dengan kerusakan otak banyak mempengaruhi novel-novelnya. Salah satunya A Personal Matter, yang terbit pada 1962. Beberapa novel Oe berhubungan dengan masa setelah Perang Dunia II serta pengeboman atom Hiroshima dan Nagasaki, termasuk Catatan Hiroshima (1965). Oe adalah seorang Pasifis yang berkomitmen dan terlibat dalam kampanye melawan senjata nuklir dan tenaga nuklir. Karena isi beberapa cerpen dan esainya, Oe menjadi kontroversi di negeri asalnya. Esai “Okinawa Notes”, yang menggambarkan bagaimana anggota militer Jepang memaksa penduduk di Pulau Okinawa untuk mengambil nyawa mereka selama invasi pada 1945, menyebabkan Oe dituntut oleh dua perwira militer. Pada 1994, ia dihadiahi Nobel Sastra.

(4) Penulis, dramawan, dan pelukis Tiongkok Gao Xingjian dibesarkan di Provinsi Jiangxi di Tiongkok timur. Selama 1980-an, lelaki kelahiran Ganzhou, 4 Januari 1940, ini menerbitkan berbagai drama, puisi, dan esai yang dianggap subversif oleh rezim pemerintah Tiongkok. Kritiknya yang tajam membuat Gao menetap di Prancis, dan menjadi warga negara di sana. Gao meninggalkan Partai Komunis di Tiongkok akibat peristiwa pembantaian Lapangan Tiananmen. Ciri khas tulisan Gao adalah perpaduan antara sastra dan drama tradisional Tiongkok dengan bentuk Barat dan modernis. Novel Soul Mountain (1999) didasari kisah-kisah selama perjalanannya di Tiongkok selatan dan barat daya, yang dilakukan Gao ketika penganiayaan oleh rezim Tiongkok meningkat. Buku ini dipengaruhi oleh kisah orang-orang yang ditemui Gao di jalanan, seperti biksu, musikus folk, dan korban Revolusi Kebudayaan. Pada 2000, Gao memenangi Nobel Sastra.

(5) Orhan Pamuk tumbuh di lingkungan keluarga sekuler yang makmur di Istanbul. Lelaki kelahiran Istanbul, 7 Juni 1952, ini mulai belajar arsitektur, tapi meninggalkan pendidikannya untuk menjadi penulis. Pamuk juga secara berkala mengajar di universitas-universitas di Amerika. Pamuk didakwa pada 2005 karena dianggap menghina kehormatan negara Turki, meski dakwaan itu kemudian dibatalkan. Pamuk memulai debutnya dengan novel Cevdet Bey and His Sons pada 1982. Pada 1990-an, lewat My Name Is Red, yang diterbitkan pada 2000, ia pun dikenal di banyak belahan dunia. Novel-novel Pamuk ditandai dengan pencarian identitas di perbatasan antara nilai-nilai Barat dan Timur, upaya untuk memahami perbedaan dan persamaan, serta sikap “benci tapi rindu” kepada tradisi modern dan tradisi lama. Pada 2006, ia pun mendapat penghargaan Nobel Sastra.

(6) Mo Yan lahir dari keluarga petani di Provinsi Shandong, Tiongkok. Setelah hanya beberapa tahun bersekolah, lelaki kelahiran Gaomi, 2 Februari 1955, ini mulai bekerja sebagai penggembala ternak pada usia 11 tahun. Beranjak remaja, Mo mendaftar menjadi tentara, di mana bakat sastranya pertama kali ditemukan. Dia menerbitkan novel pertamanya pada 1981. Novelnya, Hong gaoliang jiazu (Sorghum Merah), mendunia dan sudah diadaptasi menjadi film. Terlepas dari kritik sosial yang terkandung dalam buku-bukunya, di Cina ia dipandang sebagai salah seorang penulis terkemuka. Karya-karyanya, termasuk Hong gaoliang jiazu (Sorghum Merah), Tiantang suantai zhi ge (The Garlic Ballads), dan Shengsi pilao (Life and Death are Wearing Me Out) dikenal dengan gaya naratifnya yang memiliki ciri khas realisme-magis. Tulisan Mo sering menggunakan literatur Tiongkok kuno dan tradisi lisan populer sebagai titik awal. Dia menggabungkannya dengan isu-isu sosial kontemporer. Pada 2012, Mo dianugerahi Nobel Sastra.

(7) Kazuo Ishiguro lahir di Nagasaki, Jepang, pada 8 November 1954. Ketika dia berusia lima tahun, keluarganya pindah ke Guildford di Surrey, Inggris. Di masa mudanya, Ishiguro awalnya ingin menjadi seorang musikus. Tapi kemudian ia belajar bahasa Inggris dan filsafat di Universitas Kent serta penulisan kreatif di Universitas East Anglia, di mana ia memperoleh gelar master pada 1980. Sejak itu ia bekerja sebagai penulis. Memori, waktu, dan penipuan seumur hidup merupakan tema sentral dalam karya Ishiguro. Tumbuh dalam keluarga Jepang di Inggris Raya telah mewarnai pemikiran dan perspektifnya. Dua novel pertamanya berlatar di Jepang. Karyanya yang paling terkenal, The Remains of the Day, diterbitkan pada 1989, berkisah tentang seorang kepala pelayan Inggris dan perasaannya terhadap pembantu rumah tangga saat Perang Dunia II. Karyanya yang lain, Never Let Me Go, dinobatkan sebagai novel terbaik tahun 2005. Dalam karya-karya selanjutnya, Ishiguro lebih akrab dengan genre seperti fantasi dan fiksi ilmiah. Pada 2017, Akademi Swedia menghadiahi Ishiguro Nobel Sastra.

  Baca Juga:‘Bahasa Indonesia Naik Kelas’ dalam Lirik-lirik Lagu Tulus

Kenapa Tak Pernah Mampir ke Pram 

Sesungguhnya, sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Tour—Pramoedya Ananta Mastoer— banyak diusulkan layak menerima penghargaan Nobel Sastra. Sejumlah sumber menuturkan Pram pernah 6 kali dinominasikan mendapat Nobel. Namun Nobel tak pernah mampir ke tangan Pram. Sejumlah spekulasi mengungkap alasan kenapa Pram tidak pernah mendapatkan Nobel, salah satunya adalah karya terjemahan yang dinilai buruk, yang membuat nilai-nilai karya-karya Pram menjadi merosot. Pram adalah salah satu pengarang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Lelaki kelahiran Blora, Jawa Tengah, pada 1925 ini telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan sudah diterjemahkan dalam lebih dari 42 bahasa asing. Penulis Tetralogi Buru—Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca—ini mendapat penghargaan Ramon Magsaysay pada 1995.Penghargaan itu sempat diprotes sekitar 25 sastrawan Tanah Air. Menurut mereka, Pram dinilai tidak layak menerima penghargaan itu karena kiprahnya di Lekra, yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, pada masa demokrasi terpimpin.Pada masa pemerintahan Orde Baru, kehidupan Pram pun penuh dengan pengekangan dan pembatasan.Pram pernah bertahun-tahun diasingkan di Pulau Buru tanpa proses pengadilan dan karya-karyanya dilarang oleh Kejaksaan Agung.Pada masa-masa itu, buku-buku Pram, seperti Tetralogi Buru, Gadis Pantai, Keluarga Gerilya, atau Mereka yang Dilumpuhkan, banyak dicari mahasiswa secara diam-diam, meski itu berupa lembaran fotokopian.Namun sejumlah penghargaan seperti tak pernah surut diterima Pram. Sebut saja Freedom to Write Award (1988), Wertheim Award (1995), UNESCO Madanjeet Singh (1996), Chevalier de l’Ordre des Arts et des Letters (1999), New York Foundation for the Arts Award (2000), Fukuoka Cultural Grand Prize (2000), serta Centenario Pablo Neruda Chili dan The Norwegian Authors Union (2004). Dan, suatu saat, bisa jadi Nobel. (S. Maduprojo, diolah dari berbagai sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *