Baru-baru ini, Kemenkes merilis siaran pers mengejutkan. Bunyinya, wabah virus baru subvarian omicron BA.4 dan BA.5 siap mencapai puncaknya pada bulan Juli 2022. Subvarian virus ini konon baru masuk Indonesia pada 6 Juni 2022 lalu.
Dari konferensi pers tersebut, maka terbitlah berita tentang ini, di ada banyak media, baik cetak maupun online. Headline-nya serupa: “Menkes Prediksi Puncak Omicron BA.4 dan BA.5 Terjadi Minggu Ketiga Juli”, salah satunya ditulis Kompas, 13 Juni lalu.
Di Bulan Oktober 2021, jauh sebelum subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 ini muncul, Kemenkes juga merilis pernyataan. “Gelombang Ketiga Covid 19 adalah Keniscayaan”, bunyinya. Bayangkan, lho, dalam prediksi ini ada kata “keniscayaan”, artinya itu sesuatu yang pasti terjadi–untuk hal yang saat itu belum terjadi.
Kalau kita selusuri jauh ke belakang lagi, produksi prediksi soal pandemi juga Kemenkes munculkan sekitar Mei-Juni. Narasinya, puncak pandemi gelombang kedua akan terjadi di Juni-Juli 2021. Dan betul, kasus puncak dengan jumlah kematian terbesar ada di Juni-Juli 2021 itu. Tak kurang dari tokoh-tokoh seperti Sandiaga Uno, Epidemiolog, yang tentu diamplifikasi oleh berbagai media massa turut meramaikan narasi tersebut. Termasuk di wawancara podcast Deddy Corbuzier dan Menkes Budi Gunadi Sadikin.
Apakah prediksi semacam ini salah sehingga perlu ada artikel khusus yang membahas soal ini?
Tentu tidak. Prediksi tersebut adalah hasil kajian dengan melihat tren sebelumnya. Termasuk dikaitkan dengan kalender event di masyarakat seperti hari-hari besar yang memungkinkan adanya kerumunan massa. Kajian dan prediksi tersebut penting sebagai basis untuk menentukan strategi penanggulangannya.
Yang jadi masalah adalah ketika prediksi tersebut jadi titik hilight narasi besar komunikasi pihak berwenang. Media mengemasnya dengan paradigma bad news is good news, lalu menjelmalah kepanikan berjamaah di tengah masyarakat.
Bagi yang mempelajari neuro linguistic programming (NLP), salah satu teknik komunikasi yang sangat efektif dalam menggerakkan massa adalah teknik presuposisi. Bentuknya adalah menggiring audiens dengan asumsi bahwa sesuatu pasti terjadi di waktu dan ruang tertentu. Dengan proses psikologi seperti ini, asumsi tersebut kemudian menjadi sebuah program kuat bagi bawah sadar audiens. Pikiran bawah sadar audiens, disadari atau tidak, akan menggiring tubuh fisiknya untuk mewujudkan asumsi tersebut menjadi realitas absolut.
Sekarang bayangkan, prediksi Kemenkes menyebutkan bahwa puncak gelombang virus tertentu akan terjadi di tengah masyarakat pada bulan tertentu. Betapa ini adalah pola komunikasi yang memenuhi 100% unsur presuposisi tadi. Apa jadinya seandainya rilis massif tersebut kemudian menjadi program bawah sadar bagi puluhan bahkan ratusan juta masyarakat yang terpapar beritanya? Jelas ini mengerikan. Ini menjadi sebuah fakta bagaimana kerendahan pengetahuan komunikasi pihak berwenang kita sangat parah dan berefek bahaya. Teknik presuposisi yang sangat powerful kalau digunakan untuk membungkus pesan positif, malah tanpa sengaja dijadikan alat untuk mengemas pesan berbahaya.
Pesan saya untuk pembaca, sikapi rilis dan berita-berita secara kritis. Lakukan reframing atas prediksi dan segala ramalan di atas. Maknai prediksi ini sebagai himbauan untuk kita lebih waspada lagi. Delete kepercayaan bahwa di bulan tertentu terjadi lonjakan memuncak virus tertentu. Ganti dengan asumsi baru, bahwa bila kita waspada dan melakukan prokes, maka angka keterpaparan virus menjadi terus menurun. Indonesia pun bergerak menuju sehat.
Untuk pihak berwenang, perbaikilah cara berkomunikasi. Maknai data sebagai informasi untuk menentukan langkah strategik ke depan. Fokus pada strategi penanggulangan, bukan pada amplifikasi data mentah menjadi sesuatu yang menakutkan. Menganalisis data lalu memproduksi prediksi negatif secara massal, malah menjadi cara efektif dalam menjerumuskan Indonesia semakin dalam memasuki kubangan penyakit.
Semoga, Indonesia menjadi jauh lebih baik. (Asep Herna)
Saya setuju. Kalau toh Pemerintah merasa perlu menyampaikan prediksi ini dengan alasan agar masyarakat waspada, maka pesannya harus dilengkapi dengan “NLP” bahwa prediksi ini akan sama-sama kita gugurkan dengan disiplin prokes, hidup sehat, dsb.
Di luar itu, kadang masalahnya muncul karena ulah media massa juga yang gemar bikin judul bombastis dan menyesatkan demi clickbait semata. Kegalauan ini memang klise, tapi karena masih terus terjadi, yang klise pun terpaksa saya sampaikan juga.
Betul sekali. Di sini penting sekali ahli bahasa dan komunikasi hadir di setiap departemen pemerintah.