“Setiap detik yang kita jalani adalah momen baru dan unik di alam semesta; yang tidak akan pernah terulang...

Apa yang kita ajarkan kepada anak-anak kita? Dua tambah dua sama dengan empat; dan bahwa Paris adalah ibu kota Prancis. Kapan kita juga mengajari mereka ‘siapa kamu’? Kita mesti mengatakan kepada mereka: Tahukah kamu, siapa dirimu? Kamu sungguh menakjubkan. Kamu begitu unik. Bertahun-tahun berlalu, tidak pernah ada anak lain seperti kamu. Kakimu, lenganmu, jari-jari pintarmu, caramu bergerak. Kamu mungkin akan menjadi seorang Shakespeare, Michelangelo, Beethoven. Kamu punya kapasitas untuk menjadi apa pun. Ya, kamu sungguh luar biasa. Dan ketika kamu tumbuh dewasa, bisakah kamu menyakiti orang lain yang, seperti kamu, adalah sebuah keajaiban? Kamu harus bekerja, kita semua harus bekerja, untuk menjadikan dunia layak bagi anak-anaknya.”

Kutipan di atas dibuat oleh musisi, pejuang hak asasi manusia, dan komposer terkemuka Pablo Casals pada tahun-tahun terakhir hidupnya yang panjang, yang melintasi perang dunia, pembunuhan, serta berbagai teror. Casals lahir pada 29 Desember 1876 di El Vendrell, Catalonia, dan meninggal pada 22 Oktober 1973 di Puerto Rico. Ia mengenal musik lewat ayahnya. Pada usia 4 tahun, Casals sudah belajar biola, piano, dan seruling. Ia masuk sekolah musik di Barcelona untuk mendalami cello. Casals dinobatkan sebagai “musisi terhebat yang pernah menggambar busur” oleh Fritz Kreisler—salah satu master biola paling terkenal pada zamannya dan dianggap sebagai salah satu pemain biola terhebat sepanjang masa.

Casals mendesak umat manusia “menjadikan dunia ini layak bagi anak-anaknya”. Casals mengajak kita berpikir tentang nilai anak-anak, apa artinya membesarkan mereka, dan apa tanggung jawab kita terhadapnya. Intinya, Casals mengajak kita merenung tentang mimpi-mimpi kita tentang anak-anak kita; bertindak kepada anak kita seperti yang kita inginkan; bukan apa yang anak-anak inginkan.
Seabad yang lalu, saat berada di antara dua dunia dan dua Perang Dunia, penyair, pelukis, dan filsuf Lebanon-Amerika Kahlil Gibran (6 Januari 1883-10 April 1931) menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar itu dalam sebuah kutipan singkat dari The Prophet (1923). Dalam kutipan berjudul “On Children” itu, digambarkan seorang ibu muda dengan bayinya yang baru lahir meminta nasihat mengenai anak-anak dan mengasuh anak. Gibran pun menjawab—berdasarkan terjemahan The Prophet oleh Sapardi Djoko Damono (Almustafa; 2017) halaman 18-19:

“…Dan, perempuan yang memeluk bayi di dadanya berkata, bicaralah tentang anak-anak.

Dan, katanya:
Anakmu bukanlah anakmu.
Mereka adalah putra-putri kerinduan kehidupan terhadap dirinya sendiri.
Mereka terlahir lewat dirimu, tetapi tidak berasal dari dirimu.
Dan, meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu.

Kau boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu.
Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri.
Kau bisa memelihara tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka.
Sebab, jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang takkan bisa kau datangi, bahkan dalam mimpimu.
Kau boleh berusaha menjadi seperti mereka, tetapi jangan menjadikan mereka seperti kamu.
Sebab, kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin.

Kau adalah busur yang meluncurkan anak-anakmu sebagai panah hidup.
Pemanah mengetahui sasaran di jalan yang tidak terhingga, dan Ia melengkungkanmu sekuat tenaga-Nya agar anak panah melesat cepat dan jauh.
Biarlah tubuhmu yang melengkung di tangannya merupakan kegembiraan.
Sebab, seperti cinta-Nya terhadap anak panah yang melesat, Ia pun mencintai busur yang kuat.”

(S. Maduprojo; 19 April 2004—cahya semesta saat menunggumu)

By redaksi

Catatankaki merupakan situs online yang dengan renyah mengulas segala hal terkait kata, budaya, filsafat, komunikasi, dan isu-isu humaniora populer lainnya. Dengan mengusung tagline "Narasi Penuh Nutrisi", Catatankaki mengemas semuanya secara ringan tapi mendalam; lugas tapi bernas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *