Apa pun vonis yang dijatuhkan kepada Daniel itu, baik vonis penjara maupun vonis bebas, kami merasa tak ada yang lebih layak untuk diberitakan minggu ini selain kepastian atas “kasus” yang menimpanya. Mungkin perhatian orang sekarang lebih banyak tertuju pada H minus sekian Lebaran, atau berita sengketa pemilihan umum yang ujungnya sebuah perebutan kekuasaan. Sementara itu, jauh di ujung sebuah kepulauan di tengah Laut Jawa, Karimunjawa, Daniel seperti sedang sendirian menunggu datangnya keadilan, meski sejumlah pengacara, lembaga pegiat HAM ataupun lingkungan, serta kerabat, rekan, dan para sahabat ada di belakangnya.
TERPINCUT JEPARA
Saya tak mengenal Daniel. Saya tahu permasalahan Daniel hingga ia berurusan dengan pengadilan dari tulisan yang sedang saya edit di sebuah media tempat saya bekerja. Pertautan saya dengan Daniel hanyalah ketika saya membaca naskah itu menyebutkan Daniel alumnus Sastra Belanda Fakultas Sastra Universitas Indonesia—sekarang Fakultas Ilmu Budaya UI. “Eh, Daniel satu angkatan dengan kamu, tuh. Anak angkatan 91,” ujar seorang rekan kerja.
Penasaran, saya coba cari informasi sosok Daniel di Google. Ada, dan lumayan banyak informasinya. Saya menemukan fotonya saat masih berkuliah di Sastra UI. Ah, ini mah saya kenal mukanya…. Tampilannya sekarang memang membuat saya pangling. Rambut gondrong, berkumis dan berkacamata—selain tentu saja usia kami yang menua—membuat saya seperti tak mengenali foto Daniel yang muncul di media saya.
Daniel meneruskan studinya di Belanda setelah tamat dari Sastra UI. Ia mengambil program magister budaya. Daniel sudah mengunjungi Karimunjawa sekitar tahun 2006, ketika dia menjadi guru bahasa Belanda di sebuah sekolah di Jepara, Jawa Tengah. Sejak adanya bencana tanah longsor dan banjir bandang di Desa Tempur, memang banyak aktivis dan pegiat lingkungan yang mendatangi Jepara. Sejumlah kajian menyimpulkan bahwa salah satu faktor yang akhir-akhir ini mengakibatkan bencana tanah longsor dan banjir bandang adalah alih fungsi hutan. Itulah salah satu yang diingatkan dan diperjuangkan para aktivis tersebut.
DARI MENGAJAR HINGGA SANGGAR SENI
Desa Tempur berada di Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara. Desa ini juga dikenal dengan sebutan “Desa Tersembunyi” karena dikelilingi gunung di sisi timur, selatan, utara, dan barat. Karena begitu “tersembunyi”, desa ini menawarkan panorama alam yang perawan. Selain pemandangan yang menawan, desa ini tersohor karena produksi kopinya, yang sudah merambah ke luar negeri, serta sejumlah perkebunan hortikultura. Keelokan tanah di ujung utara tengah Pulau Jawa inilah, salah satunya, yang menggoda Daniel.
BACA JUGA: Qalbu vs Kalbu, Antara Hati dan Anjing
Sejak 2011, Daniel terlibat dalam ritual budaya Barikan di Kecamatan Karimunjawa. Pada 2017, ia pun memutuskan menjadi penduduk Karimunjawa. Daniel juga ikut merintis Barikan Qubro yang sekarang menjadi salah satu event besar di Karimunjawa. Ia juga aktif di komunitas Purnama Merindu, yang menyatukan beberapa sanggar seni yang ada di Karimunjawa untuk latihan bersama. Salah satu kegiatannya adalah menggelar pameran tentang sejarah RA Kartini. Daniel juga memiliki banyak murid di beberapa desa di Karimunjawa yang belajar gratis bahasa Inggris. Banyak warga, terutama pemuda, yang tertarik belajar bahasa Inggris untuk menjadi pemandu di sejumlah desa wisata di pulau ini. Di mata anak-anak muda di sana, Daniel dikenal sebagai salah satu mentor pengembangan ekowisata di Karimunjawa. Daniel pun ikut mendirikan Yayasan Kejora, yang bertujuan mendidik anak-anak Karimunjawa.
Pada 2018, bersama sejumlah pelaku wisata dan budayawan, dia mengorganisasi pembuatan film untuk mengumpulkan sejarah lisan Karimunjawa berjudul “Ekspedisi 200 Tahun Karimunjawa” dengan memakai biaya pribadi.
Kepeduliannya yang besar pada lingkungan di sana membuat ia bergabung dalam organisasi Kawali dan Lingkar Juang Karimunjawa. Lembaga ini berfokus memperjuangkan kelestarian alam Karimunjawa. Ia juga sedang menerjemahkan buku Het Hoge Huis aan de Javazee: de geschiedenis van een zeeroverseiland (Rumah Tinggi di Laut Jawa: Sejarah sebuah Pulau Bajak Laut) karya Joop van den Berg yang diterbitkan BZZToH pada 1992. Dalam buku itu disebutkan bahwa Karimunjawa pada tahun 1810 bernama Crimon Jawa, yang saat itu dikenal sebagai “Pulau Bajak Laut”.
GARA-GARA UNGGAHAN “OTAK UDANG”
Singkat cerita, hingga akhirnya tersiar kabar Daniel Frits Maurist Tangkilisan diadukan ke pengadilan gegara kritik pedas yang disampaikannya di media sosial. Berawal saat perekonomian masyarakat Karimunjawa terperosok akibat pandemi Covid-19, dia bersama teman-teman pelaku wisata berjuang agar pariwisata kembali dibuka. Bersamaan dengan itu, tambak udang ilegal mulai merajalela, hingga pada 2022 Daniel bersama sejumlah anggota masyarakat yang menolak tambak udang ilegal membentuk gerakan #SAVEKARIMUNJAWA.
Di sinilah kasus Daniel bermula: sebuah unggahannya soal video Pantai Cemara dengan tagar #SAVEKARIMUNJAWA. Salah satu unggahan Daniel itu berbunyi: “Masyarakat otak udang menikmati makan gratis sambil dimakan petambak. Intinya sih masyarakat otak udang itu kayak ternak udang itu sendiri. Dipakani enak, banyak dan teratur, untuk dipangan.” Daniel membuat balasan komentar itu karena kegelisahannya melihat Pantai Cemara yang tercemar, yang diduga berasal dari limbah ternak udang.
Komentar Daniel itulah yang kemudian dilaporkan seorang warga setempat ke Polres Jepara menggunakan pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara. Daniel pun ditahan Kejaksaan Negeri Jepara sejak 23 Januari lalu.
JALAN SUNYI DANIEL
Hingga tulisan ini dibuat, belum ada kabar vonis apa yang dijatuhkan hakim kepada Daniel dan tiga warga penolak tambak udang ilegal lainnya yang juga dilaporkan bersama Daniel. Tapi, apa pun vonis itu, semuanya seperti tak sebanding dengan apa yang telah dilakukan Daniel dan rekan-rekannya untuk Karimunjawa. Apalagi, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata.
“Cinta gila” Daniel kepada Karimunjawa juga seperti bertepuk sebelah tangan. Seperti pleidoi yang dibuat Daniel pada Selasa, 26 Maret lalu, berjudul “Air Susu Dibalas Air Tuba”. Di hadapan majelis hakim, Daniel yang diwakili kuasa hukumnya mengutip pepatah Jawa sepi ing pamrih, rame ing gawe, yang artinya lebih-kurang membantu dengan tulus ikhlas tanpa mengharapkan imbalan atau pamrih. Gila, memang…
(S. Maduprojo, diolah dari berbagai sumber)