14 October 2024
Istilah-istilah di Tahun Politik yang Bikin Gemoy

Ilustrasi animasi gemoy di Facebook.

Sungguh menarik mencermati apa yang terjadi dalam dua kali pemilihan presiden (pilpres) terakhir, dan yang terbaru pilpres pada 14 Februari mendatang.

Masyarakat tentu saja lebih terfokus pada peta persaingan antar-kandidat presiden ataupun wakil presiden. Masing-masing pasangan calon mencoba menawarkan janji-janji kampanye yang terbaik seandainya mereka terpilih, seperti program-program pemerintahan nanti.

Terlepas dari mana pilihan yang terbaik dan seperti apa presiden terpilih merealisasi janji-janjinya, saya lebih tertarik mengulas sisi lain dari pesta demokrasi itu: munculnya istilah-istilah yang unik, khas, mencolok, yang tiba-tiba hadir karena situasi tertentu. Kata atau frasa ini bisa berupa ungkapan metafora, yang muncul di sela retorika politik, celetukan salah satu kandidat, atau kegiatan yang melekat pada sosok/tokoh tertentu, sebagai fenomena dalam sosio-linguistik. Bisa juga dari jargon atau slogan pasangan calon. Yuk, coba kita ingat-ingat apa saja istilah-istilah tersebut.

1. Blusukan

Sebuah artikel yang dimuat oleh situs web Kementarian Sekretariat Negara mengungkap cerita di balik arti “blusukan”. Istilah ini memang “identik” dengan gaya kepemimpinan Presiden Joko Widodo alias Jokowi dan menjadi senjata andalan selama ia menjalani masa-masa kampanye.

Dalam artikel itu, dilaporkan saat Jokowi berbagi pengalaman ketika pertama kali memulai kariernya di bidang politik belasan tahun yang lalu sebagai Wali Kota Solo. Jokowi menceritakan apa yang ia lakukan selama menjabat wali kota tersebut. “Saya hanya blusukan, blusukan, dan blusukan. Hanya dengan blusukan dan berbicara langsung dengan masyarakat, saya bisa menemukan hal-hal yang menarik,” cerita Jokowi. Melalui blusukan tersebut, Jokowi menceritakan bahwa salah satu masalah besar di Kota Solo ialah banyaknya pedagang ilegal yang tidak teratur di alun-alun kota sehingga menyebabkan kemacetan dan tumpukan sampah di mana-mana.  “Banyak wali kota sebelumnya yang sudah mencoba mengatasi masalah ini. Namun, setiap kali mereka mencobanya, muncul kerusuhan dan demonstrasi. Kemudian semuanya mengatakan kepada saya bahwa masalah tersebut sudah tidak bisa dibenahi lagi,” tandasnya. “Pada akhirnya saya berkumpul dengan mereka sebanyak 54 kali. Saya juga undang mereka untuk sarapan, makan siang, dan makan malam sekitar 20 kali,” tuturnya.

Ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, istilah blusukan kemudian menjadi begitu populer. “It means management by walking around,” begitu Jokowi menjelaskan istilah ini kepada sejumlah pejabat luar negeri.

Kata “blusukan” berasal dari bahasa Jawa “blusuk”, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai “masuk ke suatu tempat dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu”. 

Di era Jokowi, makna blusukan meluas dan lebih mengacu pada “datang langsung, temui langsung, cari tahu sendiri”. Masih ingat ketika Jokowi tiba-tiba turun ke gorong-gorong untuk mengecek drainase di jalanan Ibu Kota? Atau sidaknya di Lampung untuk mengecek sendiri jalanan di sana yang disebut seperti kubangan sawah?

Jauh sebelum blusukan dipopulerkan oleh Jokowi, para pemimpin RI sebelumnya diyakini pernah melakukan “blusukan” ini, meski dengan pendekatan dan gaya yang berbeda. Blusukan ala Sukarno disebut-sebut lebih spontan, seperti tiba-tiba berhenti di sela-sela perjalanan untuk sekadar kencing atau mampir menyamar ke pasar lalu, ya, dikerubuti rakyatnya untuk bercengkerama. Atau mengumpulkan ribuan orang di sebuah lapangan untuk mendengarkan pidato-pidatonya yang menggelegar dan membahana. Soeharto lain lagi. Disebut lebih formal dan protokoler, pemimpin Orde Baru ini juga melekat dengan gaya kepemimpinannya yang kerap bertemu dengan penduduk-penduduk desa lewat program kelompencapir yang diusungnya. Blusukan gaya Soeharto lebih sering dilakukan dengan program temu wicara, dan terkesan lebih “serius”.

Ratusan tahun lalu, kegiatan blusukan diyakini sudah menjadi bagian dari kebiasaan raja-raja di Jawa, yakni menelusuri hutan atawa alas untuk berburu. Di masa lampau, tradisi berburu dan menyambangi kawasan hijau ini menjadi bagian dari olahraga dan hiburan bagi keluarga aristokrat. Dalam kitab Nagarakertagama gubahan Empu Prapanca yang disusun pada 1365, misalnya, termaktub kisah Hayam Wuruk yang beberapa kali melakoni perburuan ke alas.

2. Cebong-Kampret-Kadrun-BuzzeRp

Siapa tak kenal istilah-istilah ini? Kata “cebong”, “kampret”, dan “kadrun” begitu populer pada perhelatan pilpres 2014 dan 2019. Saat itulah dua kubu berseberangan; antara pendukung Jokowi dan Prabowo Subianto.

Drone Emprit—pelacak percakapan netizen di dunia maya—pernah menelusuri kapan pertama kali istilah cebong ini muncul. Tak seperti anggapan banyak orang, yang selama ini mengira istilah ini muncul setelah pemberitaan Presiden Jokowi melepas kodok di kolam Istana Bogor pada 3 Januari 2016, kata cebong yang berasosiasi dengan pendukung Jokowi ternyata sudah muncul jauh sebelumnya. Drone Emprit mengungkap kata cebong untuk pendukung Jokowi sudah bertebaran di dunia maya pada Mei-Agustus 2015. Julukan cebong pun semakin melekat kepada para pendukung Jokowi setelah pelepasan anak-anak kodok di Bogor itu. Padahal, seperti diungkapkan Kaesang Pangarep—anak bungsu Jokowi—dalam acara Mata Najwa pada 2016, Jokowi memang sudah lama punya hobi memelihara kecebong, untuk nanti dipelihara menjadi kodok. Kebiasaan itu bahkan sudah dilakukan Jokowi sejak menjabat Wali Kota Solo, menjadi Gubernur DKI, meski berkurang ketika ia menjadi presiden.

Adapun istilah kampret, Drone Emprit menemukan penggunaannya untuk menyebut para pendukung Prabowo sejak Oktober 2015. Ini merupakan bentuk balasan panggilan cebong yang ditujukan kepada para pendukung Jokowi. Kalau “cebong” hidup di air, kebalikannya “kampret” hidup di pepohonan secara terbalik. Istilah kampret baru populer digunakan pada pertengahan 2018. Drone Emprit juga menyatakan bahwa istilah kampret dipakai untuk menyebut para pendukung musik K-Pop atau pop Korea.

Rujukan lain justru mengungkap istilah kampret sebagai kependekan dari barisan pendukung Prabowo, yakni Koalisi Merah Putih (KMP), yang terdiri atas partai-partai pendukung Prabowo-Hatta Rajasa dalam pilpres 2014. Di sana ada Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB, dan Partai Golkar. Pada pilpres 2019, pelesetan KMP, yakni “KaMPret”, tetap digunakan para pro-Jokowi untuk mengatai para pro-Prabowo.

Sementara itu, kata kadrun mulai populer setelah pilpres 2019. Menurut Drone Emprit, sebutan ini ditujukan untuk para pendukung Prabowo, yang bergeser dari semula kampret, mulai awal 2018, dan menjadi populer setelah akun influencer atau pemengaruh Denny Siregar menyebut istilah “kadal gurun”—disingkat kadrun—pada sekitar Agustus 2019.  

Lalu, masih erat dengan pilpres, muncul istilah buzzeRp atau buzzer. Awalnya, istilah ini diduga dimunculkan Dhandhy Dwi Laksono, sutradara film Sexy Killers—film dokumenter yang dirilis menjelang pilpres 2019. Film ini berisi dampak dari kebijakan energi, khususnya batu bara, terhadap lingkungan dan kesehatan sejak ia ditambang, didistribusikan, hingga dibakar sebagai sumber energi PLTU. Istilah ini awalnya ditujukan untuk menyebut serangan para “buzzer” terhadap film tersebut. Istilah ini mengacu kepada individu atau sekelompok orang (pendengung) yang bertugas menyuarakan isu atau gerakan tertentu di media sosial secara terus-menerus agar mendapat perhatian banyak orang.

Buzzer berasal dari kata buzz dalam bahasa Inggris yang berarti “serangga berdengung”. Istilah ini digunakan pada 1870-an di Inggris sebagai arti peluit bertenaga uap yang digunakan untuk memanggil atau memberhentikan para pekerja pabrik.

3. Cawe-cawe

Ada sejumlah arti kata “cawe-cawe” yang terdapat dalam beberapa kamus bahasa Jawa, seperti dalam Bausastra Jawa (2011). Makna pertama adalah “ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan); ikut menangani”. Sedangkan makna kedua adalah “ikut-ikutan bicara atau mengerjakan sesuatu yang sedang dilakukan orang lain”.

Bila dicermati, dalam keseharian, terdapat dua konotasi penggunaan kata ini. Bermakna positif ketika ia digunakan, misalnya, untuk mengajak orang bergotong royong. “Yuk, melu cawe-cawe menghias gapura.”—“Yuk, ikut berpartisipasi menghias gapura.” Lalu, bermakna negatif bila ia ada dalam kalimat seperti ini: “Wis, kowe ora usah cawe-cawe, urusi wae urusanmu!”—“Sudah, kamu enggak usah ikut-ikut, urusin saja urusanmu!”

Kata ini “menasional” ketika Presiden Joko Widodo berkomentar “akan ikut cawe-cawe dalam pemilihan presiden 2024”, saat ia menggelar pertemuan dengan sejumlah pemimpin media massa pada Mei 2023.

Pernyataan Jokowi itu tentu saja memunculkan pro dan kontra. Namun beberapa saat kemudian, Jokowi menegaskan bahwa cawe-cawe yang ia maksudkan adalah kewajiban moral sebagai presiden dalam masa transisi kepemimpinan nasional 2024. Ia ingin menciptakan transisi kepemimpinan tanpa adanya hambatan yang berarti.

4. Gemoy-Santuy

Masih menjelang pilpres 2024, muncul istilah “gemoy”, yang mengacu ke pasangan calon presiden dan wakil presiden 2024 Prabowo-Gibran Rakabuming Raka. “Ulah” Prabowo yang kerap berjoget dalam beberapa kesempatan, dan dianggap lucu/menggemaskan, membuat barisan pendukungnya mengusung tagline “gemoy” untuk pasangan ini. Diduga, istilah gemoy yang disematkan kepada Prabowo bermula kala ia menghadiri sebuah acara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mendeklarasikan dukungan mereka kepada bekas menantu Soeharto itu dalam pilpres mendatang. Tiba-tiba ia diteriaki sejumlah kader PSI dengan ungkapan “Gemoy…gemoy…!” Prabowo pun berujar, “Apa? Gemoy? Apa itu gemoy?”

Gemoy merupakan kata slank, cakapan, pelesetan, atau bahasa gaul dari gemas/gemes, yang maknanya (1) sangat jengkel (marah) dalam hati; (2) sangat suka (cinta) bercampur jengkel; jengkel-jengkel (cinta). Sama seperti “santuy”, yang juga belakangan melekat sebagai salah satu tagline PSI, merupakan istilah slank dari “santai” atau “rileks”. Istilah-istilah seperti itu kerap muncul di percakapan-percakapan Gen-Z di media sosial.

Kedua istilah tersebut mengingatkan kita akan kata-kata gaul di kalangan anak muda dari lintas zaman, yang muncul dengan sejumlah alasan, seperti ingin tampil beda atau bosan dengan kata-kata yang itu-itu saja. Sebut saja kata kece (keren sekali), lebay (berlebihan), asoi-geboi (goyang meliuk-liuk), bete (bad mood terus), bokek (bocah kere?), kepo (knowing every particular object), caper (cari perhatian), jaim (jaga image), mager (malas gerak), baper (bawa perasaan), ataupun kuy (ayo, mari).

5. Wakanda No More, Indonesia Forever

Ungkapan ini tiba-tiba membuat banyak orang yang hadir dalam acara debat calon presiden pada Selasa, 12 Desember lalu, terhenyak. Banyak yang memuji apa yang dilakukan Anies Baswedan, dengan mengatakan sebagai jargon penutup yang cerdas. Tapi banyak juga yang berpendapat hal itu biasa-biasa saja. Walhasil, belakangan Anies pun kerap memakai kaus bertulisan ungkapan itu ketika hadir di sejumlah lokasi kampanye.

Ungkapan Wakanda atau Konoha dituturkan Anies saat membahas dan mengkritik kebebasan berpendapat di negara ini. Wakanda—dari film Black Panther: Wakanda Forever—kerap dipakai warganet untuk menggambarkan keanehan atau keganjilan di negeri Wakanda (baca Indonesia). Mereka menyebut Wakanda untuk tidak mengatakan langsung sebuah peristiwa tidak mengenakkan (aneh) yang sedang atau kerap terjadi di Indonesia. Begitu juga Konoha—desa tempat tinggal tokoh Naruto dalam anime Naruto.

BACA JUGA: Antara Politik Riang-Gembira dan Gerd

Ketika mengusung Wakanda No More, Indonesia Forever, mungkin Anies ingin mengatakan bahwa praktik-praktik tak elok, yang anomali, atau kejadian-kejadian yang janggal dalam bidang hukum, kehidupan berpolitik, dan bermasyarakat di Indonesia saat ini tak akan terjadi lagi ketika ia terpilih menjadi presiden kelak. Hal-hal itu cukup terjadi di negeri Wakanda. Walaupun, dalam film Black Panther, Kerajaan Wakanda digambarkan sebagai tempat yang di dalamnya kebudayaan dan teknologi maju berpadu.

6. Ndasmu Etik

Ungkapan ini diucapkan calon presiden 2024 dari Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Subianto, dalam Rapat Koordinasi Nasional Partai Gerindra di JIExpo Kemayoran, Jakarta, pada Jumat, 15 Desember lalu. Melalui media sosial X—dulu Twitter—potongan video calon presiden nomor urut 2 itu tersebar luas dan menjadi sorotan. Lalu, apa salahnya Prabowo mengatakan “ndasmu etik”—ndas, bahasa Jawa, artinya kepala?

Bahasa Jawa mengenal setidaknya tiga tingkatan yang terbagi dalam ragam ngoko, madya, dan krama—undhak-usuk. Ragam ngoko mencerminkan makna tidak berjarak atau berjarak antara penutur dan mitra tuturnya. Sedangkan ragam krama mencerminkan makna penghormatan antara penutur dan mitra tutur. Ragam ngoko terbagi lagi menjadi ngoko alus dan kasar berupa basa antya, antya basa, dan ngoko lugu. Lalu madya terdiri atas madya krama madyantara dan ngoko. Sedangkan ragam krama terbagi menjadi krama alus dan krama lugu berupa muda krama, kramantara, dan wreda krama. Setiap tingkatan memiliki fungsi yang berbeda berdasarkan situasi dan kondisi yang berlangsung di masyarakat.

Cukup kompleksnya tingkat tutur dalam bahasa Jawa ini menjadikan setiap perkataan atau ungkapan, terutama pemilihan kata/diksi, oleh penuturnya mesti dilihat dalam konteksnya. Kepada orang yang lebih tua, misalnya, pembicaraan semestinya menggunakan bahasa krama alus dengan tujuan untuk menghormatinya. Begitu sebaliknya. Inilah yang membuat pemakaian sejumlah kata dalam bahasa Jawa tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang. Pemakaian kata “asu” (anjing), contohnya. Bila kata ini diucapkan di kalangan anak muda yang saling kenal dekat dan dalam konteks candaan, kata “asu” bukan bermakna sebagai umpatan atau bahasa yang kasar. Namun, dalam kondisi lain, yang terdapat kekesalan atau kemarahan, kata ini jelas bermakna umpatan yang kasar dan menjengkelkan.

Ndas, dalam bahasa Jawa, digunakan untuk menyebut “kepala” di tingkatan terendah. Di atasnya ada “sirah”, dan di atasnya lagi ada “mustika”. Kata ndas biasa mengacu pada kepala binatang, seperti ndas kambing atau ndas ayam. Sedangkan kata “sirah” mengacu pada kepala manusia. Adapun “mustika” biasa digunakan untuk menyebut kepala bermahkota, misalnya raja atau bupati.   

Maka, ungkapan “ndasmu etik”, yang diduga diucapkan Prabowo sebagai bentuk kekesalan karena tema debat sebelumnya saat Anies menanyai sikapnya dalam persoalan orang dalam (ordal) di Mahkamah Konstitusi, bisa ditafsirkan beragam. Ada yang berpendapat ungkapan itu terlalu “kasar” dan “tidak elok”, ada pula yang berujar hal itu hanyalah candaan di lingkup internal partai, sebagai seloroh humor menanggapi apa yang disampaikan Anies kepada Prabowo.

Ada Apa Lagi Nanti?

Fenomena di tahun-tahun politik seperti sekarang ini memang sungguh bikin “gemes”, selain mungkin menyebalkan dalam sejumlah hal. Berita di media massa, grup percakapan di sejumlah aplikasi, ataupun obrolan di warung kopi didominasi seputar pencopras-capresan dan calon-calon legislator yang mulai berkeliaran di kampung-kampung. Tak peduli mereka dikenal warga sekitar atau tidak. Karena itu, sebagai salah satu salam perkenalan—ini juga salah satu yang menjengkelkan—tak aneh bila di tahun-tahun politik seperti saat ini selebaran atau baliho para caleg menjamur dan bikin kotor pemandangan saja…

Lalu, masih berlangsungnya jilid debat capres dan cawapres berikutnya, layak ditunggu ungkapan-ungkapan apa lagi yang akan muncul di sela-sela acara debat ataupun masa kampanye ini. Nah, sungguh menggemoykan, kan…

(S. Maduprojo, diolah dari berbagai sumber)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *