Foto: Idwriters.com

Membicarakan sejarah sastra Indonesia, salah satunya, adalah memperbincangkan “kekuasaan” Hans Bague Jassin alias H.B. Jassin (31 Juli 1917-11 Maret 2000).

Namanya tertancap dalam perjalanan panjang sejarah kesusastraan Indonesia. Tulisan-tulisannya digunakan sebagai sumber referensi bagi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kalangan sekolah dan perguruan tinggi, terutama dalam sejarah ataupun kritik sastra. Hingga kini monumen peninggalannya masih terpelihara dengan baik di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM): Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin atau biasa disebut PDS H.B. Jassin. Di sanalah pusat koleksi karya sastra—sebagian besar sastra Indonesia—yang berbentuk naskah, buku, audio visual, ataupun korespondensi sastrawan. Sebagian dokumentasi itu merupakan peninggalan autentik para sastrawan, seperti coretan-coretan tangan, naskah-naskah sastra/budaya di koran atau majalah saat itu, ataupun foto-foto sastrawan dalam sebuah acara.

Jassin pernah bekerja di Kantor Asisten Residen Gorontalo pada 1939. Ia memulai karirnya di Jakarta pada akhir Januari 1940 dengan bekerja di Balai Pustaka, sebagai redaktur majalah Balai Pustaka (1940-1942). Dia juga menjadi redaktur majalah Pudjangga Baroe (1940-1942), Pandji Poestaka (1942-1945), Pantja Raja (1945-1947), Mimbar Indonesia (1947-1956), Zenith (1951-1954), Bahasa dan Budaja (1952-1963), Kisah (1953-1956), Seni (1955), Sastra (1961-1964 dan 1967-1969), Medan Ilmu Pengetahuan, Buku Kita, serta Horison (1975-1980-an).

Di sela-sela kesibukannya bekerja sebagai redaktur di sejumlah majalah, Jassin menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) pada 1953-1959, dosen luar biasa di FSUI sejak 1961, dan lektor tetap di FSUI sejak 1973 hingga pensiun. Dia juga menjadi pegawai di Lembaga Bahasa Nasional—sekarang Pusat Bahasa—Departemen Pendidikan Nasional pada 1954-1973.

Banyak sahabat Jassin yang mengenalnya sebagai sosok yang tegas, berani, dan cenderung kaku. Tapi, di sisi lain, dia juga bisa bersikap manis, atau malah mencoba humoris. Sekitar 1990-an, penulis berkesempatan bertemu dengan Jassin di rumahnya, di kawasan Rawamangun kalau tidak salah, bersama sejumlah rekan saat itu, di antaranya Asep Herna. Saat itu, tanpa perjanjian sebelumnya, kami sebagai anggota redaksi Gaung, majalah Ikatan Keluarga Sastra Indonesia UI, dengan pede-nya mendatangi rumah Jassin dengan maksud melakukan sebuah wawancara. Gaung akan menjadikan wawancara dengan Jassin sebagai salah satu berita utama. Sebagai mahasiswa baru, kami tak membayangkan bahwa yang kami datangi adalah salah seorang tokoh sastra/budaya terkemuka. Kami pun polos-polos saja bertamu dan “menembak” langsung Jassin untuk sebuah wawancara—saat itu kondisi kesehatan Jassin seperti kurang bagus. Ketika anak perempuan beliau bertanya kami dari mana, dan bermaksud apa, tak lama kemudian Jassin muncul di ruang tamu. Setelah menbaca-baca dan melihat-lihat contoh majalah Gaung yang kami bawa, wawancara dengan Jassin pun berlanjut. Sembari disuguhi teh manis, wawancara pun berlangsung di tengah keterbatasan fisik beliau. Sedangkan kami saat itu bak seorang jurnalis yang banyak bertanya tentang sejumlah hal. Tidak banyak yang kami ingat untuk momen “bersejarah” sekitar lebih dari 30 tahun yang lalu itu. Yang kami ingat, betapa H.B. Jassin adalah sosok yang luar biasa, masih berapi-api di usianya yang renta ketika menceritakan seorang Chairil Anwar, misalnya. Atau bahasa tubuhnya yang masih bersemangat ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan kami di tengah keterbatasan fisiknya saat itu. Satu hal yang kami kenang saat itu hingga kini adalah, bisa saja dia mengusir kami saat itu yang telah begitu “kurang ajar” melakukan wawancara tanpa perjanjian atau bertelepon sebelumnya. Alih-alih marah kepada para yuniornya yang berjarak teramat jauh itu, dia menerima kami dengan baik. Meski kaset rekaman kami saat itu tiba-tiba rusak sesaat setelah kami pulang ke kos-kosan, transkrip wawancara dengan Jassin menjadi berita utama dan menghiasi sampul majalah saat itu; tentu dengan bahan wawancara yang coba kami ingat-ingat karena kaset rekaman rusak.

Kini, mungkin banyak orang yang mulai melupakan hari lahir Jassin pada 31 Juli ini, yang dulu-dulu hari ulang tahunnya selalu dimeriahkan oleh para sahabatnya, para seniman, budayawan, sastrawan, dan mantan-mantan muridnya. Orang atau generasi sekarang boleh saja melupakan hari kelahirannya, tapi nama Jassin tetap akan dikenang sebagai salah satu penjaga sastra Indonesia.

Berikut ini sejumlah fakta dan kontroversi H.B. Jassin yang bisa kami rangkum.

– Majalah sastra terkemuka yang diasuh H.B. Jassin, Majalah Sastra, Th. VI. No. 8, Edisi Agustus 1968, mempublikasikan cerpen kontroversial berjudul “Langit Makin Mendung”, karya sesesorang yang menyebut dirinya Ki Panji Kusmin. Saat itu kontroversi pun meledak hebat. Umat Islam merasa tersinggung lantaran cerpen tersebut dianggap menghina Islam. “Langit Makin Mendung” dinilai bermasalah serius karena memuat hal-hal yang berbau peyorasi (penghinaan) terhadap simbol agama Islam, misalnya posisi keberadaan Allah dan posisi malaikat Jibril. Di cerpen itu bahkan ada penggalan kisah suasana prostitusi di Pasar Senin, meski tak diceritakan vulgar. Perkara ini pun berlanjut di persidangan. Dalam persidangan yang digelar di Medan, Sumatera Utara, Jassin tetap berkukuh menolak membuka siapa Ki Panji Kusmin sebenarnya. Bagi Jassin, “Langit Makin Mendung” merupakan karya fiksi, dan persidangan ini termasuk salah satu bentuk pembungkaman terhadap hak warga negara untuk berekspresi. Dalam persidangan in absentia itu, Ki Panji Kusmin dinyatakan bersalah dan dikenai hukuman 1 tahun kurungan dengan masa percobaan 2 tahun bui, meski hal itu tidak pernah terjadi karena Jassin tetap menolak membuka identitas Ki Panji Kusmin. Meski divonis bersalah, Jassin juga tidak mendekam di penjara. Hingga kini, siapa sosok Ki Panji Kusmin itu tetap menjadi misteri, meski di akhir hayatnya Jassin dikabarkan pernah menceritakan sosok sesungguhnya Ki Panji Kusmin kepada salah seorang sahabat sekaligus pegawainya di PDS H.B. Jassin.

– Seperti semacam “pengakuan dosa”, berkaitan dengan pemuatan “Langit Makin Mendung” di Majalah Sastra, pada 7 Oktober 1972 Jassin mulai menerjemahkan Al-Quran. Terjemahan secara puitis yang ia garap itu terinspirasi oleh terjemahan Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran. Terjemahan Al-Quran tersebut diberi judul Al-Quranul-Karim Bacaan Mulia. Pada 1974, edisi pertama karya terjemahan itu terbit.  Al-Quranul-Karim Bacaan Mulia pun menuai kontroversi. Pada 1993, Jassin menerbitkan Al-Qur’an Berwajah Puisi yang merupakan perbaikan dari Al-Quranul-Karim Bacaan Mulia. Seperti karya terjemahan sebelumnya, Al-Qur’an Berwajah Puisi juga menuai pro-kontra. Sejumlah tokoh berdebat tentang karya terjemahan Al-Quran itu. Mereka yang menolak di antaranya KH Ma’ruf Amin serta Ketua MUI saat itu KH Hasan Basri. Sedangkan yang memberikan apresiasi, antara lain, B.J. Habibie dan Gus Dur.

Baca Juga: Chairil Anwar Pernah Gagal Move On, Lho…


– Pada 1963, H.B. Jassin dan sejumlah sastrawan, di antaranya Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S. Moeljanto, Ras Siregar, Sjahwil, dan Djufri Tanissan, mendeklarasikan Manifes Kebudayaan. Manifes Kebudayaan, yang dimotori Goenawan Mohamad, merupakan konsep kebudayaan yang mengusung humanisme universal. Manifes Kebudayaan adalah bentuk respons terhadap teror-teror dalam ranah budaya yang dilancarkan oleh orang-orang yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) saat pemerintahan demokrasi terpimpin. Lekra sendiri merupakan lembaga onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI)—majalah Tempo edisi 30 September-6 Oktober 2013 menulis laporan tentang Lekra dan Geger 1965, yang di dalamnya mengungkap bahwa tidak semua seniman anggota Lekra berhaluan komunis. Oleh para sastrawan Lekra saat itu, Manifes Kebudayaan dipelesetkan menjadi Manikebu, yang identik dengan “mani atau sperma kerbau”. Sementara itu, Presiden Sukarno melarang Manifes Kebudayaan yang ia sebut sebagai Manifesto Kebudayaan. Lantaran keterlibatan Jassin dalam gerakan Manifes Kebudayaan, ia pun dipecat dari jabatannya di Lembaga Bahasa dan Universitas Indonesia.

– Sebagai kritikus sastra, akademikus, dan redaktur sejumlah majalah sastra, H.B. Jassin mendapat sejumlah julukan. Di antaranya sang “perawat sastra”, “Paus sastra”, “dokumentator sastra”, “pembela sastra Indonesia”, “kritikus sastra”, “juru bicara Angkatan 45”, “redaktur abadi”, ataupun sang “penerjemah”. Namun, dari berbagai julukan itu, yang menarik adalah julukan Paus sastra, yang justru melekat pada diri Jassin. Dalam buku H.B. Jassin Perawat Sastra Indonesia disebutkan bahwa sebenarnya Paus sastra bukan julukan pujian, melainkan ejekan. Gayus Siagian—seorang sastrawan, wartawan, dan seniman rekan Jassin—kesal karena Jassin dinilai bertindak seperti Paus, pemimpin tertinggi umat Katolik di seluruh dunia. Gayus melihat, apa yang dikatakan Jassin akan didengar dan dituruti. Karena itu, Gayus pun meledeknya dengan sebutan “Paus sastra”.

– Pada 1953, Jassin mengajar di Fakultas Sastra UI. Karena saat itu Jassin belum bergelar sarjana, ia diminta berkuliah juga di fakultas tersebut. Jadi, ia menjadi dosen sekaligus mahasiswa di Fakultas Sastra UI. Pada 1957, ia lulus, dan memperdalam ilmu perbandingan sastra di Universitas Yale, Amerika Serikat.

(S. Maduprojo, sumber rujukan: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id, majalah Tempo, koleksi K. Atmojo, dan sejumlah situs online)

By redaksi

Catatankaki merupakan situs online yang dengan renyah mengulas segala hal terkait kata, budaya, filsafat, komunikasi, dan isu-isu humaniora populer lainnya. Dengan mengusung tagline "Narasi Penuh Nutrisi", Catatankaki mengemas semuanya secara ringan tapi mendalam; lugas tapi bernas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *