Pesta pernikahan di Mesir yang penuh dengan ledakan energi (Foto: Dean Sandiego)Pesta pernikahan di Mesir yang penuh dengan ledakan energi (Foto: Dean Sandiego)

Dean Sandiego, Mahasiswa Filsafat dan Kontributor Catatankaki di Kairo

Kairo, pada pagi hari di musim dingin yang cerah. Suhu mencapai 10 derajat celcius. Saya melihat notifikasi handphone: “Dear Dean, apa kabar? Saya sudah coba menelpon buat undang kamu ke pernikahan kami, Jumat depan. Saya akan sangat senang jika kita bisa berbagi kegembiraan.”

Sebagai mahasiswa Indonesia di Mesir, saya baru saja mengalami sesuatu yang mungkin terdengar biasa bagi orang lain, tapi jadi hal luar biasa bagi saya: Menghadiri pernikahan lokal Mesir!

Sebagian besar mahasiswa asing melewati seluruh masa studi mereka tanpa pernah mengalami momen seperti ini. Tapi, berkat pertemanan saya dengan keluarga mempelai, saya mendapatkan kesempatan itu. Dan jujur, ini bukan sekadar pesta biasa. Ini adalah pengalaman penuh energi, petualangan budaya, dan ya…, sedikit di luar ekspektasi saya sebagai orang Asia yang terbiasa dengan pernikahan yang lebih kalem.

Saya datang dengan perasaan campur aduk. Antara excited karena ini adalah pengalaman langka dan canggung karena saya nggak tahu harus berbuat apa di dalam pesta ini. Tapi, saya pikir, “Ya sudah, nikmati aja. Kan mumpung ada kesempatan!”

Saya belum tahu kalau di acara itu, saya akan mengalami kejutan besar.

Ada yang Salah dengan Dekorasinya?

Pukul 6 sore saya sudah berpenampilan rapi dengan jas dan baju kebanggaan asal indonesia, batik. Saya ditemani oleh dua orang teman, Tye dari Inggris, dan Ahmad orang Mesir. Setelah saling sapa dan saling puji penampilan masing-masing, kami berangkat ke lokasi pernikahan. Di perjalanan, Ahmad bilang kalau kami harus siap mental dan energi jika ingin menghadiri pernikahan di Mesir. “Biar kamu liat sendiri,” katanya tanpa memberi tahu lebih lanjut. Saya dan Tye pun saling menatap, kebingungan.

Setelah sampai di lokasi, kami masuk ke dalam aula pernikahan. Mata saya langsung sibuk mengamati sekeliling. Beda dengan Indonesia, yang biasanya makanan dihidangkan dengan cara prasmanan, Mesir lebih seperti pesta pernikahan Barat dengan hidangan dibawakan oleh waiters. Dekorasinya megah, dihiasi ornamen-ornamen ala Mesir dengan banyak meja dan kursi yang tertata rapi di sepanjang ruangan.

Tapi ada satu yang bikin saya heran, yaitu area kosong besar tepat di tengah aula.

Sebagai mahasiswa filsafat, tentu otak saya langsung bekerja: “Kenapa ada area kosong di tengah? Bukannya lebih baik dipakai untuk tambahan meja atau dekorasi?”

Selama beberapa menit saya terus memikirkan hal ini. Sampai akhirnya saya memutuskan bertanya ke Ahmad. “Bro, ini kenapa di tengah kosong gini? Kayak nggak efisien banget, loh.”

Ia cuma ketawa dan menepuk pundak saya, lalu bilang, “Sabar. Ini untuk bagian paling gila dari acara ini. Yuk, kita ke pengantin dulu, sebelum semuanya dimulai.”

Lagi-lagi Ahmad memberi kami rasa penasaran. Tapi saya menurut saja, dan di sini kejutannya!

Chaos pun Dimulai!

Kami berjalan menuju pasangan pengantin, mengucapkan selamat, lalu mengobrol sebentar. Setelah kami kembali ke tempat duduk, semuanya terasa normal. Hingga 10 menit kemudian, lampu-lampu mulai berubah warna. Dan mereka mulai menyalakan musik.

Awalnya saya pikir saya akan mendengar lagu romantis. Sesuatu yang lembut dan menyentuh hati. Mungkin seperti Until I Found You atau lagu pernikahan klasik lainnya.

Tapi… semuanya salah besar.

Tiba-tiba, suara bass berat mengguncang ruang pesta. Musiknya bukan lagu pernikahan yang manis dan tenang. Ini lebih mirip lagu Linkin Park atau Bon Jovi versi Mesir, dengan speaker yang volumenya bisa menyaingi kebisingan kota Mumbai.

Dan seketika, semua tamu yang tadi duduk dengan tenang langsung berdiri, seakan sudah tahu harus apa. Mereka bergerak menuju area kosong di tengah aula. Dalam hitungan detik, mereka semua mulai menari liar mengikuti musik. Berloncatan, melambaikan tangan, memutar badan seakan-akan mereka sedang hadir di festival musik terbesar di dunia.

Saya terpaku.

“Ini apaan?!”

Saya masih berusaha memahami apa yang terjadi ketika Ahmad tiba-tiba menarik tangan kami.

“Ayo, gabung! Ini bagian terbaiknya!”

Beda dengan Tye yang langsung menerima ajakan Ahmad, saya langsung menggeleng, “Nggak, makasih banyak. Saya lebih senang duduk di sini ngamatin kalian.”

Saya memilih tetap duduk sambil menyaksikan mereka berpesta dengan cara yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Mereka benar-benar menikmati momen ini dengan penuh energi, penuh semangat, dan tanpa malu-malu.

Bahkan pengantin pun, keduanya ikut menggila di tengah pesta itu!

Arti dari Budaya Pernikahan

Awalnya saya berpikir, gila, ini terlalu berlebihan. Pernikahan di Indonesia nggak ada yang segila ini. Tapi semakin saya melihat mereka, semakin saya sadar… arti pernikahan.

Bagi mereka, pernikahan bukan sekadar acara formal. Ini adalah simbol dari komitmen, kebahagiaan untuk menyambut kehidupan baru yang harus dirayakan dengan penuh semangat. Ini bukan cuma tradisi, tapi juga warisan budaya dari nenek moyang mereka.

Sama halnya dengan pernikahan di Mesir, Indonesia juga punya budaya unik. Misalnya di Minangkabau, pihak perempuanlah yang melamar laki-laki. Pihak keluarga perempuan datang membawa hantaran sebagai tanda keseriusan.

Ada juga tradisi pernikahan Suku Tidung di Kalimantan Utara yang benar-benar menguji ketahanan calon pengantin. Mereka harus menahan buang air selama 72 jam sebagai simbol kesabaran dalam kehidupan rumah tangga.

Dan jangan lupa Betawi, yang menghadirkan suasana unik dengan berbalas pantun antara calon pengantin pria dan ayah mempelai wanita, membuat pernikahan tidak hanya soal janji suci tetapi juga tradisi yang penuh humor dan kreativitas.

Dan satu hal yang pasti: Masing-masing budaya memiliki cara tersendiri dalam memaknai pernikahan, karena pernikahan adalah cerminan dari semangat hidup masyarakatnya.

Di Minang, pernikahan adalah proses menyatukan tanggung jawab bersama. Di Tidung, pernikahan adalah ujian ketahanan. Di Betawi, pernikahan adalah permainan komunikasi dan humor. Di Mesir, pernikahan adalah ledakan semangat penuh energi.

Saya tidak bisa membayangkan diri saya ikut berjoget liar di tengah pesta seperti di Mesir. Tapi saya juga tidak bisa menyangkal betapa jujurnya cara mereka mengekspresikan kebahagiaan.

Akhirnya, saya sadar, bahwa di mana pun, pernikahan bukan hanya soal dua orang yang saling mencintai. Ini adalah soal budaya, identitas, dan cara kita menghargai hidup.

Bagi saya, pengalaman ini bukan hanya tentang melihat pesta gila di Mesir. Ini tentang bagaimana saya mulai memahami dunia dengan cara yang lebih luas. (***)

By redaksi

Catatankaki merupakan situs online yang dengan renyah mengulas segala hal terkait kata, budaya, filsafat, komunikasi, dan isu-isu humaniora populer lainnya. Dengan mengusung tagline "Narasi Penuh Nutrisi", Catatankaki mengemas semuanya secara ringan tapi mendalam; lugas tapi bernas.

2 thoughts on “Budaya Pernikahan Mesir, Ledakan Semangat yang Penuh Energi”
  1. ‎ماشاءالله تباركالله…..
    Great job om Dean, semoga menjadi inspirasi untuk anak muda yang lain 👍🏻

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *