Buku "Pertempuran dan Saldju di Paris" (FOTO: Revaldi)

Oleh Nina Masjhur, Pemerhati Budaya

“Sudah baca buku ini?” temanku Luwi menyodorkan sebentuk buku kepadaku, yang kusambut dengan semringah.

Buku itu kecil saja, berukuran 18 × 13,3 sentimeter. Di pojok kanan atas sampul buku itu tercetak harganya, Rp 9,25. Itu harga lama, tentunya. Harga kekiniannya, yang harus dibayar seseorang untuk memperoleh buku itu, terbilang tak murah. Sebab, buku ini sudah masuk dalam kategori buku antik. Buku untuk koleksi, bukan sekadar buku untuk dibaca senang-senang belaka. Warnanya kecokelatan, kuyakini karena dimakan usia. Kemungkinan besar warnanya semula putih.

Berbahasa Ejaan Soewandi

Buku mungil tersebut adalah buku karya sastrawan besar Indonesia Sitor Situmorang (1924-2014), yang juga dikenal sebagai seorang wartawan. Berbentuk kumpulan cerpen berjudul Pertempuran dan Saldju di Paris – Enam Cerita Pendek, buku setebal 100 halaman ini diterbitkan oleh PT Pustaka Rakjat, Djakarta (sekarang: Jakarta), 1956. Tercatat dari sumber lain, buku ini pernah mendapat penghargaan Hadiah Sastra Nasional Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) 1955/1956.

Berhubung diterbitkan pada 1956, tak mengherankan buku ini masih memakai ejaan lama. Sebagai contoh, kata “yang” tertulis sebagai “jang”, dan “cerita” sebagai “tjerita”. J yang ditulis Y serta TJ ditulis C adalah ejaan yang baru berlaku di negara kita pada 1972. Disebut sebagai Ejaan yang Disempurnakan (EYD), pemakaiannya diresmikan pada 16 Agustus 1972.

Ejaan yang dipakai dalam buku ini dikenal sebagai Ejaan Soewandi, yang diperkenalkan pada 1947. Dalam ejaan ini, huruf U sudah tidak lagi ditulis OE seperti dalam bahasa Belanda.

Untuk generasi kelahiran sesudah 1972, membaca ejaan dalam buku ini pasti akan bingung. Saya yang pernah mengalami hidup dalam Ejaan Soewandi saja kadang tersendat kagok. Tapi, bagi saya, mendapat kesempatan untuk membaca buku langka ini merupakan sebuah keasyikan tersendiri.

Pengalaman Pribadi Penulis

Saya belum pernah membaca ataupun mendengar pembahasan mengenai buku ini, ataupun tentang cerita-cerita di dalamnya. Kemungkinan, karena saya belum atau tidak mencarinya secara lebih mendalam. Maka, saya menduga saja bahwa semua cerita dalam buku ini merupakan pengejawantahan dari pengalaman-pengalaman pribadi si penulis sendiri, dan tentang legenda atau mitos yang pernah didengarnya di kampung halamannya.

Cerpen pertama dalam buku ini berjudul “Pertempuran”. Saat membacanya, dengan mudah kita dapat mengetahui bahwa kisah ini mengambil latar belakang masa ketika NKRI baru saja merdeka. Dari nama-nama sejumlah tokoh, kejadian awal cerita tampaknya berlangsung di sebuah tempat di daerah Tapanuli, Sumatera Utara. Menjelang akhir cerita, adegan berpindah ke ibu kota, tepatnya di daerah Senen, Jakarta Pusat.


Baca Juga: Seabad A.A. Navis: Memaknai ‘Robohnya Surau Kami’


Membaca bagian terakhir yang berlokasi di seputar Senen, cukup mengingatkanku akan cerita-cerita Mochtar Lubis dalam buku-bukunya, yang banyak memaparkan situasi Jakarta pada masa awal kemerdekaan. Mungkin karena dua sastrawan besar ini berasal dari masa yang lebih-kurang sama; sama-sama wartawan dan berdarah Batak.

Selain itu, bagian ini telah menambah pemahamanku akan daerah Senen sehingga menjadi sedikit lebih tebal. Senen adalah suatu daerah di pusat Jakarta, yang pada satu masa bagai dikuasai oleh kelompok etnis tertentu. Di mana, untuk bertahan hidup, mereka memakai prinsip “yang kuat yang menang”, dan cenderung memakai kekerasan untuk sukses.

Satu hal lagi tentang daerah Senen, aku pernah mendapat kabar bahwa daerah tersebut pernah menjadi tempat berkumpulnya seniman, wartawan, dan sastrawan. Konon, Harmoko, yang penah menjadi Menteri Penerangan di era Orde Baru, di masa mudanya adalah salah satu dari seniman yang rajin nongkrong di situ—kalau tidak salah beliau dulu adalah seniman gambar karikatur. Mungkin saja Sitor Situmorang pun demikian adanya.

Harimau Tua hingga Djin

Cerita kedua dalam buku ini berjudul “Harimau Tua”. Ini kisah tentang seorang laki-laki berumur, yang nyaris di seluruh hidupnya membawa dendam untuk memusnahkan makhluk hidup lainnya—dalam hal ini binatang. Suatu cara baginya untuk bertahan hidup di alam liar yang keras dan buas. Tapi juga, menurut pendapat saya, cerita klasik tentang manusia yang menganggap binatang memang pesaing yang layak dimusnahkan.

Kisah dalam cerita ini dituturkan oleh sosok lain, yang khusus datang ke tempat itu. Namun, sampai cerita selesai, tak ketahuan apa tujuan ia datang ke sana.

“Salju di Paris” dan “Fontenay aux Roses” adalah dua cerita tentang romantika kehidupan seorang laki-laki Indonesia di Prancis, dengan sentuhan kisah romansa bersama lawan jenis yang dikenalnya di sana. Bahwa dia adalah seorang laki-laki Indonesia, lagi-lagi hanya dugaanku belaka. Dugaan yang lebih jauh adalah, lelaki itu si penulis sendiri, Sitor Situmorang, yang sejak masa mudanya sudah hidup di Prancis. Dengan demikian, mudah bagi saya untuk menduga bahwa cerita-cerita ini adalah pengalaman pribadinya.

Cerita kelima berjudul “Djin”, yang kalau dalam ejaan sekarang adalah “Jin”. Kisahnya bersangkutan dengan legenda mistis di sebuah daerah, yang kemungkinan besar adalah daerah asal si penulis. Latar belakang masa atau waktu sepertinya adalah ketika Indonesia masih berada di zaman pendudukan Belanda. Sebab, sekilas disebutkan nama ibu kota negara saat itu adalah Batavia.

Terakhir, ceritanya berjudul “Ibu Pergi Kesorga”penulisan sekarang: “Ibu Pergi ke Surga”. Sebagaimana yang tersirat dari judulnya, ini adalah suatu drama keluarga. Latar belakang waktunya setelah kemerdekaan, dengan ibu kota negara yang sudah bernama Djakarta (Jakarta).

Nama Sitor Situmorang buat saya adalah nama yang besar, seorang sastrawan terkemuka. Meski demikian, saya sebelumnya belum pernah mengenal karya-karyanya. Membaca cerita-cerita dalam buku ini merupakan pengalaman pertama saya bersentuhan dengan karya-karya beliau.

Awal membacanya, seperti yang sudah sempat saya singgung di atas, agak tersendat. Bukan saja karena ejaannya adalah ejaan lama, tapi juga karena gaya bahasanya yang juga bergaya lama. Beberapa kali saya sempat salah menangkap tulisan kata “saja”, sampai-sampai tak mengerti dengan maksud yang hendak disampaikan oleh sang penulis. Sampai saya sadar bahwa seharusnya saya membacanya sebagai “saya”. Separuh buku berjalan, akhirnya saya pun menjadi terbiasa dan lebih lancar membacanya.

Sebuah berkah saya berkesempatan membaca buku langka ini. Untuk itu, terima kasihku kepada semesta. Salam damai untuk Bapak Sitor Situmorang. Requiescat in pace.  (***)

By redaksi

Catatankaki merupakan situs online yang dengan renyah mengulas segala hal terkait kata, budaya, filsafat, komunikasi, dan isu-isu humaniora populer lainnya. Dengan mengusung tagline "Narasi Penuh Nutrisi", Catatankaki mengemas semuanya secara ringan tapi mendalam; lugas tapi bernas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *