Memperlambat ritme hidup untuk menikmati momen, mendalami pengalaman, dan mementingkan kualitas alih-alih kuantitas. Yup, pelan-pelan saja…
Bagi yang sudah tahu, tren alias kegandrungan pada konsep slow living di Indonesia terjadi sekitar tiga tahun terakhir. Terutama selepas pandemi Covid-19. Padahal, Carol Blaszczynski, guru besar di Departemen Sistem Informasi California State University, dalam artikel “The Slow Living Movement: Implications for Business Education” yang dimuat di International Journal for Business Education (2011), mengungkapkan bahwa gerakan slow living atau slow living movement sudah dimulai di Italia pada 1980 dan menjalar ke seluruh dunia.
Blaszczynski menjelaskan, gerakan “hidup melambat” di Italia itu diilhami oleh filsuf sosial Amerika Serikat Richard Gregg. Ia memperkenalkan istilah voluntary simplicity (kesederhanaan sukarela/mandiri) pada 1936 (The Value of Voluntary Simplicity). Gaya hidup tersebut digambarkan sebagai sikap kemandirian masyarakat untuk lebih “mempersempit/memperingkas” kehidupan mereka. Seiring dengan berjalannya waktu, gerakan ini berkembang pesat terutama sejak resesi hebat (great recession) pada 2008.
Prinsip gerakan ini adalah menggunakan kekuatan lebih sedikit untuk mencapai hasil yang lebih maksimal. Slow living alias la vita lenta—frasa dalam bahasa Italia yang berarti “kehidupan yang lambat”—adalah tentang keseimbangan. Ini dapat dijelaskan dengan nasihat berikut. “Bersikaplah cepat kalau memang harus melakukannya dengan cepat, dan menjadi lambat ketika memang perlu melambat.” Dengan kata lain, berusahalah untuk hidup dengan apa yang musisi sebut tempo giusto—kecepatan yang tepat”. Maka, slow living sebenarnya adalah soal menjadikan hidup lebih baik, bukan lebih cepat. Bagaimana melakukan sesuatu sebaik mungkin, bukan secepat mungkin.
Slow Cities
Blaszczynski menuturkan, ada sejumlah komponen dalam gerakan slow living movement. Italia, misalnya, mempelopori apa yang disebut dengan slow cities alias citta slow. Kota-kota di Italia bergabung membentuk organisasi citta cities. Organisasi ini akan menentukan mana kota yang dikategorikan lambat dan mana yang tidak. Kota yang lambat, misalnya, mungkin tidak memiliki populasi lebih dari 50 ribu jiwa. Ditengarai terdapat 19 kota yang memenuhi kriteria slow cities di berbagai belahan dunia. Termasuk di Australia, Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Spanyol, Korea Selatan, Swedia, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat.
Slow Travel
Komponen lain adalah slow travel, yang berpusat pada hubungan budaya dengan menjadi bagian dari budaya sekitarnya. Mereka yang melakukan slow travel akan tinggal di lokasi minimal seminggu untuk menjelajahi wilayah tersebut dengan bersepeda ataupun berjalan kaki. Bentuk transportasi lambat ini memungkinkan wisatawan lebih mudah berinteraksi dengan warga setempat dan merasakan budayanya. Wilayah pertama di dunia yang melakukan slow travel adalah Pulau Stratford di dekat pantai Queensland, Australia. Pulau ini menerapkan batas kecepatan mengemudi dan melakukan hal tersebut untuk mendorong interaksi antar-manusia.
Slow Food
Berikutnya adalah slow food. Tujuan gerakan ini adalah melestarikan masakan khas atau tradisional. Sebagai hasilnya, melestarikan benih, tanaman, peternakan, dan hewan peliharaan itu mendiami suatu kawasan ekologi. Slow food bisa dibilang kebalikan dari tren makanan cepat saji (fast food). Di Italia, slow food menekankan komunitas dengan “Piu Tempo a Tavola”. Lebih banyak waktu di sekitar meja untuk menghormati dan menikmati pentingnya makna makan dan makanan. Daripada menyantap makanan cepat saji, lebih baik mengolah makanan sendiri dan dikonsumsi dengan santai. Tidak dikemas dalam keadaan berdiri atau sambil berdiri bekerja di depan komputer. Lalu menikmatinya bersama teman-teman baik dan keluarga. Begitu kira-kira.
Di Italia, ada pepatah kuno A tavola non s’invecchia. Artinya lebih-kurang, ”Di meja makan, seseorang tidak akan menjadi tua”. Orang-orang di Italia tumbuh dengan meja makan sebagai pusat masa kecil mereka. Hari libur berarti berkumpul dengan keluarga besar, di mana kehangatan dan keajaiban makanan dan minuman yang lezat tersaji berpadu dengan kegembiraan mengobrol serta menghabiskan waktu bersama.
BACA JUGA: OCCRP dan Character Assassination terhadap Jokowi
Di Italia, pada 1980-an, Carlo Petrini—aktivis, penulis, serta pendiri International Slow Food Movement dan festival Terra Madre—menjadi terkenal karena ambil bagian dalam kampanye melawan jaringan makanan cepat saji McDonald’s yang dibuka di Roma. Pada 1986, ia mendirikan International Slow Food Movement untuk menyelamatkan makanan yang terancam punah dan melobi Uni Eropa tentang kebijakan pertanian dan perdagangan. Pada 1995, organisasi yang dia dirikan itu telah memiliki 55 ribu anggota di 42 negara.
Slow Books dan Slow Schools
Dua komponen lain konsep slow living, menurut Blaszczynski, adalah slow books dan slow schools/education. Gaya hidup slow books mendorong orang untuk membaca buku setiap hari untuk menemani waktu-waktu bersantai. Mereka percaya bahwa membaca buku secara rutin, antara lain, mampu mengurangi stres, meningkatkan kreativitas, menginspirasi dan memotivasi, serta menghibur dan mengembangkan perspektif budaya yang lebih luas. Lebih tepatnya, daripada membaca potongan suara atau cerita pengantar tidur satu menit, Anda bisa menikmati buku dengan santai, menikmati ungkapan atau refleksi yang sangat baik pada ide yang menggugah pikiran dan bagaimana ide tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan seseorang.
Sementara itu, gerakan slow schools/education mengacu pada kurikulum, cara penyampaian dan proses pembelajaran, manajemen sekolah, serta menjadikan sekolah sebagai wahana terbaik untuk mendidik anak-anak kita. Konsepnya berbeda dengan fast schools yang lebih berfokus pada tes standar. Slow schools menekankan proses pembelajaran. Misalnya mempraktikkan pengalaman kehidupan nyata melalui pendidikan langsung dan berdasarkan pengalaman, seperti menanam, merawat, dan makan dari taman atau kebun sekolah.
Apa yang Mereka Lakukan?
Kembali ke tren slow living yang dilakukan sejumlah orang di Indonesia, apa sih yang mereka lakukan? Ternyata beragam upaya yang dilakukan sejumlah orang untuk memaknai konsep hidup lambat ini. Ada pensiunan yang memilih hengkang dari kota menikmati sisa hidup di perdesaan. Di sana mereka melakukan aktivitas yang selama ini tidak mereka temui di kota-kota. Misalnya makan dari hasil kebun, ngopi santai di kali kecil dekat persawahan, gowes di antara sawah-sawah, atau bercengkerama dengan warga sekitar. Ada lagi pasangan sarjana yang “mapan”, tapi memilih hidup di pinggiran yang jauh dari keramaian.
Mereka memiliki usaha sendiri dan melakukan trik-trik hidup yang lebih simpel dan bermanfaat. Menikmati suasana berdua sembari membaca buku dan nyeruput teh/kopi.
Tak hanya para pensiunan dan pasangan muda mapan yang melakukan slow living. Banyak orang kampung di lereng-lereng pegunungan yang membagikan momen-momen di akun media sosial mereka saat berkegiatan sehari-hari, yang rata-rata jauh dari kebiasaan yang dilakukan orang-orang di kota. Sebut saja memasak menggunakan kayu bakar di dapur yang sederhana, memetik hasil kebun untuk dijadikan lauk, ngopi di teras sederhana saat turun hujan, ataupun keasyikan mencari ikan di sungai-sungai yang asri.
Alon-alon Asal Kelakon
Lantas apakah orang-orang kota tidak bisa melakukan slow living? Tidak juga. Menurut sejumlah ahli, sebenarnya slow living tidak mesti seseorang harus menepi ke desa, hutan, atau pinggir pantai. Warga kota juga sudah banyak yang melakukan pola hidup lambat. Mereka mengisi waktu luang dengan berkebun memanfaatkan lahan sempit yang ada di rumah alih-alih memelototi media sosial atau menonton televisi, melakukan me-time dengan joging di taman-taman kota, memasak di rumah bersama keluarga, dan sebagainya.
Kesimpulannya, konsep slow living bisa dilakukan oleh semua kalangan, dengan koridor “memperlambat hidup” dengan mengisi kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat untuk kesehatan badan dan mental. Tidak ngoyo, tidak tergesa-gesa tapi tepat sasaran dan terencana, dan, berdasarkan pepatah Jawa, alon-alon ya Mas, asal kelakon…. Cari terjemahannya sendiri, ya…
(S. Maduprojo, diolah dari berbagai sumber)