Pemenang Person of The Year 2024 in Organized Crime and Corruption adalah mantan Presiden Suriah yang baru digulingkan, Bashar al-Assad. Sementara itu, Jokowi masuk nominasi bersama 4 finalis lain. Mereka antara lain adalah William Ruto, Presiden Kenya; Bola Ahmed Tinubo, Presiden Nigeria; Sheikh Hasina, mantan Presiden Bangladesh; dan Gautam Andani, pengusaha dari India.
Indonesia Terguncang
Begitu OCCRP merilis pengumuman ini, Indonesia pun heboh. Seperti biasa, opini media dan masyarakat terbelah. Lawan-lawan politik Jokowi langsung mengglorifikasinya dengan membabi buta. Demikian juga para pembela Jokowi, mereka membelanya mati-matian. Kedua kubu yang berlawanan ini sesungguhnya memiliki kesamaan. Mereka sama-sama berkelahi tanpa bekal informasi yang memadai.
Yang memprihatinkan, media-media mainstream seperti Kompas dan Tempo pun luput dari tanggung jawabnya sebagai media profesional. Mereka menelan mentah-mentah rilis OCCRP menjadi berita utama, tanpa memastikan secara kritis kebenarannya. Yang penting tulis dulu karena berita ini pasti memiliki efek kejut yang dahsyat. Dan betul saja, Indonesia seperti terguncang.
Tak hanya media mainstream, podcast-podcast artisan, seperti Rocky Gerung, Refly Harun, Hersubeno Point dan podcaster-podcaster lain, yang sering gencar menyerang Jokowi, seperti mendapat amunisi baru. Mereka yang kerap mengklaim diri sebagai pegiat akal sehat ini makin sembrono membius audiensnya untuk makin berakal sesat.
Di sisi lain, para pembela Jokowi pun mengeluarkan jurus-jurus pembelaannya dengan asal jeplak. Ada yang bilang ini sebagai konspirasi anti-Jokowi dan OCCRP untuk membunuh karakter Jokowi. Ada juga yang mengatakan, “Ada RP di balik OCCRP.” Maksudnya mungkin ada rupiah di balik proyek OCCRP ini.
Yang kasihan adalah masyarakat. Mereka bingung karena kuping dan matanya dipaksa untuk melahap semua opini yang membanjirinya.
Baca Juga: Di Balik Nominasi Presiden Jokowi sebagai Person of the Year OCCRP
Klarifikasi OCCRP
Sepertinya, guncangan yang terjadi di Indonesia di luar perkiraan OCCRP. Kontroversi ini membuat OCCRP kemudian menyadari bahwa ada kesalahpahaman yang terjadi atas rillis proyeknya ini. Maka, OCCRP pun kemudian mengeluarkan klarifikasi.
Menurut OCCRP, penominasian ini di luar kendali mereka. OCCRP membuka ruang ke masyarakat dunia untuk mengirimkan nama-nama versi mereka, yang pantas dimasukkan sebagai nomine Person of the Year in Organized Crime and Corruption. Termasuk nominasi Jokowi, yang mendapatkan dukungan 5 terbanyak secara daring, sehingga dimasukkan ke 5 besar yang dinominasikan.
Dengan demikian, OCCRP mengakui mereka tidak memiliki bukti bahwa Jokowi terlibat korupsi untuk keuntungan finansial pribadi selama masa jabatannya. “Namun kelompok masyarakat sipil dan para ahli mengatakan pemerintahan Jokowi telah melemahkan komisi antikorupsi Indonesia secara signifikan. Jokowi juga telah banyak dikritik karena merusak lembaga pemilihan umum dan peradilan Indonesia untuk menguntungkan ambisi politik putranya, yang sekarang menjadi wakil presiden di bawah Presiden baru Prabowo Subianto,” demikian bunyi klarifikasi yang diumumkan OCCRP di situsnya pada 2 Januari 2025.
Ade Armando, pengamat politik, dalam podcast-nya, menganggap ini sebagai pembunuhan karakter atas Jokowi yang sengaja digerakkan oleh kelompok anti-Jokowi. Panggilan penominasian secara terbuka ini disambut oleh kelompok anti-Jokowi dengan memobilisasi orang-orang untuk turut menominasikan Jokowi. Hasilnya, nama Jokowi masuk dalam 5 voting terbanyak.
Kontroversi Terus Berlanjut
Seharusnya klarifikasi dari OCCRP ini menghentikan segala kontroversi ini. Mereka telah menjernihkan permasalahan, bahwa bukan OCCRP yang menominasikan Jokowi, sehingga tidak perlu ada pertanggungjawaban metodologi ilmiahnya. Yang menjadi tanggung jawab OCCRP adalah memilih pemenang utama Person of the Year-nya, dengan menghadirkan jurnalis investigasi, akademisi, dan peneliti yang kompeten sebagai jurinya.
Namun, baik kelompok pro-Jokowi maupun anti-Jokowi masih terus berdebat. Kelompk anti-Jokowi masih terus “merayakan” masuknya Jokowi ke dalam 5 finalis tersebut, tanpa mempedulikan klarifikasi OCCRP. Bagi mereka memang bukan benar atau salahnya data yang mengemuka. Tujuan mereka adalah character assassination, pembunuhan citra diri Jokowi yang dimunculkan secara repetitif, sehingga terbenam di benak masyarakat sebagai sebuah kebenaran. Lihat saja podcast Rocky Gerung yang berjudul “Gelar Pemimpin Terkorup! Bela Jokowi, Ketum PBNU Kok Ikutan Serang OCCRP. Ada Apa?” Podcast ini muncul dua hari setelah klarifikasi OCCRP. Tapi, ya itu tadi, fokus Rocky Gerung dan Hersubeno, host-nya, bukan tentang faktanya, melainkan tentang usaha pembusukan karakternya.
Menjadi Pembaca Kritis
Melihat situasi chaos media seperti ini, maka sudah saatnya untuk kita, masyarakat pemirsa, lebih kritis lagi melihat atau membaca. Hindari untuk menelan informasi mentah-mentah. Lihat motif beritanya, apakah memiliki tujuan tertentu atau tidak. Cari logika beritanya, apakah masuk akal atau tidak. Amati sumber beritanya, apakah kredibel atau tidak. Lihat nada beritanya, apakah tendensius atau tidak.
Dengan kritis melihat atau membaca, maka kita sudah turut untuk mengurangi efek berita hoaks, walau tidak sampai memberangusnya.
Sudah saatnya juga kita berpikir obyektif. Mulai hindari pengaruh dari orang-orang yang ingin membelah kita. Hindari untuk memihak secara membabi-buta kepada salah satu kelompok. Kembalilah pada cara pandang kita di waktu lalu. Dukung yang baik, kritik yang keliru. Berlakukan ini pada kelompok mana pun.
(Asep Herna)