Pameran tunggalnya bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” yang semula akan diadakan pada 20 Desember 2024-19 Januari 2025 di Galeri Nasional, Jakarta, dibatalkan karena dinilai menuai kontroversi. Pangkal persoalannya adalah sejumlah karya Yos dari 30 lukisan yang akan dipamerkan dinilai tidak pantas dan “menyerang” salah satu tokoh nasional, dalam hal ini diindikasikan mantan Presiden ketujuh RI Joko Widodo alias Jokowi.
Suwarno Wisetrotomo, salah seorang kurator dalam pameran itu, meminta Yos tidak menampilkan lukisan-lukisan yang dinilai melanggar kesepakatan, tapi Yos menolak. Menurut sejumlah pihak, seperti Menteri Kebudayaan Fadli Zon, beberapa karya Yos yang dipamerkan cenderung mengarah ke pornografi dan tidak sesuai dengan tema yang diangkat. Sejumlah pihak yang merasa ikut tersinggung juga mengatakan karya Yos terlalu sarkastis, kebablasan, dan terkesan merendahkan seseorang. Namun ramai pula yang menyatakan bahwa karya-karya Yos sepatutnya diapresiasi sebagai ekspresi kebebasan berpendapat dan berkarya. Setelah menjadi perbincangan ramai, baik di media massa maupun media sosial, yang pro dan yang kontra, pada Selasa, 24 Desember 2024, Yos akhirnya mencopoti dan membawa pulang lukisan-lukisannya itu.
Kontroversi “pembredelan” pameran tersebut mengingatkan saya pada beberapa karya sejenis yang tujuannya mengkritik para penguasa.
1. Guernica
Mural besar pelukis tersohor Pablo Picasso, Guernica, menggambarkan pembantaian berdarah dingin terhadap warga sipil miskin yang tidak bersenjata. Guernica menunjukkan kekejaman konflik tersebut secara rinci dan menjadi lambang internasional sentimen antiperang. Lukisan ini dibuat sebagai reaksi atas pengeboman oleh pesawat-pesawat tempur milik Nazi, Jerman, terhadap Kota Guernica saat terjadi Perang Saudara Spanyol (1936-1939). Guernica memperlihatkan tragedi akibat peperangan dan penderitaan yang dialami orang-orang tak bersalah. Ini merupakan salah satu kecaman artistik yang paling kuat terhadap fasisme serta menjadi titik pertikaian sepanjang tahun karena pesannya yang kuat dan kritis. Picasso menolak memamerkannya di Spanyol sampai keadilan dipulihkan di sana. Pada 2003, versi permadani Guernica ditutup-tutupi di PBB.
2. One Nation Under Socialism
Pada 2012, pelukis Amerika Serikat, Jon McNaughton, menjelang terpilihnya lagi Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat, membuat sejumlah karya yang mengkritik Obama. Salah satu karya kontroversial seniman lanskap yang seorang Republikan itu berjudul One Nation Under Socialism. Lukisan ini menggambarkan Obama dengan wajah bengis membakar lembaran konstitusi Amerika Serikat yang ia genggam di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menunjuk kobaran api pada lembaran konstitusi tersebut.
Jon setidaknya telah menghasilkan tiga karya yang menggambarkan apa yang dilihatnya sebagai pengabaian terhadap “prinsip-prinsip konstitusional” Amerika. Dia berargumen Amerika kini cenderung mengarah ke paham sosialisme dan makin banyak konstitusi yang dikompromikan. Lukisannya yang lain menunjukkan Obama berbicara kepada kerumunan orang yang terbebani oleh rantai. Lukisan sebelumnya menggambarkan Obama menginjak konstitusi, sementara di belakangnya berdiri sejumlah bapak pendiri bangsa yang terlihat marah.
Dalam lukisan berjudul One Nation Under God, Jon menampilkan Yesus Kristus memegang konstitusi di Washington, D.C., dikelilingi tokoh-tokoh bersejarah seperti Benjamin Franklin dan Thomas Jefferson, tentara yang berlutut, dan astronaut.
Menanggapi berbagai kritik terhadap lukisannya, Jon mengatakan, “Saya menggunakan hak amendemen pertama saya untuk mengungkapkan perasaan saya. Saya tidak mengejeknya atau mencoba membuatnya terlihat lucu, tapi hanya ingin menyampaikan pesan sejelas yang saya bisa.” Bagi orang-orang yang tidak mengerti makna di baliknya, tentu saja mereka melihatnya sebagai kebencian.
Baca juga: Kulturnomi dan Tangah Hangat Handoko Hendroyono
3. The Black Christ
Pada 1962, seorang seniman Afrika Selatan, Ronald Harrsion, melukis Yesus sebagai orang kulit hitam. Yesus digambarkan sebagai Ketua Kongres Nasional Afrika, Albert Luthuli, yang disalib dan dikelilingi mantan Menteri Hukum John Vorster serta mantan Perdana Menteri Hendrik Verwoerd sebagai tentara Romawi. The Black Christ mengacu pada lukisan klasik penyaliban, tapi berkaitan dengan peristiwa penderitaan orang kulit hitam Afrika Selatan. Lukisan itu menunjukkan kemunafikan dan kekejaman yang mendalam dari sebuah negara yang mengaku dirinya sebagai orang Kristen. Setelah ditampilkan di Gereja St Luke di Cape Town, sang seniman ditangkap oleh polisi dan disiksa karena dianggap melecehkan.
Judul yang sama berupa buku ditulis oleh Kelly Brown Douglas pada 1994. Kelly menawarkan potret yang menarik tentang siapa Yesus untuk komunitas kulit hitam.
4. Berburu Celeng
Ini bagian dari lukisan trilogi celeng seniman Djoko Pekik untuk mengkritik pemerintahan Orde Baru. Pekik pernah dipenjara karena tuduhan terlibat PKI saat aktif di Lekra. Lukisan pertama adalah Susu Raja Celeng (1996), Berburu Raja Celeng (1998), serta Tanpa Bunga dan Telegram Duka Cita (2000). Berburu Celeng dibuat Pekik pada 1998, berbarengan dengan geger-gender kejatuhan rezim Soeharto pada 1998. Lukisan kanvas berukuran 300 x 500 sentimeter ini menggambarkan kerumunan massa dengan berbagai ekspresi dan busana. Dua orang di antaranya mengarak seekor celeng hitam gempal dengan latar belakang jalan layang, gedung-gedung pencakar langit, dan awan gelap. Lukisan ini terjual Rp 1 miliar waktu itu dan menjadi lukisan termahal di Indonesia. Celeng, menurut Pekik, merupakan gambaran penguasa yang membabi buta, rakus, mau menang sendiri, perusak, dan kalau berjalan tidak bisa lurus.
5. Menjatuhkan Guci Dinasti Han
Di luar seni lukis, seniman Cina, Ai Weiwei, pernah mengkritik pemerintah Cina dan berjuang untuk kebebasan berekspresi dengan cara kontroversial. Pada 1995, ia membuat fotografi triptych sederhana yang menunjukkan Weiwei menjatuhkan guci Dinasti Han yang berusia lebih dari 2.000 tahun. Fotografi triptych adalah komposisi tiga gambar yang saling terkait, mirip dengan trilogi dalam sastra atau struktur tiga babak dalam film. Banyak yang menyebut ini sebagai tindakan penodaan. Tapi Weiwei menjawab, “Jenderal Mao biasa memberi tahu kita bahwa kita hanya dapat membangun dunia baru jika kita menghancurkan yang lama.”
(S. Maduprojo, diolah dari berbagai sumber)