Eksperimentasi Kulturnomi ala Handoko Hendroyono (Foto: Dok. Kompas)Eksperimentasi Kulturnomi ala Handoko Hendroyono (Foto: Dok. Kompas)

Bilangan Melawai yang 10 tahun terakhir diramaikan oleh berbagai resto eksklusif Jepang kini berubah wajah. Total.

Aneka jajanan dan kuliner lokal bertebaran di setiap blok. Uniknya, kedai-kedai di-dress-up hangat untuk nongkrong dan inklusif. Beraneka rupa penampilan; asyik duduk sambil makan atau sekadar ngopi santai. Anak-anak gen z, cewek-cewek seksi, seniman bertampang underground, emak-emak bercadar, ibu-ibu pencinta kebaya, bapak-bapak bercelana cingkrang, sampai anak-anak dengan cosplay unik berbaur di sana.

Wajah Baru Blok M Melawai

Ketika pengunjung penuh, area nongkrong kedai-kedai itu bahkan sampai merambah trotoar. Kursi-kursi dan meja kecil tambahan bertebaran, berbaur dengan lalu-lalang pejalan. Namun semua malah menambah santainya kehangatan. Tak ada yang merasa terganggu. Seakan-akan, memang, trotoar juga menjadi media untuk mengekspresikan keguyuban. Tak hanya buat pejalan, trotoar juga menjadi wadah untuk berbincang bagi para pembunuh waktu, tempat berkesenian bagi para pengamen dan pelukis jalanan, juga arena syuting baik buat kreator konten maupun untuk penggemar selfie-selfie-an.

Pemandangan ini saya nikmati di sepanjang jalur pejalan kaki dari area Pasaraya Grande melewati Blok M Square menuju Filosofi Kopi. Ya, Filosofi Kopi, tempat saya janjian ngobrol bersama salah satu pendirinya, Handoko Hendroyono.

“Area ini sekarang sudah menjadi semacam destinasi wisata tersendiri, Kang. Orang bukan cuma berburu kuliner, tapi juga mencari barang-barang klasik, termasuk koleksi piringan hitam. Di sini memang tempatnya,” kata Handoko.

Area Blok M Melawai seolah-olah sedang bergairah memasuki kembali kejayaannya di era 1980-1990-an, sebagai pusat gaul warga Jakarta. Aldiron Plaza, yang sekarang menjadi Blok M Square, adalah ikon anak muda gaul era itu. Dulu, istilah JJS (jalan-jalan sore) muncul di daerah sini. Kehadiran film Blok M pun makin memperkukuh bahwa kawasan ini adalah sentra budaya pop Jakarta. Namun, di awal 2000-an, kawasan ini redup, seiring dengan dibangunnya mal-mal mewah dan kawasan-kawasan hangout yang lebih modern lagi. Lalu, Blok M-Melawai pun berubah dan identik menjadi tempat rileks dan kulinernya orang-orang Jepang.

Revolusi Kopi

Pada 2015, ketika film Filosofi Kopi dirilis, yang diangkat dari novel Dewi Lestari dengan judul sama, Blok M Melawai mulai dilirik anak-anak muda kembali. Pasalnya, setting cerita yang berpusat di kedai Filosofi Kopi ini bukan sekadar dibiarkan menjadi fiksi, tapi kemudian diwujudkan benar-benar hadir. Tentu kehadiran kedai Filosofi Kopi ini menjadi experience tersendiri bagi penonton. Maka, sejak itu, ramailah anak-anak milenial memenuhi kedai ini.

Saya sangat memahami strategi ini, ketika melihat salah satu produsernya adalah Handoko Hendroyono. Handoko adalah salah satu tokoh kreatif iklan Indonesia yang melihat sebuah gerakan selalu harus terintegrasi. Film tidak hanya menjadi film, tapi kemudian menjadi berbagai hal yang saling terkait.
Kehadiran kedai Filosofi Kopi di berbagai wilayah Indonesia juga kemudian menjadi titik tolak terjadinya revolusi kopi Nusantara. Kopi menjadi demikian populer, dan kedai kopi lalu menjamur di mana-mana.

Di tangan Handoko dan tim, film Filosofi Kopi ini tidak hanya membangkitkan kembali Blok M Melawai, tapi juga sejarah gemilang kopi.

Story Behind Annabella

Handoko dan tim hingga kini terus bergerak menghidupkan ekosistem kopi, dengan menemukan kopi-kopi terbaik hingga pelosok-pelosok Indonesia. Sebagai contoh, baru saja Filosofi Kopi meluncurkan dua kopi dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Kopi Annabella dan kopi Naduk.

“Tahu nggak, Sep, nama Annabella terinspirasi dari mana?”
Saya berpikir sejenak, hanya bisa mengira-ngira filosofi apa gerangan di balik nama itu.
“Annabella didapat dari dua nama anak NTT yang kami jumpai, saat kami menemukan kopi ini. Nama anak itu Anna dan Bella. Ini dia foto anaknya,” kata Handoko, sambil menunjukkan foto Anna dan Bella, gadis kecil NTT yang manis, yang kebetulan ada di dinding Filosofi Kopi.

Saya terhenyak sejenak, tak mengira muasal namanya seperti itu. Dan tiba-tiba, rasa kagum sekaligus imajinasi saya meriap. Tergambar cerita bagaimana petualangan tim Handoko menemukan kopi ini hingga pelosok pulau yang jauh. Ketika kopi dan dua gadis mungil ini ditemukan dalam waktu yang bersamaan, lalu menjadi sebuah nama, kopi ini tiba-tiba bukan saja begitu kaya dengan makna, tapi juga kaya dengan cerita. Luar biasa.

Kulturnomi

“Ini yang saya sebut dengan ‘Kulturnomi’,” ujar Handoko. “Saya sedang memimpikan dan berusaha untuk menggerakkan, bagaimana kegiatan ekonomi makin hidup ketika berbasis kultur. Berbasis budaya kita yang sangat amat kaya,” lanjutnya.

Saya merasa pemikiran Handoko ini sangat relevan dengan zaman. Ketika anak-anak milenial dan khususnya gen z sudah mulai terasah kesadaran akan diri dan lingkungannya, Kulturnomi ala Handoko ini menjadi begitu menemukan momentumnya.

Brand–atau kalau Handoko sangat fanatik untuk menyebutnya dengan istilah jenama–akan eksis di dunia milenial dan gen z ketika ia memiliki tanggung jawab besar pada lingkungan dan kehidupannya, pada sejarah dan budayanya. Brand bukan lagi simbol identitas dan kebanggaan yang sangat egosentris. Brand adalah bentuk kesadaran spiritualitas diri, yang memiliki tanggung jawab penuh pada kehidupan.

Itu sebabnya, dalam perspektif Kulturnomi, brand tidak ditujukan lagi bagi audiens, market, atau komunitas yang dipenuhi dengan motivasi berorientasi simbol-simbol identitas diri. Melainkan, brand diposisikan lebih mulia, bagi orang-orang yang memiliki visi serta value agung bagi kehidupan. Bagi brand, mereka adalah congregation, atau jamaah, yang bertindak tidak hanya atas dasar need atau want, tapi juga kebaikan apa yang bisa dilakukan untuk kehidupan.

Congregation

Saya melihat konsep Handoko ini adalah akumulasi dari pemikirannya sejak lama, yang ia sudah eksperimentasikan ke dalam beberapa kegiatan ekonominya. Lihat saja proyek-proyek MBloc Group, yang berangkat dari purpose-nya untuk merevitalisasi bangunan-bangunan bersejarah menjadi ruang percakapan kekinian, tempat bertemu dan bersinerginya berbagai kebaikan. Pertemuan antaraorang, pertemuan kreatif lintas disiplin, pertemuan antara brand dan congregation-nya.

Lihat juga Sarinah kini, di mana Handoko menjadi bagian dari konseptornya. Sarinah bukan sekadar mal modern tempat orang-orang berduit berbelanja, melainkan ruang kreatif yang mempertemukan art, culture, tradisi, lokalitas dan eksotisisme Indonesia yang menawan dan menatap tegak di tengah kemegahan dunia.

Dan lihat bagaimana wajah baru Lokananta di Surakarta, kini begitu mempesona. Ketika dikelola PT Ruang Riang, bendera tempat Handoko dan tim berada, Lokananta menjadi ruang publik yang memikat, canggih tapi tetap menghadirkan wajah Indonesia yang kaya akan kegemilangan sejarahnya.

Lewat Lokananta, anak-anak muda kini jadi tahu, misalnya, bahwa ternyata gema suara karismatik Bung Karno yang identik dengan proses pembacaan teks proklamasi adalah suara yang direkam di Lokananta.
Yang kita tahu, seakanakan itu adalah suara Bung Karno langsung ketika membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 pada 17 Agustus 1945. Ternyata, itu suara yang direkam kemudian, pada tahun 1950-an, sekali lagi, di dapur rekaman Lokananta. Kini semua terarsip, dan jejaknya bisa dinikmati oleh anak-anak gen z dengan penuh rasa takjub.

Itulah eksperimen tangan hangat (saya tidak menyebutnya tangan dingin, karena dingin identik dengan kebekuan dan kesepian) seorang Handoko Hendroyono. Tangan yang mampu menciptakan ruang riang yang hangat, sekaligus ruang kesadaran akan kebudayaan, sebagai dasar bagaimana hidup bisa berlanjut. Itulah eksperimentasi dari apa yang disebutnya Kulturnomi.

(Asep Herna)

By redaksi

Catatankaki merupakan situs online yang dengan renyah mengulas segala hal terkait kata, budaya, filsafat, komunikasi, dan isu-isu humaniora populer lainnya. Dengan mengusung tagline "Narasi Penuh Nutrisi", Catatankaki mengemas semuanya secara ringan tapi mendalam; lugas tapi bernas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *