Penulis: Nina Masjhur, Pemerhati Arkeologi
Siang sehabis ceramah umum oleh Seno Gumira Ajidarma, di hari terakhir Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) ke-13 di Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarajambi. Beberapa orang masih duduk di tenda tempat ceramah tadi berlangsung. Berselang beberapa waktu, dari luar mulai terdengar pengumuman bahwa Podium Sastra 3 akan segera dimulai. Dalam waktu yang agak bersamaan, di dalam tenda terjadi gerakan yang luar biasa. Dalam arti, sejumlah anak-anak muda berbaju kaus “BWCF Crew” tiba-tiba dengan sigap mengangkuti kursi-kursi dari dalam tenda dan dibawa keluar.
“Lho, tendanya sudah mau dibubarkan, ya,” tanyaku cemas karena masih ingin melanjutkan istirahat sejenak sebelum ke podium sastra.
“Tidak, Bu, kursi-kursinya saja yang mau dipindahkan, buat penutupan malam nanti di depan Candi Kedaton,” jelas seseorang.
“Oooh…,” sambutku sambil berdiri dari kursi yang kududuki.
Semua orang yang semula masih duduk-duduk di kursi juga berdiri karena tak mau menyusahkan kerja anak-anak yang hendak mengangkuti kursi-kursi. Mereka lalu keluar dari tenda, dan sepertinya melihat mereka berbelok ke arah kanan. Mereka menuju ke panggung podium sastra di tengah-tengah lapangan rumput Candi Kedaton—ceramah umum tadi berlangsung di halaman luar candi yang sama.
Tak semua keluar sebenarnya. Alih-alih keluar, tiga orang peserta malah melanjutkan duduk-duduk di panggung dalam tenda. Aku salah satunya. Dua orang lagi aku spill ya nama-namanya: Riama dan Pipit. He-he-he…
Kami bertiga lalu berbincang-bincang santai. Membicarakan hal-hal dari yang penting sampai yang tak penting tapi menyenangkan hati. Pada intinya, kami hanya lelah. Jadi, masih ingin menunda hadir di arena podium sastra sebentar lagi.
“Eh, katanya mau antar ke Candi Gumpung,” tiba-tiba Riama berucap ke salah satu anak muda yang berseragam BWCF Crew itu—kalau tak salah namanya Raffi.
“Mau dong, ikut,” Pipit dan aku nimbrung tak mau rugi.
“Ada teman lain dua orang yang bisa antar juga?” tanya Riama akomodatif.
“Eh, jangan ah, mereka lagi kerja, kan,” kataku sok prihatin tapi rasanya mupeng-ku kelihatan sekali.
“Tidak apa-apa, kami sudah selesai,” anak itu berkata. “Saya cari teman dulu, ya.”
“Asyiiik…,” seruku dengan bahagia.
Tahu-tahu, kami bertiga sudah meluncur berboncengan dengan sepeda motor. Masing-masing di satu sepeda motor, bukan satu sepeda motor bertiga, lho. Riama dengan Taufik, Pipit dengan Raffi, dan aku bersama Jorgi.
Kenapa tidak menyetir sepeda motor sendiri? Ya, maaf, bukan hanya karena kami ini sejenis princess yang tak bisa mengendarai sepeda motor atau sepeda listrik. Tapi KCBN Muarajambi ini juga tidak seperti, misalnya, Candi Borobudur dan kompleks Candi Prambanan, yang kondisi jalannya sudah beraspal dan terarah. Lingkungan sekeliling KCBN Muarajambi adalah hutan liar. Kalau tersasar, ya tersasar saja di tengah hutan. Tak bisa memanggil ojek online. Pun masih banyak binatang liar yang hidup di situ, dari kera sampai ular. Dan, entah apa lagi.
Candi pertama yang kami kunjungi adalah Candi Pariduku. Sewaktu Dr Agus Widiatmoko, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V Kota Jambi, memaparkan ceramahnya, beliau bercerita tentang salah satu candi yang baru selesai dipugar. Kami para peserta sudah tahu dan sudah melihat akar-akar yang menembus badan dan tembok candi di Candi Kotomahligai. Tapi ada satu candi yang menurut Pak Agus mempunyai cerita sendiri, yang serupa tapi tak sama.
“Kalau candi yang satu ini, setelah selesai pemugaran, pohon-pohon besarnya jadi seperti tumbuh dalam pot raksasa,” kata Pak Agus dalam ceramahnya di hari pertama BWCF ke-13.
Rupanya, yang dimaksudkan Pak Agus adalah Candi Pariduku yang baru selesai dipugar. Wow, ketika mendengar ucapan Pak Agus, saya membayangkannya seperti pohon-pohon biasa yang ditanam di rumah teman-teman saya, yang hobi bertanam tapi tak mempunyai lahan cukup sehingga menanamnya di dalam pot. Paling-paling ketinggiannya sekitar semeter atau dua meter. Nah, di Pariduku ini, pohonnya tinggi sekali. Namanya juga tanaman keras, pohon kayu. Ia tumbuh di atas sebentuk susunan atau struktur batu bata dan menjulang tegak lurus menunjuk langit. Pohon raksasa di pot raksasa.
“Oh, ini candi yang disebut-sebut Pak Agus, yang pepohonannya bagaikan tumbuh dalam pot,” seruku seperti mendapat pencerahan.
“Iya, bu,” jawab Jorgi, kru BWCF yang membawa saya membonceng.
Ia tak sekadar mengiyakan, tapi juga menjelaskan berbagai hal tentang Pariduku, khususnya, dan KCBN Muarajambi pada umumnya.
“Wah, kamu tahu banyak! Sudah pas jadi pemandu wisata!” seruku kagum.
Jorgi, yang asli Muarojambi, lalu menjelaskan bahwa dia memang sudah biasa memandu tamu. Dia juga aktif membuat konten tentang kompleks candi ini. Ah iya, saya ingat, dalam film dokumenter Unearthing Muarajambi Temples produksi Kalyana Shira Foundation, ada adegan yang di dalamnya sekelompok anak muda belajar membuat konten tentang Muarajambi. Salah satunya pasti Jorgi!—maaf kalau salah ya, Jorgi.
Di Candi Pariduku itu kami bertiga menjadi seperti anak kecil yang bahagia karena keinginannya terpenuhi. Kami merinding karena terharu melihat kemegahan tinggalan arkeologi tersebut. Ah, sungguh kami bersyukur bisa melihat kemegahan ini dengan mata kepala kami sendiri!
“Kok, aku rasanya seperti putri yang pulang kembali ke rumahnya yang sudah lama ditinggalkan, ya,” kata Pipit terharu.
Ah, saya paham perasaannya itu, yang diucapkan seperti bercanda padahal saya yakin ia serius sekali.
Belum puas mata dan hati melahap suasana sekitar dan berfoto-foto, kami sudah harus meninggalkan Candi Pariduku. Masih banyak lagi candi yang hendak kami lihat. Kami mau melihat setiap candi yang ditawarkan oleh pengantar kami. Tak ada yang kami tolak. Duh…
Tujuan berikutnya adalah Candi Gedong I dan II. Dua kompleks candi yang berdekatan ini masing-masing areanya sangat luas. Semula kami hanya memandang dari luar. Tapi Raffi cs tanpa ragu mengajak kami masuk ke area dalam. Maka kami pun masuk, melewati gerbang bertangga yang terbuat dari batu bata.
“Memangnya bata-batanya boleh diinjak?” tanya kami karena ragu.
Ternyata, boleh. Masuklah kami ke ruang dalam Candi Gedong I. Kami sebut ruang, tapi sebenarnya dindingnya tidak tertutup. Di tengah-tengahnya kulihat ada struktur batu bata persegi yang sangat besar, dan kebetulan saat itu di atasnya ada tiga ekor anjing yang sedang bersantai menikmati sore.
“Hallo,” sapaku sok ramah pada tiga anjing itu, tapi bukan saja tak ada yang menjawab, mereka malah membuang muka. “Permisi, ya,” kataku sambil melanjutkan langkahku di hamparan rumput.
Kami bertiga sibuk mengagumi keagungan lokasi purba itu. Pipit mengulang lagi kata-katanya tentang dirinya yang merasa bagaikan seorang putri yang pulang ke rumahnya. Aku mengiyakan. Siapa sih yang nggak akan menjadi syahdu saat berada di situasi yang luar biasa dan megah ini?
“Itu Bu, yang tadi saya sebut menapo,” kata Jorgi sambil menunjuk ke sebuah bukit kecil di bagian luar struktur Candi Gedong I. Bukit kecil itu penuh ditumbuhi pepohonan.
Menapo adalah sebutan untuk gundukan tanah yang mengandung reruntuhan batu bata kuno. Atau, kalau memakai kata-kata Jorgi, “Menapo itu gundukan tanah yang belum digali.”
Maksudnya belum digali adalah penggalian arkeologi belum pernah dilakukan di situ. “Candi-candi di sini umumnya merupakan menapo sebelum digali dan lalu dipugar,” kata Jorgi lagi.
“Di Candi Gedong II pernah ditemukan Arca Dwarapala andesit,” Raffi dan Taufik menjelaskan kepada kami yang tengah terbengong-bengong melihat keindahan Candi Gedong I.
Candi Gedong II lokasinya berada di sebelah barat Gedong I, kira-kira 150 meter saja jauhnya. Arca tersebut ditemukan saat berlangsungnya ekskavasi arkeologi di depan reruntuhan gapura.
“Tapi,” sambung Raffi lagi, “Dwarapala yang ini wajahnya ramah, dia tersenyum.”
“Ada dua, ya? Sepasang?” tanyaku.
Pertanyaanku ini didasarkan pada pengetahuan bahwa Arca Dwarapala biasanya ditemukan sepasang, penjaga kiri dan kanan pintu atau gerbang masuk ke sebuah candi. Itu yang di Pulau Jawa. Biasa digambarkan sebagai raksasa berperut besar, dengan mata melotot. Mulutnya yang bertaring menyeringai seram. Terbuat dari batu andesit.
Sebagai penjaga, ia sering digambarkan memegang berbagai senjata seperti pedang atau gada. Posisi duduknya jengkeng, satu kaki dengan lutut menempel di lantai sementara kaki lainnya dalam posisi jongkok. Satu telapak tangan, yang tak memegang senjata, biasanya terletak di atas lutut yang berjongkok.
Penggambaran di atas adalah Dwarapala di Jawa. Sementara itu, Arca Dwarapala dari Gedong II ini berdiri. Satu tangan memegang gada, satu lagi menggenggam perisai. Tak hanya berwajah ramah dan tersenyum, ia pun tampak lebih sederhana penampilannya dibanding rekannya di Pulau Jawa, yang biasanya berhiasan raya. Dwarapala di Jawa digambarkan dengan perhiasan lengkap. Memakai mahkota, gelang-gelang di kaki dan di tangan, termasuk kelat bahu, dan lainnya.
Dwarapala tunggal Gedong II sementara ini disimpan di kantor Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V Kota Jambi. Apabila museum di Muarajambi sudah selesai dibangun, rencananya di situlah si Dwarapala disemayamkan.
Oh, ada juga yang menarik kulihat di Candi Gedong. Sebuah struktur persegi yang terbuat dari bata juga, seperti kolam kecil tak dalam, dengan dasar yang cekung. Bathup, kah? Ha-ha-ha… tidak tahu juga. Jorgi menjelaskan bahwa struktur itu ditemukan saat dilakukan penggalian arkeologi di situ.
Hati sebenarnya belum puas menghirup napas di Candi Gedong, tapi perjalanan harus dilanjutkan. Banyak candi yang masih ingin kami lihat. Yah, tentu saja kami tidak bakal sempat mengunjungi seluruh candi di kompleks yang seluas lebih-kurang 3.981 hektare ini. Karena keterbatasan waktu, candi-candi yang ditawarkan oleh adik-adik kru BWCF kepada kami adalah ke candi-candi yang tak terlalu menjauh dari Candi Kedaton.
“Jambu bol!” seruku saat kami hendak beranjak meninggalkan Candi Gedong.
“Mau, ya?” tanya Raffi yang segera meraih galah berpisau yang tersandar di pohon jambu bol itu. Beberapa buah jambu bol jatuh dipetiknya.
“Sepet!” kataku setelah menggigit sebuah. “Sudahlah, lupakan!”
Pepohonan di kompleks Muarajambi ini sepertinya kebanyakan merupakan pohon buah-buahan. Sayangnya, sedang bukan musimnya. Kalau iya, buah duku bisa sangat berlimpah. Cerita seorang teman di Jakarta, kalau sedang musim duku di Muarajambi, takkan habis-habisnya kita makan buah itu. Sampai-sampai melihat buahnya saja sudah muak. Duku itu kesukaanku, jadi kupikir aku mungkin malahan akan merasa berada di surga tertinggi kalau sedang musim duku di situ.
Tapi saya bersyukur bahwa di sini sedang tidak musim durian. Pertama, sungguh saya takut kejatuhan durian yang kulitnya tajam-tajam. Kedua, duh, aromanya bisa bikin saya puyeng! Ya, saya tak suka durian!
Kembali ke pokok persoalan, kami semua melanjutkan perjalanan untuk sowan ke Candi Gumpung dan Gumpung 1 serta Candi Tinggi dan Tinggi 1. Perjalanan yang menyenangkan, sambil melewati kanal-kanal purba dan telaga yang juga purba bernama Kolam Telagorajo di dekat Candi Tinggi 1.
Di empat candi ini, kunjungan dilakukan dengan cepat, berhubung hari makin mendekati magrib. Gerimis yang sempat turun pun tak kami pedulikan. Untung alam berbaik hati dan gerimis berhenti tanpa sempat menjadi hujan deras. Hadiah yang luar biasa dari semesta bagi kami para pencari ketenangan hati dengan melihat candi-candi!
Lambang dari BWCF ke-13 adalah sesosok arca tak berkepala dan tanpa kedua lengannya. Itu adalah sosok Arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan dalam aliran Buddha Mahayana, yang ditemukan di Candi Gumpung. Sosok arca ini mirip sekali dengan Arca Prajnaparamita yang berasal dari Singasari, yang disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. Bedanya, arca Prajnaparamita dari Muarajambi ini tak memiliki sandaran seperti yang berada di Museum Nasional.
Prajnaparamita tanpa kepala ini merupakan satu dari sejumlah temuan penting di Candi Gumpung. Temuan penting lain adalah peripih benda-benda ritual upacara yang terbuat dari emas, perunggu, dan batu permata —peripih adalah benda-benda isian yang berada dalam sebentuk wadah dan biasa ditemukan di candi-candi.
Seperti Arca Dwarapala dari Candi Gedong, Arca Prajnaparamita dan temuan peripih dari Candi Gumpung sementara ini juga disimpan di kantor Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V Kota Jambi.
Masih ada satu lagi candi yang sempat kami lihat tanpa mampir, Candi Kembar Batu. Lokasinya di sebelah utara Candi Tinggi. Kami hanya lewat. Gerimis memang sudah tuntas, tapi matahari sudah dekat dengan peraduannya. Dari atas sepeda motor yang berjalan perlahan, kami memuaskan mata memandang candi terakhir buat kami ini. Sebelum kemudian menelusuri jalan di sepanjang Sungai Batanghari Kembali menuju Candi Kedaton, untuk malam penutupan BWCF ke-13 ini. Yak, kembali ke keseharian yang juga sudah hampir selesai…
Sangat perlu diketahui bahwa kunjungan situs ini bukanlah bagian dari program resmi BWCF ke-13. Meski begitu, ini adalah hasil yang positif dari festival itu. Riama dan Putri memang sudah saling kenal sebelum menjadi peserta BWCF ke-13, tapi mereka dan saya tidak saling tahu sebelumnya. Setelah beberapa hari bersama, tiba-tiba saja kami bersatu niat untuk lebih banyak tahu dan kenal KCBN Muarajambi.
Kunjungan bersama ini pun bukan rencana yang dipersiapkan matang-matang. Mendadak saja. Kami mengorbankan waktu yang seharusnya kami pakai di Podium Sastra 3. Maaf ya panitia dan terutama para penyair pengisi acara di situ. Tapi, kami tahu, pasti energi di Podium Sastra 3 sangat baik, seperti di dua podium sebelumnya.
*Terima kasih untuk teman perjalanan kunjungan situs tak resmi ini, yang telah membantu ingatan saya untuk dapat menyusun catatan perjalanan ini. Kru BWCF 13 Jorgi, Taufik, Raffi; lalu sesama peserta: Riama dan Pipit. Salam Damai!
Aaaah bikin ngiler aja niii,
Kapan ikke bisa ke sana
Pasti jawaban Nina, ke pulau Penyengat dulu kak Drup atau… Ke Gowa dulu..