Foto: S. Maduprojo

Selintas tidak ada yang aneh dengan sebuah boks kardus berisi koran-koran bekas di warung kelontong yang saya datangi sore itu, Jumat, 6 Desember 2024.

Saya pikir itu hanyalah kardus berisi koran-koran bekas lokal untuk membungkus dagangan. Tapi karena penasaran, saya mendekati kardus yang berisi koran-koran bekas yang masih tertata rapi itu. “Bang, ini dijual apa buat bungkus dagangan?” tanya saya kepada seorang penjaga warung. “Buat bungkus dan dijual juga, Pak,” ujarnya.

Saya pun melihat-lihat koran-koran bekas itu. Eh, ternyata, ini bukan gulungan koran-koran lokal/nasional seperti yang biasanya, melainkan koran-koran berbahasa Cina dan Korea. Tampilan kertasnya memang lebih putih dibanding kertas yang digunakan koran lokal. Tulisan Korea berhuruf hangul dan bahasa Cina dengan aksara han atau hanzi terlihat mencolok—entah benar atau tidak pengetahuan saya ini, yang jelas itu bahasa Korea atau Cina. “Bang, dari mana koran-koran ini?” saya kembali bertanya kepada penjaga warung tadi. “Kurang tahu saya, Pak. Ada yang mengantarnya,” ucapnya.

Ya, kini memang sudah jarang mendapati wajah koran/majalah cetak di Indonesia. Sama langkanya dengan keberadaan lapak-lapak koran yang dulu dengan mudahnya kita temui di sudut-sudut jalanan atau penjaja koran di jalan raya dan gang-gang jalan. Satu-satunya pedagang koran keliling yang saya biasa membeli koran/majalah kepadanya di sekitar Margonda sudah lama tidak terlihat lagi—terakhir masih berteriak menjajakan koran semasa Covid-19 mereda. Di sekitar wilayah Depok I, Depok II, dan Depok Timur, Jawa Barat, misalnya, setahu saya ada dua lapak koran yang masih bertahan: di sekitar lampu merah RTM dan pertigaan jalan Depok Timur. Selebihnya, langka…

Tercatat sejak 1994, dimulai tumbangnya tabloid Detik, setidaknya sudah puluhan media cetak nasional terus berguguran. Jumlahnya bisa jadi lebih banyak. Sebut saja Koran Sindo (2023), Republika (2022), Mombi (2022), tabloid Nova (2022), Mombi SD (2022), Bobo Junior (2022), Suara Pembaruan (2021), Koran Tempo (2020), Indopos (2020), tabloid Bintang (2019), tabloid Cek & Ricek (2019), tabloid Bola (2018), majalah Gogirl! (2018), majalah Cosmo Girl Indonesia (2017), Esquire Indonesia (2017), majalah Rolling Stone Indonesia (2017), For Him Magazine Indonesia/FHM (2017), majalah Grazia Indonesia (2017), majalah Maxim Indonesia (2017), majalah HAI (2017), High End Teen Magazine (2017), majalah Commando (2017), tabloid Oto Plus (2017), tabloid Sinyal (2016), Chip Foto Video (2016), What Hi-Fi (2016), Auto Expert (2016), majalah Kawanku (2016), majalah CHIP (2016), TRAX Magazine (2016), Jakarta Globe (2015), Sinar Harapan (2015), tabloid Soccer (2014), tabloid Gaul (2014), Reader’s Digest Indonesia (2013), dan PC Magazine (2007). Dari media-media itu, sebagian beralih ke media online, sebagian memang tutup total.

Baca juga: Menyapa Pangrango

Di luar negeri, fenomena semacam ini juga sudah lama terjadi. Di Inggris, koran The Independent dan mingguan Independent on Sunday tutup pada 2016. Surat kabar terkemuka Wall Street Journal menyatakan tutup cetak pada 2017. Salah satu surat kabar tertua di dunia, Wiener Zeitung, yang berbasis di Wina, Austria, yang berumur tiga abad lebih, mengakhiri cetakan hariannya pada Juni 2023. “320 tahun, 12 presiden, 10 kaisar, 2 republik, 1 surat kabar,” begitu tulisan halaman depan terakhir edisi cetak Wiener Zeitung. Sebuah data menuliskan, di Amerika Serikat, setiap pekan, dua media cetak di sana tutup.

Sejumlah faktor menjadi pemicu tumbangnya media-media cetak tersebut. Di antaranya, maraknya media digital dan pergeseran preferensi konsumen terhadap konten online atau dalam jaringan. Makin banyak orang yang mengkonsumsi berita dan informasi online sehingga permintaan akan media cetak menurun, yang menyebabkan penurunan sirkulasi dan pendapatan iklan. Faktor lain adalah tingginya biaya produksi dan distribusi. Pandemi Covid-19, yang membatasi pergerakan manusia, makin menenggelamkan media cetak. Kemudahan informasi dengan hadirnya kanal-kanal berita di YouTube dan platform media sosial seperti Facebook, Instagram, ataupun jaringan smart TV semacam Netflix makin membuat media cetak ditinggalkan orang. Masa senja media cetak pun tiba.

Setidaknya, hingga tahun ini, dari ratusan media cetak yang pernah ada di Indonesia, masih ada sejumlah koran atau majalah cetak yang bertahan, seperti Pos Kota, majalah Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, ataupun grup Tribun News. Media-media cetak itu masih bisa kita dapat di situs penjualan daring ataupun lapak-lapak koran yang masih ada.

Maka, tumpukan rapi koran-koran bekas berbahasa Cina dan Korea itu seperti menyiratkan merekalah yang masih tersisa di antara musim gugur media cetak di berbagai belahan dunia. Entah sampai kapan…

(S. Maduprojo, diolah dari berbagai sumber)

By redaksi

Catatankaki merupakan situs online yang dengan renyah mengulas segala hal terkait kata, budaya, filsafat, komunikasi, dan isu-isu humaniora populer lainnya. Dengan mengusung tagline "Narasi Penuh Nutrisi", Catatankaki mengemas semuanya secara ringan tapi mendalam; lugas tapi bernas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *