10 November 2024
Puisi Sederhana untuk Begawan Cinta

Foto: Dok. Panitia 70 Tahun SDD

Laki-laki tua itu sudah 70 tahun rupanya
Sebuah kacamata dan sepatu sandal tua
Rambut meluruh putih disisir rapi kuda
Duduk santai menyandar meja: “Selamat pagi Saudara-Saudara.
Ada pertanyaan hari ini?”, lalu bergegas pergi ketika tak seorang
pun mahasiswanya yang bertanya

Laki-laki tua itu sudah 70 tahun rupanya
Begitu singkat kita pernah bersua
Tapi, begitu banyak pelajaran yang bisa tercerna

Laki-laki tua itu sudah 70 tahun rupanya
Terus mengasah ribuan kata menjelma makna, seperti Mpu Gandring
yang menajamkan keris ampuhnya
Lalu mengukir dan meramunya menjadi mantra elok para pemuja
cinta; melahirkan Ken Arok yang lihai menikam dan membunuh
dengan kata-kata

Laki-laki tua itu sudah 70 tahun rupanya
Yang tak pernah letih mengajari bagaimana seharusnya
memperlakukan cinta
“Mencintai angin harus menjadi siut.”
“Mencintai air harus menjadi ricik.”
“Mencintai gunung harus menjadi terjal.”
“Mencintai api harus menjadi jilat.”
“Mencintai cakrawala harus menebas jarak.”
“MencintaiMu harus menjelma aku.” *)

Laki-laki tua itu sudah 70 tahun rupanya
Masih kekar ia kabarnya
Tapi, adakah dia gelisah di sana?
Ketika di negeri yang katanya penuh cinta dan warna ini kata-kata
sudah malap teperdaya
terlikung dan terbuai suka-suka
atau, sudahkah ia kini kehilangan kata-kata?

Laki-laki tua itu sudah 70 tahun rupanya
Hingga satu saat nanti kita akan kehilangan dan melepasnya
(mungkin) dengan sederhana…

*Diambil dari “Sajak-sajak Kecil tentang Cinta”

(S. Maduprojo, puisi ini dimuat di buku undangan Perayaan 70 Tahun SDD (Sapardi Djoko Damono), 16 Oktober 2010)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *